Situs Al Imamain Al Hasanain Pusat Kajian Pemikiran dan Budaya Islam

Menuduh, Dosa yang Merusak Kepribadian Seseorang

1 Pendapat 05.0 / 5

Satu dari dosa besar yang merusak individu dan sosial adalah tuduhan. Tuduhan yang dialamatkan seseorang kepada orang lain memang merugikan orang tersebut, tapi sebenarnya yang paling merugi adalah pelaku itu sendiri. Ketika seseorang menuduh orang lain, pada dasarnya ia telah mengotori dan merusak jiwanya dengan dosa. Lalu apa sebenarnya yang disebut dengan tuduhan itu? Tuduhan merupakan perilaku menisbatkan kekurangan terhadap seseorang yang tidak dimilikinya. Tuduhan merupakan perbuatan dosa besar. Allah Swt dalam al-Quran telah melarang perbuatan ini dan mengingatkan pelakunya bakal mendapat azab yang sangat pedih. Imam Shadiq as berkata, “Dosa menuduh orang lain yang tidak bersalah lebih berat dari gunung yang tinggi.” (Safinah al-Bihar, jilid 1, kata Tuhmah)

Tuduhan pada hakikatnya kebohongan yang paling buruk. Sementara ketika tuduhan dilakukan tanpa kehadiran yang tertuduh, maka itu dikategorikan gibah. Orang yang melakukannya berarti telah melakukan dua perbuatan dosa.

Suatu hari seorang sahabat Imam Shadiq as pergi ke suatu tempat. Ia pergi bersama pelayannya yang jalan di belakang. Di tengah perjalanan, ia memanggil pelayannya, tapi tidak ada jawaban. Sekali, dua kali, hingga tiga kali tidak ada jawaban dari pelayannya. Akhirnya, sahabat Imam Shadiq as marah dan mulai berbicara yang tidak-tidak. Ia kemudian mengeluarkan kata-kata yang menuduh ibunya. Perawi hadis ini mengatakan, “Imam Shadiq as tidak senang ketika mendengar ucapan sahabatnya itu, lalu memberitahu akan buruknya apa yang diucapkannya. Tapi bukan malah menerima ucapan Imam, ia justru mengucapkan tuduhan lagi guna membenarkan perbuatannya. Imam Shadiq as mengerti bahwa ia tidak mau menerima kesalahannya. Beliau kemudian berkata, “Sekarang engkau tidak berhak menjadi sahabatku.”

Kini kita perlu tahu lebih banyak mengenai dampak buruk dari perilaku menuduh orang lain ini. Tuduhan kepada orang lain perlahan-lahan akan merusak kondisi sosial yang sehat dan menghancurkan keadilan sosial. Perbuatan menuduh membuat kebenaran diputarbalikkan menjadi kebatilan dan begitu pula sebaliknya. Tuduhan yang dialamatkan tanpa dasar kepada seseorang mengesankannya seperti seorang pelaku kriminal. Tuduhan menghilangkan kehormatannya. Ketika perilaku menuduh orang lain tersebar di kalangan masyarakat dimana mereka menerima dan mempercayainya, maka yang akan terjadi adalah kebenaran ditampilkan dalam bentuk kebatilan dan begitulah sebaliknya.

Bila perilaku suka menuduh menyebar di tengah masyarakat, maka prasangka baik akan berubah menjadi prasangka buruk dan kepercayaan sosial akan hilang dari tengah masyarakat. Fenomena ini bakal menciptakan kerusakan di tengah masyarakat. Yang terjadi adalah setiap orang berani melontarkan tuduhan kepada orang lain dan kebohongan menjadi hal yang wajar. Bila perilaku menuduh menyebar di tengah masyarakat, maka keakraban dan persahabatan akan digantikan oleh kedengkian dan permusuhan. Masyarakat tercerai-berai. Karena sudah tidak ada lagi cinta dan kasih sayang di antara mereka. Setiap orang senantiasa merasa khawatir menjadi sasaran tuduhan.

Perilaku suka menuduh punya dampak negatif baik di tingkat individu maupun sosial. Imam Shadiq as berkata, “Setiap kali seorang mukmin menuduh orang lain, maka iman akan terhapus dari hatinya, seperti garam yang larut dalam air,” (Ushul al-Kafi: 3/66). Mengapa tuduhan menyebabkan iman seseorang yang menuduh terhapus? Hal itu dikarenakan iman senantiasa bersama kejujuran, sementara tuduhan pada dasarnya adalah kebohongan. Itulah mengapa seseorang yang terbiasa menuduh dan berbohong, maka secara perlahan-lahan ia akan semakin sulit berkata jujur. Saat itulah iman yang ada dalam hatinya perlahan-lahan lenyap dan bahkan tidak ada lagi bekasnya. Rasulullah Saw bersabda, “Setiap orang yang menuduh pria atau perempuan beriman atau membicarakan keburukan seseorang yang tidak ada padanya, maka Allah di Hari Kiamat akan meletakkannya di api neraka, sehingga ia tidak mampu lagi berkata-kata” (Bihar al-Anwar: 75/194).

Tuduhan dapat dikelompokkan dalam dua kategori; pertama, terkadang pelakunya menuduh seseorang dengan sadar, dimana orang yang menuduh itu tahu benar bahwa orang yang dituduh tidak demikian, tapi tetap saja ia menuduh. Namun terkadang terjadi yang lebih buruk dari gambaran di atas. Yakni, seseorang melakukan kesalahan atau melakukan perbuatan buruk dan untuk menyelamatkan dirinya dari hukuman, ia kemudian menisbatkan perbuatannya itu kepada orang lain. Tuduhan yang semacam ini dalam Islam diistilahkan dengan iftira.

Kedua, terkadang pelakunya menuduh seseorang karena tidak tahu, atau baru berupa sangkaan. Bila kondisi pelakunya seperti ini, maka perbuatan ini diistilahkan dalam Islam dengan buhtan. Akar dari perbuatan kedua ini adalah prasangka buruk kepada orang lain. Kebanyakan tuduhan yang dilontarkan kepada orang lain bersumber dari ketidaktahuan atau prasangka buruk. Itulah mengapa Allah dalam surat al-Hujurat ayat 12 berfirman, “Hai orang-orang yang beriman, jauhilah kebanyakan purba-sangka (kecurigaan), karena sebagian dari purba-sangka itu dosa.”

Benar bahwa terbentuknya prasangka dalam benak seseorang itu bukan muncul dari kehendak seseorang, sementara pemberian pahala dan siksa itu hanya berhubungan dengan perbuatan yang lahir dari kehendak. Oleh karenanya, maksud dari ayat-ayat al-Quran dan Hadis yang melarang prasangka buruk terkait dengan sikap kita yang menurutinya dan melarang kita untuk melakukan satu perbuatan tanpa mengetahuinya. Karena banyak orang yang menuduh tanpa pengetahuan dan berbuat berdasarkan sangkaan belaka terperosok dalam perbuatan dosa. Sebagaimana ayat yang lain menyebutkan, “Dan janganlah kamu mengikuti apa yang kamu tidak mempunyai pengetahuan tentangnya.” (QS. 17:36) Sementara di ayat lain Allah mencela sekelompok orang yang berbuat berdasarkan prasangka buruk. Allah Swt berfirman, “… kamu telah menyangka dengan sangkaan yang buruk dan kamu menjadi kaum yang binasa.” (QS. 48:12)

Berprasangka buruk bahkan punya dampak buruk yang tidak dapat tergantikan. Para psikolog dalam laporan-laporannya menyinggung sejumlah kasus dimana banyak orang yang membunuh isterinya hanya dikarenakan prasangka buruk yang menjangkitinya. Padahal kebanyakan prasangka buruk dan tuduhan yang dialamatkan kepada isterinya tidak memiliki fakta dan keputusan yang dilakukan tanpa bukti-bukti. Seorang mukmin bukan hanya tidak diperbolehkan berprasangka buruk terhadap saudara seimannya, apa lagi berlaku berdasarkan prasangka buruk itu. Seorang mukmin harus menilai benar perbuatan saudara-saudaranya, kecuali memiliki bukti yang kuat bahwa mereka berbuat salah atau buruk. Sekaitan dengan hal ini Imam Ali as berkata, “Kalian harus membenarkan ucapan dan perbuatan saudara seagama kalian dengan baik, kecuali kalian yakini bahwa masalahnya ternyata lain dan tidak ada cara lain untuk membenarkannya” (Ushul al-Kafi: 2/362).

Muhammad bin Fudhail meriwayatkan, suatu hari aku berkata kepada Imam Musa Kazhim as, “Sebagian orang muwattsaq (terpercaya) mengabarkan kepada saya bahwa seorang saudara seagama mengatakan satu hal yang saya tidak suka. Saya bertanya kepadanya tentang berita itu, tapi ia mengingkarinya dan mengatakan, “Saya tidak pernah mengatakan hal itu.” Di sini, apa kewajiban saya?” Imam Kazhim as berkata, “… Bila ada 50 orang adil yang mendatangimu dan bersaksi bahwa orang tersebut mengatakan hal yang tidak benar tentangmu, maka engkau harus menolak mereka semua. Engkau harus membenarkan apa yang dikatakan saudara seagamamu. Engkau tidak boleh menyebarkan apa saja yang menghilangkan kehormatan saudaramu.”

Kini kita sampai pada tahapan bagaimana menghadapi seseorang yang menuduh orang lain. Jawaban atas pertanyaan ini dapat ditemukan dalam al-Quran ayat 6 surat al-Hujurat yang berbunyi, “Hai orang-orang yang beriman, jika datang kepadamu orang fasik membawa suatu berita, maka periksalah dengan teliti agar kamu tidak menimpakan suatu musibah kepada suatu kaum tanpa mengetahui keadaannya yang menyebabkan kamu menyesal atas perbuatanmu itu.” Menurut al-Quran, setiap kali kita mendengar berita yang berisikan tuduhan kepada seseorang, maka kita berkewajiban untuk memeriksa kebenaran berita itu. Al-Quran melarang kita mengambil keputusan segera tanpa bukti dan memeriksa kebenarannya terlebih dahulu.

Dari sisi lain, Islam memandang tuduhan sebagai perbuatan haram dan meminta orang-orang mukmin agar meninggalkan prasangka buruk kepada orang lain. Seorang mukmin tidak boleh menuduh orang lain tanpa bukti yang kuat. Sementara di sisi lain, al-Quran menasihati orang mukmin agar tidak meletakkan dirinya dalam posisi yang memudahkannya dituduh. Mereka harus meninggalkan ucapan dan perbuatan yang menyebabkan orang lain menuduhnya telah melakukan keburukan. Sekaitan dengan hal ini, Imam Ali as berkata, “Seseorang yang meletakkan dirinya dalam posisi yang memudahkan orang lain menuduhnya, maka ia tidak boleh mencela orang lain yang menuduhnya” (Shaduq, Amali: 304).

Itulah mengapa riwayat-riwayat menegaskan bahwa orang-orang mukmin jangan duduk bersama orang-orang fasiq. Karena ada hubungan dengan mereka akan membuat orang-orang mukmin lain berprasangka buruk dan akhirnya mereka menuduhnya telah melakukan perbuatan buruk. Bila kita mencermati poin penting ini bahwa menuduh orang lain selain merugikan orang tersebut, pada dasarnya kita telah melumuri hati kita dengan dosa yang secara non materi sangat merugikan kita. Bila kita menyadari dampaknya, tentu kita tidak akan mau melakukan dosa besar ini.