Kemerosotan Mental Pengikut Imam Ali di Medan Juang

Setelah beberapa waktu lamanya Imam Ali bin Abi Thalib a.s. membiarkan pasukannya beristirahat, sesuai dengan permintaan para komandan mereka paska perang Nahrawan. Imam Ali kembali mengajak mereka berangkat ke medan perang melawan Muawiyah yang terus merongrongnya. Ajakan itu pun mereka dengarkan baik-baik, tetapi ditanggapi dingin. Setelah Imam Ali merasa tidak mendapat dukungan lagi, dengan perasaan sedih ia berpidato di depan mereka.

“Hai para hamba Allah! Apa sebab kalian selalu merasa berat bila diperintah berjuang di jalan Allah? Apakah kalian puas dengan kehidupan duniawi sebagai pengganti kehidupan akhirat? Ataukah kalian lebih suka hidup sebagai manusia yang hina-dina dari pada sebagai manusia yang mulia dan terhormat? Apakah patut jika kalian kuajak berjuang, mata kalian berputar-putar seperti sedang menghadapi sakaratulmaut? Hati kalian sungguh-sungguh telah membatu. Di waktu damai kalian tampak seperti singa buas, tetapi bila diajak berperang kalian tak ubahnya seperti kancil yang licik. Pandangan mata kalian telah menjadi gelap hingga tidak dapat melihat kebenaran. Musuh kalian tidak pernah tidur dan selalu mengintai kalian, sedangkan kalian terus-menerus lengah dan lupa.

Aku mempunyai beberapa kewajiban terhadap kalian, yaitu: memberi petunjuk dan nasihat, memenuhi pembagian ghanimah yang menjadi hak kalian, mengajar kalian agar tidak menjadi orang-orang bodoh, dan mendidik kalian agar menjadi orang-orang yang berilmu. Sebaliknya, kalian pun mempunyai kewajiban terhadap diriku, yaitu kalian harus memenuhi janji setia yang telah kalian ikrarkan kepadaku, mengindahkan petunjukku, menyambut baik seruanku dan melaksanakan perintahku…”

Namun pidato itu tidak menembus ke dalam hati mereka. Setelah mereka dengarkan, mereka bubar, tidak berbuat sesuatu, tidak siap berperang dan tidak berangkat ke medan juang. Mereka sibuk dengan urusan pribadinya masing-masing dan hidup sehari-hari dengan santai. Mereka tidak lagi berpikir hendak menyerang Syam. Mereka terbayangi karena apa yang terjadi selama ini, yaitu sejak wafatnya Khalifah Utsman dan sejak terbaiatnya Imam Ali, peperangan-peperangan yang terjadi hanya di antara sesama kaum muslimin, membuat para pengikut Imam Ali lesu dan jenuh berperang.

Para pengikut Imam Ali pun berpendapat setelah terjadinya Perang Unta, Perang Shiffin, dan yang terakhir terjun dalam Perang Nahrawan mereka tidak memetik hasil apa pun selain pertumpahan darah sesama kaum muslimin, kesedihan, dan kekecewaan. Sedangkan pada masa-masa sebelumnya mereka sudah terbiasa berjuang melawan kaum musyrikin dan musuh-musuh Islam lainnya seperti kaum Majusi Persia dan kaum Nasrani Romawi. Banyak di antara mereka yang mematahkan pedang dan tombaknya karena berpendapat bahwa pedang dan tombak hanya untuk berperang melawan musuh-musuh Islam.

Dalam pasukan Imam Ali banyak terdapat orang-orang yang tidak mempunyai keyakinan kuat, iman mantap, tekad bulat, dan pandangan jauh seperti yang dimiliki Amirul Mukminin. Maka tidak mengherankan kalau mereka mengalami kemerosotan mental, kelemahan tekad, dan pudar semangat juangnya.

Para pengikut Imam Ali pada umumnya terdiri dari penduduk Irak. Mereka mempunyai tanah air yang subur, tidak seperti Hijaz yang sebagian besarnya kering kerontang. Orang-orang Irak terbiasa hidup menikmati kesenangan dan kecukupan, walaupun tidak semuanya kaya. Ditambah lagi dengan sistem pembagian ghanimah yang dilakukan oleh Imam Ali berbeda dengan sistem pembagian yang dilakukan oleh para khalifah sebelumnya. Imam Ali membagikan semua ghanimah kepada kaum muslimin setelah dipisahkan bagian yang diperlukan untuk kemaslahatan umum, tidak pandang bentuk, jenis, dan nilainya. Semuanya itu merupakan beberapa sebab yang membuat para pengikut Imam Ali pada umumnya lebih suka hidup bersenang-senang dan enggan menyambut ajakan berperang kembali melawan pasukan Syam yang dianggapnya sebagai saudara sesama muslimin.

Mental mereka lebih diperparah lagi oleh muslihat Muawiyah di Syam yang menghamburkan uang negara untuk menarik para pemimpin dan tokoh-tokoh pengikut Imam Ali. Untuk menjalin hubungan baik dengan mereka, Muawiyah menjanjikan berbagai macam harapan baik, pemberian kedudukan, harta kekayaan, dan hadiah-hadiah. Dengan cara itulah Muawiyah mencetak mereka menjadi orang-orang yang bersikap munafik terhadap Imam Ali. Dengan lidah mereka taat kepada Imam, tetapi dalam hati mereka menentang dan tidak mau membantunya.

Lain halnya dengan Amirul Mukminin a.s., ia pantang berbuat kejahatan, tipu daya, dan muslihat. Ia menjunjung tinggi kemurnian ajaran Islam dan menempatkannya di atas segala-galanya. Ia berpegang teguh pada kebenaran, betapa pun berat dan pahit akibatnya. Ia tidak sudi membeli ketaatan orang dengan uang atau dengan kedudukan, apalagi dengan suap dan sogok. Imam Ali adalah seorang yang sangat mengutamakan kebenaran agama Allah dan pantang menempuh jalan yang rendah dan hina. Ia serba berterus terang, jujur, ikhlas, setia kepada Allah, Rasul-Nya, dan umat yang dipimpinnya.

Menghadapi para pengikut yang sudah tenggelam di dalam kehidupan santai dan bersenang-senang itu, Imam Ali berulang-ulang mencoba mengajak mereka melanjutkan perjuangan. Kadang-kadang dengan cara lemah lembut dan ada kalanya juga dengan keras dan tegas. Pada suatu kesempatan berbicara di depan mereka, ia berkata antara lain:

“Hai orang-orang yang bersatu di mulut dan bercerai-berai di hati! Orang yang berseru kepada kalian tidak akan mendapat sambutan, dan orang yang berhati keras terhadap kalian pun tidak akan merasa tenteram. Tutur kata kalian memekakkan telinga orang tuli dan tingkah laku kalian mendorong musuh mengincar diri kalian. Bila kalian kuajak berperang, kalian menjawab ini dan itu, mengajukan alasan begini dan begitu. Kalian selalu minta kepadaku supaya perjuangan ditangguhkan, persis seperti orang yang enggan membayar utang dan mengulur-ulur waktu.

Ketahuilah bahwa manusia yang berbudi rendah tidak akan mampu melawan kezaliman, dan kebenaran tidak mungkin dapat ditegakkan kecuali dengan ketabahan dan kekuatan tekad. Kalau bukan negeri kalian sendiri lantas negeri mana lagi yang hendak kalian bela? Dengan pemimpin yang bagaimana lagi kalian mau melanjutkan perjuangan sepeninggalku?

Demi Allah, sungguh terperdaya orang yang telah mengelabuhi! Orang yang bangga menemukan pengikut seperti kalian, sebenarnya sama dengan orang yang bangga menemukan pedang buntung! Sekarang aku tidak dapat mengharap dukungan kalian dan tidak dapat lagi mempercayai kata-kata kalian. Semoga Allah memisahkan diriku dari kalian dan menggantikan para pengikutku dengan orang-orang lain yang lebih baik daripada kalian. Ketahuilah, sepeninggalku kalian pasti akan mengalami perlakuan hina dan kalian akan merasakan betapa sakitnya tusukan pedang musuh.

Watak mengutamakan kepentingan pribadi yang kalian miliki itu akan digunakan oleh musuh dan orang zalim untuk merobek-robek persatuan kalian. Ia akan membuat kalian selalu menangis karena menderita kemelaratan … dan pada saat itulah kalian ingat kepadaku dan ingin membelaku walau sebentar. Pada saat itulah kalian akan menyadari kebenaran yang kukatakan. Allah tidak menjauhkan siapa pun kecuali orang yang zalim.”

Kata-kata Imam Ali a.s. yang sepedas itu mereka dengarkan, tetapi setelah itu mereka bubar dan tidak berbuat apa-apa hingga Imam Ali tidak dapat mengharapkan sesuatu dari mereka. Hanya sedikit saja yang masih tetap setia kepadanya dan kekuatan mereka sangat tidak memadai untuk kembali diajak berperang melawan pasukan Syam.