Aspek Pendidikan dalam Ibadah

Ibadah adalah kendaraan untuk mendekatkan diri kepada Allah, sekaligus jalan kesempurnaan manusia. Ibadah, yang dapat mengantarkan  manusia menuju kesempurnaan, sekaligus menjadi tujuan atau sasaran, tentu bisa juga menjadi alat untuk mencapai sesuatu yang lain. Selain itu, ibadah juga dapat memberikan buah yang lain di luar yang telah disebutkan di atas. Jelasnya, ibadah merupakan salah satu perangkat pendidikan Islam. Melalui ibadah, Islam mengarahkan setiap orang pada pembentukan moral dan sikap sosial. Dan ibadah merupakan satu media yang dianggap paling berpengaruh terhadap pembentukan jiwa dan moral manusia.

Uraian berikut semoga bisa membantu memperjelas masalah ini. Perbincangan tentang akhlak sebenarnya berkisar pada persoalan pengingkaran diri, kelalaiannya, dan ketidakpeduliannya terhadap kebaikan dirinya. Kalau dalam bidang kedokteran kita mengenal konsep “diet” sebagai salah satu cara penyembuhan, dalam bidang moral pun kita mengenal konsep pembebasan diri dan pengendalian ego.

Pilar utama dalam kehidupan masyarakat adalah keadilan, yang berarti memenuhi hak-hak orang lain. Di sinilah kemudian manusia mulai tersandung persoalan. Di satu sisi, ia harus menjunjung nilai-nilai moral, sementara di sisi lain ia dituntut menjunjung nilai-nilai sosial. Setiap orang pasti menyadari bahwa masalah moral sama pentingnya dengan masalah keadilan. Masalahnya, bagaimana mewujudkannya dalam kehidupan sehari-hari. Ketika seseorang mencoba memegang teguh prinsip moral, ia merasa kesejahteraannya terancam. Moral menuntutnya bersikap jujur, sementara kebutuhan ekonomi memaksanya menggandakan keuntungan. Ia menghadapi dilema: berbohong dan mendapat untung besar, atau jujur dengan risiko kehilangan laba.

Di sini kita lihat bahwa ketika manusia berbicara tentang moral dan keadilan, pasti akan berhadapan dengan dilema untuk mewujudkannya. Untuk itu hanya ada satu jalan keluar, baik moral maupun keadilan mesti disandarkan pada iman. Jika iman telah tertanam dalam diri seseorang, ia tidak akan kesulitan mewujudkan tatanan moral dan keadilan, serta menomorduakan masalah keuntungan.

Tetapi, iman yang bagaimana? Ya, iman kepada keadilan dan moral itu sendiri. Lalu, kapan seseorang bisa percaya kepada moral dan keadilan, dalam arti memandang keduanya layak diperjuangkan? Tentu, ketika ia beriman kepada sumber kesucian itu sendiri, yaitu Allah Swt. Karena itu, keteguhan seseorang pada tatanan moral dan keadilan bergantung pada kadar keimanannya kepada Allah.

Inilah problem yang tengah dihadapi manusia modern. Manusia modern mengira bahwa ilmu saja sudah cukup. Orang yang memahami masalah moral dan keadilan, lalu mempraktikkannya di tengah-tengah kehidupan, berarti ia sudah cukup untuk disebut orang yang adil dan bermoral. Secara teori, itu bisa diterima. Hanya saja, fakta menunjukkan sebaliknya. Ilmu yang tidak dijiwai iman, ketimbang menguntungkan, malah membahayakan. Sebaliknya, jika iman sudah tertanam kuat, niscaya tatanan keadilan dan moral akan terwujud. Tanpa iman, moral dan keadilan akan berjalan tanpa pengawasan. Karena itulah Islam tidak memisahkan ibadah dari persoalan moral dan keadilan.

Dalam Islam, moral dan keadilan adalah pilar ibadah. Demikian pula sebaliknya, ibadah adalah pilar moral dan keadilan. Tak ada alternatif lain. Jika kita ingin mendidik diri sendiri, putra-putri, atau orang lain dengan pendidikan Islam, kita harus menekankan pentingnya doa dan ibadah. Pada dasarnya, ibadah -selain berfungsi mendidik hati nurani- juga berpengaruh besar terhadap segala segi kehidupan. Karena itu, para pemuka agama selalu menyarankan agar di tengah kesibukannya manusia meluangkan waktu barang sesaat setiap harinya untuk diri sendiri.

Memang, banyak di antara kita yang tak punya waktu bahkan sesaat pun untuk diri sendiri, karena seluruh waktunya dicurahkan untuk mengabdi kepada masyarakat. Tapi, bagaimana pun besarnya pengabdian kepada masyarakat, kita tetap dituntut menyisakan waktu barang sesaat setiap hari untuk diri kita sendiri.

Kita mesti menarik diri dari lingkungan luar, ‘pulang’ ke rumah spiritual, mengheningkan diri, mengosongkan pikiran, lalu bermunajat dan beristigfar kepada Tuhan. Maksud istigfar di sini adalah introspeksi diri, mengurai setiap perbuatan kita hari ini. Dengan begitu, kita akan mengetahui perbuatan yang baik dan yang buruk. Kita syukuri yang baik dan kita tebus yang buruk dengan istigfar serta tekad untuk tidak mengulanginya lagi.

Lihatlah, betapa Alquran memandang penting istigfar. Sahabat-sahabat Rasulullah dilukiskan sebagai “rahib di kala malam, singa di kala siang”. Alquran juga menegaskan, (Yaitu) orang-orang yang sabar, yang benar, yang tetap taat, yang menafkahkan hartanya (di jalan Allah), dan yang memohon ampun sebelum terbit fajar. (QS. Ali Imran: 17)

Penegasan Alquran mencakup semua segi kehidupan. Ia tidak hanya berbicara tentang ibadah dan menundukkan diri di hadapan Allah sebagaimana dilakukan para zahid ekstrem. “Orang-orang sabar” dalam ayat itu adalah yang bersabar dalam peperangan; “orang-orang benar” maksudnya adalah yang sedikit pun tidak berpaling dari kebenaran. Dan mungkin makna “orang yang tetap taat” di sini sama seperti isyarat Alquran dalam ayat lainnya: Tegaklah kamu untuk Allah dengan tetap taat (Kepada-Nya), yaitu mereka yang tidak berbicara kecuali bersama Allah, dan tak berhubungan selain dengan-Nya.

Semua sifat di atas satu sama lain harus saling mengisi. Selain menjadi media yang sangat penting untuk mendidik diri dan masyarakat, ibadah juga berperan penting untuk mengembalikan jati diri. Jika gelimang materi semakin menjauhkan dan mengasingkan manusia dari jati dirinya sendiri, ibadah akan mengembalikan dan mendekatkannya. Ibadah membangunkan manusia, menumbuhkan kesadaran, dan mengangkat mereka yang tenggelam dalam gelimang materi seperti terangkatnya orang yang tenggelam di dasar lautan.

Di bawah payung ibadah dan zikir kepada Allah manusia dapat melihat diri yang sebenarnya. Ia akan menyadari aib dan kekurangannya, serta memandang waktu, tempat, kehidupan, dan semua wujud ini dari perspektif ‘Alam Atas’. Dengan ibadah ia akan menyadari betapa bodohnya menghasratkan kekayaan materi yang terbatas. Ia akan terdorong untuk melangkah menuju jantung kehidupan sejati.

Sungguh saya merasa terpukau merenungkan ucapan seorang ilmuwan besar, Einstein. Terlebih lagi, ia adalah pakar dalam bidang fisika dan matematika, bukan psikologi, agama, humaniora, atau filsafat. Einstein membagi agama ke dalam tiga macam. Menurutnya, jenis agama yang ketiga -yang sebenarnya­ adalah eksistensialisme. Ketika menjelaskan masalah perasaan manusia dari sudut pandang realisme, ia mengatakan: “Di bawah naungan agama ini, manusia akan merasa betapa kecilnya pikiran dan tujuan dirinya, serta betapa besar dan agungnya sesuatu yang tersembunyi di balik segala yang tampak di alam semesta dan pikiran. Lalu ia segera sadar untuk membebaskan dirinya dari penjara tubuh agar bisa mengetahui alam semesta ini secara keseluruhan sebagai realitas tunggal.” (Al-‘Alam kam Arhu, hal. 57)

Manusia, dengan substansi ruhaniah seperti itu, akan menjelajahi ruang pemikirannya yang terdalam. Dan sesungguhnya kebanyakan manusia bersandar pada naluri ibadahnya itu, baik untuk selamanya maupun sesaat. Bahkan, manusia paling primitif pun mengekspresikan perasaan yang agung ini dan menganggapnya sebagai sikap yang sangat bernilai.

Ada ungkapan Muhammad Iqbal mengenai nilai penting ibadah, terutama untuk menemukan jati diri manusia. Ia berkata: “Ibadah adalah naluri yang sangat penting dan memiliki arti yang sangat mendalam bagi kehidupan. Ketika naluri ini berhasil menyeberangi ‘pulau’ kecil kepribadian, kita akan mampu merasakan Wujud Mutlak yang jauh lebih besar dari kehidupan.”