Riwayat-riwayat Sahih tentang Keberadaan Imam Mahdi

Sudah menjadi rahasia umum, bahwa keyakinan terhadap sang juru penyelamat sudah disepakati oleh hampir semua agama dan keyakinan. Dengan kata lain, agama-agama, termasuk Islam meyakini adanya sang juru penyelamat, yang akan muncul menegakkan keadilan ketika dunia dipenuhi kezaliman.

Yang membedakan di antara mereka di dalam pandangannya terhadap keyakinan sang juru penyelamat adalah soal penamaan belaka. Misal, di dalam Islam lazim dikenal Imam Mahdi, di dalam ajaran Hindu dikenal dengan Kalki, dan Maitreya di dalam agama Budha dan sebagainya.

Namun, seiring berjalannya waktu, ketika agama-agama meyakini adanya sang juru penyelamat, di saat yang sama, terdapat segelintir orang yang mencoba merusak keyakinan tersebut dengan ragam cara, di dalam Islam sendiri, segelintir orang itu merusak keyakinan al-Mahdi dengan mendistorsi riwayat-riwayat yang valid dan melemparkan keraguan di tengah masyarakat.

Upaya itu, mereka lakukan, tak lain karena konsep al-Mahdi menjadi ancaman bagi mereka. Mereka merasa terancam ketika sebagian besar manusia memiliki harapan hidup di masa depan, sebab meyakini al-Mahdi berarti menyalakan harapan di antara mereka. Dan harapan itulah yang bikin mereka takut terancam dan tersaingi.

Namun, meski begitu, usaha mereka untuk mengubur konsep al-Mahdi di tengah kaum Muslim, nampaknya sangat berat, sebab jejak-jejak riwayat yang sahih, baik di dalam mazhab Syiah maupun Sunni masih terjaga dengan rapih dan dapat dipertanggungjawabkan keabsahannya.

Untuk meyakinkan pembaca soal riwayat tentang al-Mahdi yang sahih dan sudah sampai pada  derajat mutawatir, penulis bawakan pandangan ulama Ahlusunnah wal Jamaah yang mengafirmasi tentang keabsahan riwayat al-Mahdi tersebut. Adzim Abadi, misalnya, bahwa ia berpendapat kalau riwayat al-Mahdi adalah mutawatir.

 Di dalam ungkapannya, ia berkata, “Hadis-hadis yang meriwayatkan (tentang) al-Mahdi adalah mutawatir.” [1]

Di sisi lain, Bin Baz,salah satu ulama besar Wahabi juga berkata, “Adapun (riwayat) mutawatir, semuanya dapat diterima, baik mutawatir yang sifatnya maknawi maupun lafdzi. Maka, hadis-hadis tentang al-Mahdi, di dalam bab ini termasuk mutawatir maknawi, dan kemutawatirannya dapat diterima.” [2]

Dan kalau kita melihat riwayat-riwayat al-Mahdi di dalam literatur Syiah, banyak yang sahih dan dapat dipertanggungjawabkan. Di dalam tulisan sebelumnya, kami telah membahas beberapa riwayat tersebut, dan di dalam tulisan ini kami akan melanjutkan dan melengkapinya.

Syekh Shaduq, di dalam kitabnya yang berjudul Uyun Akhbar ar-Ridho, ia menukil dari Salman Al-Farisi dengan sanad yang sahih, yang berbunyi sebagai berikut.

…Dari Salman al-Farisi (semoga Allah merahmatinya), ia berkata, “Kala itu aku berada di dekat Nabi Saw. dan Husein duduk di kedua paha Nabi Saw., Nabi menciumi kedua matanya dan bibirnya, sambil berkata, ‘Engkau adalah tuan putra dari tuannya (umatku), engkau adalah imam, putra dari imam dan ayah dari imam, engkau adalah hujjah Allah dan ayah dari sembilan manusia dari hujjah Allah, di mana dari keturunanmu, yang kesembilan dari mereka adalah qaim mereka (al-Mahdi),’”[3]

Di dalam riwayat lain, di dalam kitab Uyun Akhbar ar-Ridho, Syekh Shaduq menukil dari perkataan Imam Ali terkait dengan hadis Tsaqalain.

Diriwayatkan dari Imam Ali, waktu itu Imam Ali ditanya tentang arti perkataan Rasulullah Saw., yaitu siapa yang dimaksud itrah (keluarga)? Lalu, di dalam jawabannya, Imam Ali bilang, “Aku, Hasan dan Husein, dan sembilan para imam dari keturunan Husein, yang kesembilan dari keturunan itu adalah al-Mahdi dan qaim mereka. Mereka tidak akan terpisah dari al-Quran hingga mereka kembali ke Rasulullah di telaga haud.”[4]

Riwayat-riwayat di atas menegaskan, bahwa konsep al-Mahdi bukanlah keyakinan yang hanya dimiliki oleh mazhab Syiah, melainkan sebuah keyakinan yang juga diimani oleh kaum Muslim Sunni dan bahkan agama-agama. Wallahu a’lam bi as-shawab.

[1] Aunun Ma’bud Syarh Sunan Abi Dawud, Al-Adzim Abadi, Muhammad Syamsul Haq, jil 11, hal. 308, penerbit: Darul Kutub Al-Ilmiah, Beriut-Lebanon (cetakan kedua, 1995 M)

[2] Majmu’ Fatawa wa Maqalat Mutanawwi’ah, Ibn Baz Abdul Aziz bin Abdullah, jil. 4, hal. 98-99, penerbit: Mauqiq Ibn Baz

[3] Uyun Akhbari Ridho, Ibn Babawaih (Syekh Shaduq), jil. 01, hal. 52, Penerbit: Jahan-Iran

[4] Uyun Akhbari Ridho, Ibn Babawaih (Syekh Shaduq), jil. 01, hal. 57, Penerbit: Jahan-Iran