MISI KENABIAN


Bila kita merujuk kepada al-Quran kita akan mendapati dua konsep yang menjadi tujuan diutusnya para nabi. Kedua konsep itu ialah: (1) Pengakuan terhadap Tuhan dan pendekatan diri kepada-Nya. (2) Menegakkan keadilan dalam masyarakat manusia. Inilah inti tujuan semua ajaran para nabi.

Berkaitan dengan tujuan para nabi al-Quran menjelaskan: “Sesungguhnya Kami mengutusmu untuk menjadi saksi, dan pembawa gembira serta pemberi peringatan, dan untuk menjadi penyeru kepada Agama Allah dengan seizin-Nya dan untuk menjadi cahaya yang menerangi.” (QS al-Ahzab:45-46) Dari semua aspek yang disebutkan dalam ayat ini, tampak jelas bahwa “mengajak kepada Tuhan” merupakan tujuan utama diutusnya para nabi.

Sementara di sisi lain, al-Quran berkata di dalam surat al-Hadid ayat 25, ”Sesungguhnya Kami telah mengutus rasul-rasul Kami dengan membawa bukti-bukti yang nyata, dan telah Kami turunkan bersama mereka al-Kitab dan neraca (keadilan) supaya manusia dapat melaksana-kan keadilan.” Ayat ini berbicara secara gam-blang bahwa tujuan utama misi kenabian ialah menegakkan keadilan.

Jika kita mencer-mati kedua ayat al-Quran ini yang ber-bicara tentang tujuan para nabi, terlihat ada dua macam tujuan, yaitu tujuan yang bersifat individual dan sosial. Tujuan yang bersifat indi-vidual ini adalah mengajak manusia kepada Tuhan, mengenal-Nya dan mendekatkan diri kepada-Nya, ini dapat kita sebut sebagai monoteisme individual. Sedangkan tujuan yang bersifat sosial ialah melakukan penegakkan nilai keadilan di tengah masyarakat yang dapat kita sebut sebagai monoteisme sosial. Di antara dua tujuan para nabi ini, manakah yang paling hakiki? Apakah untuk memperkenalkan Tuhan kepada manusia dan mengajak mereka untuk menyembah kepada-Nya atau menegakkan keadilan. Atau dengan kata lain manakah yang menjadi tujuan dan mana yang menjadi sarana. Apakah menegakkan keadilan di masyarakat merupakan tujuan utama para nabi, sementara mengenal Tuhan dan menyembah-Nya hanyalah sebagai sarana untuk merealisasikan tujuan ini, atau sebaliknya keadilan sebagai sarana dan mengenal Tuhan merupakan tujuan yang hakiki.

Dengan kata lain, apakah tujuan sesungguhnya dari misi kenabian adalah menoteisme individual atau monoteisme sosial? Ada beberapa pendapat seputar masalah ini. Pendapat pertama mengatakan bahwa para nabi mempunyai tujuan ganda. Artinya, mereka mempunyai dua tujuan yang berdiri sendiri. Yang pertama berkaitan dengan kehidupan dan keba-hagiaan di akhirat yaitu monoteisme individual. Sedangkan yang kedua berkaitan dengan kebahagiaan duniawi, yaitu mono-teisme sosial.

Adapun pendapat kedua meyakini bahwa se-sungguhnya tujuan diutusnya para nabi ialah untuk menegak-kan monoteisme sosial, namun untuk dapat sampai ke sana harus ada yang menjadi prasyarat utamanya, yaitu tegaknya monoteisme individual. Pandangan ini meyakini karena kesempurnaan manusia terletak pada mengubah diri dari “aku” menjadi “kita” dalam monoteisme sosial, dan itu tidak akan bisa dicapai tanpa monoteisme individual, maka Tuhan pun menjadikan pengenalan dan penyembahan kepada-Nya sebagai prasyarat tegaknya monoteisme sosial. Dengan kata lain mengenal Tuhan merupakan sarana untuk menegakkan keadilan.

Pendapat ketiga berpendapat bahwa tujuan utama diutusnya para nabi ialah agar manusia mengenal Tuhan dan mendekatkan diri kepada-Nya, sementara monoteisme sosial hanya sebagai prasyarat dan sarana untuk mencapai tujuan ini. Alasannya ialah bahwa dalam pandangan dunia monoteistik, dunia memiliki sifat “berasal dari Tuhan” dan “kembali kepada Tuhan”. Jadi, kesempurnaan manusia terletak pada tindakan manusia menuju Tuhan dan mendekatkan diri kepada-Nya. Karena itu, kebahagiaan, kesempurnaan, keselamatan dan kesejahteraan manusia bergantung kepada pengenalan terhadap Tuhan, menyembah kepada-Nya dan berjalan menuju kepada-Nya.

Adapun mengapa para nabi menaruh kepeduliaan terhadap keadilan serta penolakan terhadap penindasan dan diskriminasi, hal ini disebabkan fitrah manusia yang berorientasi kepada Tuhan tidak akan dapat terealisasi kecuali jika lembaga-lembaga kemasyarakatan yang seimbang telah menguasai masyarakat. Namun demikian, pandangan ini mengatakan bahwa nilai-nilai sosial seperti keadilan, kemerdekaan dan juga moralitas-moralitas sosial seperti kemurahan hati, mudah memaafkan, kebaikan budi dan kedermawanan, bukanlah sesuatu yang inheren dalam diri manusia, dan tidak dipandang sebagai sesuatu yang secara absolut mencerminkan kesempurnaan manusia.

Semua nilai ini hanya sarana atau alat untuk mencapai kesempurnaan. Nilai-nilai tersebut adalah sarana ke arah keselamatan bukan keselamatan itu sendiri.

Pandangan keempat hampir mirip dengan pandangan ketiga, namun dengan perbedaan, bahwa meskipun nilai-nilai sosial dan moral tetap merupakan sarana menuju nilai hakiki manusia yaitu menyembah dan beriman kepada Tuhan, namun nilai-nilai tersebut masih dianggap memiliki nilai-nilai inheren.

Kalau kita ingin menganalisis lebih jauh perbedaan di antara pandangan ketiga dan keempat, sebenarnya permasalahan tersebut terletak pada perbedaan jenis hubungan antara sesuatu yang menjadi sarana dan sesuatu yang menjadi tujuan yang sesungguhnya. Dalam hal ini, terdapat dua jenis hubungan antara apa yang menjadi sarana dengan tujuan. Pada jenis hubungan yang pertama, nilai tidak lebih hanya sebagai sarana untuk sampai kepada sesuatu, dan ketika telah sampai, maka keberadaan dan ketidak-beradaanya adalah sama. Atau dengan kata lain, keberadaannnya sudah tidak berarti. Sebagai contoh, seseorang ingin menyeberangi sebuah sungai kecil, lalu dia menempatkan sebuah batu besar di tengah-tengah sungai kecil tersebut sebagai batu loncatan ke seberang sungai. Setelah mencapai tepi seberang, jelas, keberadaan batu tersebut tidak penting lagi bagi orang tersebut. Demi-kian juga dengan tangga yang digunakan untuk mencapai atap.

Adapun jenis hubungan yang kedua ialah keberadaan sarana tersebut tetap berarti dan mempu-nyai nilai walaupun tujuan tersebut telah tercapai. Sebagai con-toh, pengetahuan yang diperoleh di kelas satu dan dua merupakan prasyarat untuk mencapai kelas yang lebih tinggi. Orang tidak bisa mengatakan bahwa ketika seorang murid telah mencapai kelas yang tinggi maka ia tidak akan rugi apabila menghapus pengetahuan yang diperolehnya di kelas satu dan dua dari memorinya, dan ia dapat melanjutkan studinya di kelas yang lebih tinggi tanpa pengetahuan tersebut. Karena hanya dengan bantuan pengetahuan itulah dia dapat melanjutkan studinya di kelas yang lebih tinggi.

Yang menjadi inti masalahnya ialah bahwa terkadang kedudukan prasyarat tersebut sangat lemah atau penting di hadapan tujuan yang akan dicapai. Kedudukan prasyarat yang lemah di hadapan tujuan, seperti sebuah tangga bukanlah komponen dari atap, seperti juga halnya sebuah batu besar di tengah anak sungai bukanlah bagian dari tepi seberang sungai. Sedangkan prasyarat yang penting seperti kedudukan pengetahuan yang diperoleh di kelas yang rendah maupun di kelas yang tinggi bisa merupakan bagian dari suatu kebenaran yang sama.

Hubungan antara nilai-nilai moral dan sosial dengan pengenalan terhadap Tuhan dan penyembahan kepada-Nya merupakan jenis hubungan yang kedua. Apabila manusia telah mencapai pengetahuan yang sempurna tentang Tuhan dan penyembahan yang sempurna kepada-Nya, maka keberadaan nilai kebenaran, kejujuran, keadilan, kebaikan budi, kemurahan hati dan sifat mudah memafkan tetap berarti dan mempunyai nilai.

Jadi, dapat kita katakan bahwa yang menjadi tujuan utama diutusnya para nabi ke dunia ini ialah agar manusia mengenal Tuhan dan menyembah kepada-Nya, sementara nilai-nilai moral dan nilai-nilai sosial merupakan sarana yang bersifat inheren dalam diri manusia untuk mengenal Tuhan. []