Jalan Meraih Kezuhudan dan Ketakwaan

Wahai Ahmad! Jika engkau menginginkan untuk menjadi orang yang paling wara’ (hati-hati) di antara manusia, maka zuhudlah di dunia dan cintailah akhirat….

Zuhud berarti ketidakcintaan. Ia merupakan suatu kondisi hati dan bukan kondisi ilmu, sebagaimana yang disinggung Alquran berkenaan dengan Nabi Yusuf a.s.: “Dan mereka menjual Yusuf dengan harga yang murah, yaitu beberapa dirham saja, dan mereka merasa tidak tertarik hatinya kepada Yusuf.” (QS. Yusuf: 20)

Zuhud bukan berarti manusia tidak mau memanfaatkan kenikmatan-kenikmatan dunia, berdiam diri dan tidak mau mencari harta. Pengertian zuhud yang benar adalah meninggalkan kecenderungan dan kecintaan yang membawa manusia pada keterikatan terhadap dunia dan melupakan kehidupan akhirat.


Karena itu, Allah Swt berfirman kepada Nabi-Nya agar menghilangkan kecintaan dan kecenderungan kepada dunia dan memperbanyak upaya untuk mencintai akhirat. Bisa jadi seseorang memiliki harta yang banyak, tetapi ia menggunakannya di jalan Allah Swt. Nabi Sulaiman a.s., walaupun memiliki kekuasaan dan kekayaan yang paling melimpah, merupakan orang yang paling zuhud di antara manusia pada waktu itu. Dari semua kekayaan yang dimilikinya, beliau sudah merasa cukup dengan memakan sepotong roti gandum. Sementara kekuasaan dan kekayaannya dikorbankan untuk menegakkan hak-hak orang lain, menegakkan agama Allah dan menegakkan panji tauhid.

Manusia yang zuhud akan memanfaatkan kenikmatan sesuai dengan kebutuhan dirinya. Untuk masa yang akan datang, ia hanya bersandar kepada Allah Swt. Ia akan rida apa yang diridai Allah Swt. Jika menyimpan sebagian barang atau sesuatu –baik makanan atau lainnya– dengan alasan yang benar, ini tidak bertentangan dengan kezuhudan hal itu bisa diterima, baik oleh akal maupun syariat. Karenanya, yang menjadi ukuran di sini adalah motif manusia.

Dinukilkan bahwa Nabi Sulaiman a.s. selama setahun sebelumnya sudah mempersiapkan dan menyarankan umatnya agar menyimpan makanan yang tidak termakan. Beliau menyarankan menyimpannya untuk jangka waktu setahun di rumah-rumah mereka. Perbuatan ini tidak dihitung sebagai menumpuk harta, sebab kedudukan beliau lebih tinggi untuk berbuat demikian. Hal itu dilakukan sang nabi dalam rangka mencegah berbuat secara berlebihan, selain itu juga untuk mempersiapkan diri dalam satu tahun ke depan, itu pun hanya sekedar makanan yang seperlunya untuk dimakan.

Perbuatan yang dilakukan Nabi Sulaeman a.s. sama sekali tidak bersifat negatif atau terhitung aib, karena hal itu bukanlah sebuah ketakutan pada kejadian-kejadian atau perkiraan apa yang akan terjadi pada masa yang akan datang. Orang-orang yang telah sampai kedudukan tertinggi dari kemanusiaan dan berada di maqam seperti maqam Nabi Sulaiman a.s. membutuhkan latihan seperti ini. Akan halnya kita harus berusaha jangan sampai terjebak oleh tipuan setan dan berusaha berlaku zuhud; tidak menumpuk harta di rumah, minimalnya sebagian dari harta yang kita miliki disedekahkan kepada kaum miskin.

“Kamu sekali-kali tidak sampai kepada kebajikan (yang sempurna), sebelum kamu menafkahkan sebagian harta yang kamu cintai.” (QS. Ali Imran: 92)

Perbuatan seseorang yang menyimpan dan menjaga sesuatu yang sangat dicintainya, menyedekahkan apa yang tidak disenanginya, bukanlah suatu keutamaan. Kondisi tersebut belum sampai pada maqam ihsan, sebab orang yang baik (muhsin) adalah orang yang menafkahkan apa yang disenanginya. Para wali Allah Swt, ketika mereka membeli sesuatu atau ada orang yang menghadiahkan sesuatu kepadanya, tidak merasa bahagia karenanya, tetapi mereka menginfakkannya sehingga tidak terikat dengan dunia.

Namun, orang-orang seperti kita tidak bisa secara mutlak mengeluarkan keterikatan pada dunia dari hati kita. Hanya saja, setidaknya kita berusaha mengurangi keterikatan ini dan sebisa mungkin kita kurangi dalam menikmati kelezatan duniawi. Ini bukan berarti kita keluar dari batas keseimbangan dan meninggalkan kebutuhan utama dari kehidupan kita. Satu lagi yang pesan Allah Swt kepada Nabi Saw: “Hendaklah selalu dalam keadaan mengingat kepada-Ku!”

Beliau bertanya: “Apa yang harus aku perbuat sehingga aku selalu dalam keadaan mengingat-Mu?”

Allah Swt berfirman: “Hendaklah engkau menghindar dari orang-orang yang menghalangimu untuk mengingatku.”

Adalah wajar bila manusia mendengar satu suara atau melihat satu pemandangan lalu ia menitikkan perhatian kepadanya. Karena itu, suara-suara atau kondisi-kondisi yang membuat kita tertarik kepada dunia dan membuat kita lalai kepada Allah, kita mesti berusaha menjauh darinya. Hendaknya kita menuju suatu tempat atau kondisi yang bisa membuat kita selalu mengingat Allah. Sebab Itu, kita harus berusaha menjauh dari lingkungan yang dipenuhi oleh ahli dunia. Seluruh pikiran, harapan dan ingatan ahli dunia hanya pada kelezatan-kelezatan duniawi. Hendaklah manusia bergaul dengan orang yang ucapan dan perbuatannya selalu mengingatkan kepada Allah Swt.

Telah disebutkan dalam sebuah hadis bahwa para hawariyyun (sahabat khusus) bertanya kepada Nabi Isa putra Maryam a.s.: “Dengan siapa kita harus bergaul?”

Nabi Isa a.s. menjawab: “Dengan orang-orang yang mengingatkan kalian kepada Allah ketika kalian melihat mereka, dan ucapan mereka akan membuat ilmu kalian bertambah, serta amal-amal mereka membuat kalian cinta kepada Hari Akhir.” (Bihar Al-Anwar, 1/203)

Jelas, semakin manusia bergaul dengan orang-orang tersebut (yang disebutkan dalam hadis) akan membuatnya kian merasa malu. Sedangkan ungkapan: “Hendaklah engkau menghindar dari orang-orang yang menghalangimu untuk mengingat-Ku” mengandung pengertian menjauh dari mereka, di mana bergaul dengan mereka akan membuat kita lupa kepada-Nya.

Allah Swt dalam firman selanjutnya menjawab pertanyaan Nabi Saw: “Menutup mata dari manis dan pahitnya dunia dan mengosongkan perut dan rumahnya dari hal-hal dunia.”

Zikir dan mengingat Allah Swt akan memberi motivasi kepada manusia untuk tidak memenuhi perutnya dengan makanan-makanan yang lezat, juga tidak memenuhi rumahnya dari perkara-perkara duniawi. Riwayat yang menceritakan tentang Nabi Saw bisa menjadi sebaik-baiknya referensi.