Prinsip dan Kriteria Kausalitas

Sebagai sebuah capaian rasional filosofis, konsep kausalitas dapat diletakkan dalam forma-forma prinsipil universal. Yakni bahwa subyek akibat adalah wujud yang selalu dan senantiasa membutuhkan sebab, dan karenanya secara logis, tiada akibat tanpa sebab. Apapun fakta yang menjelma, prinsip ini tak akan pernah lekang dan berubah.

Pada tahapan (proses) pengetahuan (ranah epistemik), umumnya para filosof muslim mengambil pola disposesif dimana pencapaian prinsip rasionjnnn kausalitas didasari oleh persepsi ilmiah dan bahkan juga persepsi hudhuri. Hal ini sedikit berbeda dengan kerangka sintetik sebagaimana dirumuskan oleh Kant. Juga berbeda dengan apa yg dirumuskan oleh kaum empiris Humean yang meletakkan kausalitas dalam konstruksi ilmiah.

Hal ini dapat dijelaskan dengan motif pengetahuan itu sendiri, bahwa upaya penelitian terhadap gejala-gejala alam (material) tiada lain untuk menyingkap sebab-sebab dari maujudnya suatu fenomena, yang mengindikasikan bahwa telah adanya suatu perangkat pemikiran kausalitas yang ada di benak peneliti.

Kritik utama terhadap pandangan kaum empiris yang menolak konsep kausalitas sebagai capaian rasional justru berada berakar pada pengukuhan keberadaan suatu realitas di balik konsepsi tentangnya. Yakni bahwa keyakinan kita bahwa apa yang kita persepsi adalah semata suatu obyek di luar pikiran dapat dibenarkan tiada lain melalui prinsip kausalitas. Jadi, bagaimana dapat menolak kausalitas sementara untuk mengukuhkan prinsip empiris bahwa pengetahuan bersandar pada obyek empiris justru adalah hasil konstruksi kausalitas itu sendiri. Dan terutama bahwa realitas tak menampakkan apa-apa kecuali suatu keberiringan dan urutan, dan ini tidak dapat dijadikan suatu prinsip kausalitas. Karena tidak setiap yang beriringan dan berurutan terdapat hubungan kausasi, seperti berurutannya siang dan malam.

Di lain sisi, subyek Sebab dan akibat, bukanlah fakta ilmiah yang dapat diacu langsung secara empiris. Ia sebagai capaian rasional merupakan cara pandang akal melihat ‘hubungan kebergantungan’ satu fenomena dengan fenomena yang lain, sehingga sangat mungkin suatu obyek merupakan sebab bagi suatu obyek yang lain, juga menjadi akibat dari obyek yang lain lagi.

Kadar kualitas Wujud dalam Kausalitas

Hal penting lainnya adalah bahwa penerapan konsep kausalitas tidak tertuju pada wujud secara mutlak, sehingga berimplikasi pada kesimpulan bahwa setiap wujud mesti ada sebabnya, karena pada gilirannya hal ini akan berimplikasi pada regresio infinito. Hal ini dapat kita amati bahwa jika setiap wujud sebagaimana wujudnya ia mesti memiliki sebab, maka apa sebab daripada wujud itu sendiri? Jelas mustahil mengarahkannya pada ketiadaan.

Maka hubungan kausalitas dalam prinsip bahwa akibat bergantung pada sebab hanya tertuju pada suatu wujud dengan kualitas atau pola tertentu, yakni wujud yang segi wujudnya bergantung. Sejauh ia bergantung, sejauh itu pula ia akan pasti berposisi sebagai akibat dari sebabnya. Keberadaan suatu wujud sebagai akibat jelas bersifat mungkin, mungki ada, karena ada sebabnya, atau tiada karena ketiadaan sebab.

Dengan kerangka berpikir rasional ini, dapat diteguhkan adanya suatu eksistensi yang mutlak, yang tak membutuhkan sebab bagi kemaujudannya, seperti klaim teologis agama yang meyakini Tuhan sebagai pencipta yang tak membutuhkan (bahkan mustahil) adanya pencipta selain diriNya.

Kriteria Kebutuhan Sesuatu pada sebabnya

Apa yang menjadikan akibat mesti bersandar pada sebabnya? Secara logis telah terjawab berdasar konsepsi definitif keduanya. Bahwa yang disebut akibat adalah suatu wujud yang bergantung pada sebab. Namun jawaban logis ini belum menyentuh inti persoalan secara riil, yakni pada kenyataannya apa yang membuat subyek akibat mesti butuh pada sebabnya?

Tokoh Filsafat Islam Kontemporer, Muhammad Taqi Misbah Yazdi mengurai sekurang-kurangnya terdapat tiga pandangan besar. 1) pandangan kaum mutakallimin (ahli kalam), 2) Filsuf mazhab esensialis (penganut ashalatul Mahiyyah), dan Hikmah Muta’aliyah (penganut ashalatul wujud) yang disandarkan pada seorang tokoh: Mulla Shadra.

Ahli kalam berpendapat bahwa kriteria kebutuhan akibat pada sebabnya adalah “kebaruan” (hudust). Yakni, jika sesuatu itu merupakan wujud yang baru ada–yang berarti tiada sebelumnya–maka keberadaannya, yang merupakan hal baru baginya, adalah mesti membutuhkan sebab. Sehingga mereka menyimpulkan bahwa alam ini sebagai akibat mesti hudust, sementara Tuhan sebagai pencipta mesti qodim, karena Tuhan tak pernah tiada sebelumnya.

Di pihak lain, kaum filsuf mazhab esensialis berbeda pandang. Mereka melihat sesuatu sebagai esensi adalah hal yang mungkin menerima wujud. Jadi apa yang menjadi kriteria kebutuhan sesuatu pada sebabnya adalah kemungkinannya. Yakni bahwa akibat adalah hal yang mungkin untuk menerima wujud, sejauh ada sebab.

Pandangan ketiga, yang berasas pada keyakinan akan primasi eksistensi (ashalatul mahiyah), dengan begitu, realitas hanyalah semata wujud, hanya bergradasi dalam polanya, ada yang sangat kuat sehingga ia menjadi tempat bergantung bagi semua hal, sebagaimana wujud Tuhan, dan selainNya, sekalipun memiliki kualitas yang kuat, keseluruhannya memiliki kualitas yang berkekurangan akan eksistensi, sehingga ia selalu membutuhkan eksistensi yang lebih kuat lantaran sifat kekurangannya.

Kesimpulan

Pandangan kaum mutakallimin berkaitan soal waktu “sebelum-sesudah”. Sehingga jika dipredikatkan pada alam, maka mestilah terdapat suatu waktu dimana alam belumlah ada (sebelum adanya). Maka terdapat jarak waktu antara Tuhan yang Qodim dan Keberadaan alam yang Hadist. Pandangan ini mengisyaratkan keberadaan “waktu”, maka soalnya adalah bagaimana waktu itu sendiri mewujud? Apakah ihwal sebelum diciptakannya Alam adalah sebuah waktu? Boleh jadi kita pun dapat bertanya secara aneh, apa yang Tuhan lakukan sebelum mencipta?

Pandangan kaum esensialis masih terjebak dalam tataran konseptual. Bahwa suatu esensi hanya lingkup mental belaka, sehingga dengan mengatakan “ia mungkin menerima wujud” adalah konstruksi rasional dan bukan kenyataan. Karena dalam kenyataannya, tidak mungkin ada esensi yang justru keberadaannya masih mungkin baginya.