Rasionalitas Kebahagiaan: Sebuah Pengantar

Kebahagian–apapun makna dan kata yang setara dengannya–merupakan sesuatu yang dihasrati secara pasti oleh setiap manusia. Pada naluri kemanusiaannya, tidak mungkin manusia ingin hidup dalam keadaan menderita. Atau sekalipun ia harus menderita, itu tiada lain sebagai ganti atas suatu kebahagiaan yang dinilainya lebih tinggi dari penderitaan yang mesti dihadapinya. Perjuangan keras hidup manusia, tiada lain ditujukan guna menggapai kebahagiaannya. Seluruh sistem sosial yang dikembangkannya pun juga diorientasikan untuk menghadirkan kebahagiaan.

Meski begitu, makna kebahagiaan pada setiap manusia tidaklah sama. Kebahagiaan mungkin hanya dimengerti sebagai kenikmatan material-duniawi, sehingga seluruh kerja keras dan cucuran keringat tiada lain diperuntukkan guna mengakumulasi aset-aset material. Bahkan lebih dari itu boleh jadi kebahagiaan dimaknai secara miris dengan mengacu pada keinginan akan suatu kenikmatan individual dengan cara merampas kebahagiaan orang lain. Artinya tidak saja kenikmatan itu terletak pada apa yang didapatkan, tapi juga pada apa yang hendak dilampiaskan.

Sebaliknya, kebahagiaan bisa diacu pada suatu praktik dan tindakan yang lebih menekankan sifat-sifat kasih sayang, pengabdian, pengorbanan yang utamanya lebih mengedepankan sisi-sisi kemanusiaan yang bercorak sosialistis-komunitarian. Aspek kebersamaan, menjadi pusat perhatian, menjadikan orang lain berposisi sebagai dia memposisikan dirinya sendiri. Dan tak jarang, dalam paham teologis, hidup bahagia diarahkan pada semacam pola asketis, dimana gemerlap dunia adalah kegelapan yang justru akan menjauhkan setiap diri pada kebahagiaan hakiki.

Dalam konstruksi emosionalitas, memang kebahagiaan bersandar pada kekuatan imajinasi hasrat yang dominan pada tiap diri manusia. Sehingga kebahagiaan bernilai subyektif, relatif. Namun, kebahagiaan tidak sepenuhnya dapat dibonsai sekadar pada problem emosional yang tak memiliki pijakan rasionalitas. Artinya mesti ada kebahagiaan yang bersifat mandiri sesuai dengan hukum derajat eksistensial manusia. Dalam konteks inilah kebahagiaan dilihat dari subyek pijakannya, yakni jiwa. Oleh karenanya kebahagiaan dapat dilihat dalam pencapaian pengetahuan yang sampai pada keyakinan akan sebuah kebenaran.

Yunani Kuno tentang Kebahagiaan

Dalam tradisi hellenisme Yunani, kebahagiaan dikenal dengan istilah eudaimonia yang dapat diartikan sebagai kebahagiaan. Secara etimologis kata ini terdiri dari dua suku kata: “eu” (“baik”, “bagus”) dan “daimon” (“roh, dewa, kekuatan batin”). Sehingga secara harafiah eudaimonia bisa berarti “memiliki roh penjaga yang baik”. Bagi bangsa Yunani sendiri, eudaimonia berarti kesempurnaan, atau lebih tepat lagi, eudaimonia berarti “mempunyai daimon yang baik” dan yang dimaksudkan dengan daimon adalah jiwa. Maka, isu kebahagiaan sesungguhnya berkait kelindan dengan filsafat jiwa dan etika (kebaikan).

Pada tataran epistemologis, Kodrat jiwa manusia sesungguhnya mengarah pada keyakinan akan kebenaran. Meskipun standar, prinsip dan neraca kebenaran yang dikonsepsinya berbeda. Artinya, sulit dimungkinkan bagi seseorang dapat merasakan kebahagiaan untuk sesuatu yang diyakininya sebagai kesalahan. Meskipun dalam faktanya mungkin saja hal tersebut terjadi, ia merasakan kesenangan di luar apa yang diyakininya. Dalam hal ini sesungguhnya kesenangan yang didapatkannya tidak bernilai otentik atau di luar kemandirian keyakinannya.

Di dalam hazanah percaturan filsafat, kebahagiaan tak luput menjadi obyek bahasan. Platon misalnya, menarik soal kebahagiaan dalam kerangka ontologis yang diyakininya, yakni universalitas jiwa yang semata bersumber dari dunia idea. Kebahagiaan sejauh ia dikehendaki dalam keabadian maka hanya mungkin dalam keterlepasan jiwa dari aspek-aspek lahiriah (doxa). Karena keabadian, keindahan, dan kehakikian hanya terletak di dalam samudera arketipe, suatu sumber dimana jiwa berasal darinya. Karenanya kebahagiaan tidaklah dicapai dengan perangkat-perangkat induktif, dengan eksperimen tindakan apa yang dapat membuat kita bahagia, namun telah terpahami dengan kesadaran rasional idealistik.

Sementara muridnya, Aristoteles, dalam karyanya Etika Nichomacean, mengaitkan kebahagiaan dengan prinsip-prinsip moral. Kebahagiaan, menurut Aristoteles, tidak dapat dicapai pada dirinya, melainkan mesti diperantarai oleh suatu tindakan moral. Kebahagiaan berbeda dengan kenikmatan makan, minum, seks, dan sebagainya, yang dapat dicapai seketika dan amat sangat terbatas. Sementara moralitas memiliki hukum rasional secara mandiri yang akan selalu menjadi keabsahan dalam hidup manusia, seperti keadilan. Sekalipun perjuangan mencapai keadilan berat dan bahkan dapat mempertaruhkan jiwa, tapi akal rasional manusia secara mandiri akan tetap meyakini betapa tingginya nilai-nilai keadilan.

Maka, kebahagiaan jelas merupakan sesuatu yang diproyeksikan oleh manusia. Ia bukanlah barang jadi yang sejak semula telah aktual pada diri manusia. Mengikuti pemikiran Aristoteles, jelas kebahagiaan imanen dalam tindakan moral kebaikan. Antitesisnya adalah hedonisme, yang mengambil paham kenikmatan sebagai hasrat utama manusia, dan karenanya kebahagiaannya. Hedonisme adalah aliran dalam filsafat yang menegaskan bahwa naluri paling dasar hidup adalah menghindar dari rasa sakit dan mengusahakan rasa nikmat.

Pada satu sisi tentu ada benarnya. Siapapun menikmati hal-hal yang sifatnya lawan dari rasa sakit, derita, dan kesusahan. Namun, derajat kedalaman rasio dan perspektif moral yang berkembang pada diri manusia tidak bisa dibatasi pada persepsi-persepsi inderawi belaka. Sehingga amat mungkin kenikmatan menjadi derita bagi seseorang yang sampai pada kesadaran tertentu dalam hidupnya. Rasa kenyang mungkin suatu kenikmatan, tapi bila seseorang yakin akan arti moral sosial, rasa keyang yang berada di atas penderitaan orang banyak akan membuatnya tersiksa.

Kesimpulan: Kebahagiaan sebagai Fitrah

Universalitas manusia dalam keinginannya untuk menggapai kebahagiaan adalah bagian dari fitrah manusia itu sendiri. Dalam pengertian ini, maka sesungguhnya manusia memiliki akar metafisika yang sama yang memungkinkannya memiliki kodrat yang sama. Dengan begitu pula, kebahagiaan bukan perkara partikular. Lantas, apa yang menggambarkan visi eksistensial daripada kebahagiaan itu sendiri? Untuk apa rasa ingin bahagia mesti menubuh dalam jiwa manusia?

Jawaban atas pertanyaan di atas, tiada mungkin diacu dalam fakta-fakta material. Tidak terdapat suatu eksisten-material yang menjadi sebab terciptanya kebahagiaan, melainkan hanya sarana bagi jiwa untuk memperoleh kebahagiaan. Hedonisme bertolak pada apa yang memungkinkan kebahagiaan, namun luput untuk menyelami sumber eksistensial bagi hadirnya rasa ingin bahagia dalam jiwa manusia.