Dimensi-Dimensi Haji yang Perlu Diketahui setiap Muslim(1)

Bulan Zulhijjah adalah bulan mulia yang didalamnya umat Islam yang mampu diwajibkan untuk menunaikan ibadah haji. Haji adalah sebuah ibadah besar yang pada hakikatnya mempunyai empat dimensi, di mana setiap dimensi itu lebih mengakar dan lebih menguntungkan dari dimensi yang lainnya. Umat Islam perlu mengetahui keempat dimensi ini, agar lebih bisa memahami filosofi dibalik perintah haji.

Adapun dimensi-dimensi tersebut adalah:

Dimensi Etis Haji

Filsafat haji yang paling penting terletak pada perubahan akhlak yang muncul dalam diri manusia. Ritualitas yang dilakukan ketika ihram akan secara total mengeluarkan manusia dari suluk-buluk kenikmatan materi dan kelebihan-kelebihan lahiriah yang mereka miliki, seperti aneka warna pakaian dan perhiasan. Dengan diharamkannya berbagai kelezatan untuk para muhrim (orang-orang yang melakukan ihram) dan dengan menenggelamkan manusia dalam pensucian diri sebagai salah satu kewajiban muhrim, ia telah mengeluarkan mereka dari dunia materi dan tenggelam dalam alam cahaya spiritualitas yang jernih. Mereka yang biasanya merasa berat dengan menyangga atribut-atribut berat semacam derajat tinggi dan medali-medali di atas punggungnya, tiba-tiba ia akan merasakan bebannya menjadi begitu ringan, muncul perasaan rileks, santai, dan mudah dalam melihat segala problema.

Setelah itu, ritual haji berjalan dari ritual yang satu ke ritual yang lainnya. Sebuah ritual yang akan membuat kecintaan maknawi manusia kepada Tuhannya,sesaat demi sesaat dan setapak demi setapak akan menjadi semakin kuat dan indah. Ritual yang mampu menciptakan komunikasi mereka dengan Sang Khaliq menjadi semakin lekat dan dekat. Ritual yang akan melepaskan diri dari masa lalu yang gelap dan bergelimang dosa dan mengalihkannya pada tatapan masa depan yang terang dan bening penuh cahaya.

Perhatian terhadap ibadah haji ini terutama terletak pada hakikat dari ritual haji itu sendiri, yang pada setiap langkahnya merupakan kenangan dari perjalanan Nabi Ibrahim a.s. sang pemenggal kepala berhala, dan Nabi Ismail a.s. sang dzabîhullah (yang disembelih oleh Allah), serta ibundanya Hajar. Sebuah kenangan terhadap perjuangan dan usaha keras mereka, serta kenangan dari sebuah ketakwaan yang agung. Dan kenangan-kenangan inilah yang setapak demi setapak terpahat dan terukir di hadapan mata jutaan manusia. Dan dengan memperhatikan bahwa bumi Makkah pada umumnya, dan Masjidil Haram, Ka’bah dan tempat untuk melakukan thawaf pada khususnya, akan mengingatkan kita pada kenangan-kenangan yang ditinggalkan oleh Rasulallah saw., pemimpin-pemimpin besar Islam, khususnya para imam ma’shum, dan para pejuang muslimin pada masa-masa permulaan Islam. Hal ini akan membuat semakin mendalamnya revolusi akhlak dalam diri manusia, sedemikian rupa sehingga mereka senantiasa melihat wajah Rasulullah saw. dan Imam Ali bin Abi Thalib a.s. pada setiap sudut dari Masjidil Haram dan bumi Makkah, dan mereka mendengar suara-suara mereka yang antusias, menggelora, dan penuh semangat dari segala penjuru.

Ya! Mereka semua saling merapatkan tangan dan membentuk sebuah medan untuk menuju pada suatu perubahan dan revolusi akhlak dalam hati dan kalbu-kalbu yang telah siap, sebagaimana manusia yang membalik lembaran-lembaran kehidupan lama yang merupakan sebuah cerita yang tidak ada kesudahannya, lalu memulai untuk mengisi lembaran baru dalam kehidupan mereka.

Bukanlah tanpa dalil apabila dalam riwayat-riwayat Islam ditegaskan, “Seseorang yang melaksanakan hajinya dengan sempurna, maka ia akan keluar dari dosa-dosanya sebagaimana seseorang yang baru saja lahir dari perut ibunya.”

Ya! Untuk muslimin, haji merupakan kelahiran yang kedua, sebuah kelahiran yang akan menjadi permulaan kehidupan baru bagi manusia.

Tentu saja, tidak perlu lagi untuk diingatkan bahwa berkah dan pengaruh agung dari ritualitas haji ini —dan apa yang nanti akan kami jelaskan selanjutnya— bukanlah untuk orang-orang yang mencukupkan diri dengan hanya melaksanakan lapisan luar dari pelaksanaan haji dengan membuang intinya. Pengaruh dan berkah ini tidak pula untuk mereka yang menganggap haji hanya sebagai sebuah variasi kehidupan, sebuah alat untuk mendapatkan kesenangan, untuk refreshing, pamer, riya, atau untuk melengkapi peralatan materi seseorang. Karena dengan begini, mereka sama sekali tidak akan pernah menyentuh ruh dan hakikat haji. Oleh karena itu, bagian yang akan mereka dapatkan hanyalah sebatas apa yang mereka pedulikan dan apa yang mereka cari.

Dimensi Politik Haji

Seperti yang telah dikatakan oleh salah seorang faqih Islam, selain ritual haji merupakan ibadah yang paling murni dan paling mendalam di antara ibadah-ibadah yang ada, juga merupakan sebuah mediator yang paling berpengaruh untuk memperoleh tujuan politik Islam.

Hakikat dari sebuah ibadah adalah mengarahkan perhatian dan memfokuskan konsentrasi kepada Allah swt., sedangkan hakikat dari politik adalah mengarahkan perhatian pada ciptaan Allah swt. Kedua hal ini saling berbaur sedemikian rupa hingga berbentuk sebagaimana keburaman warna sebuah kain (karena banyaknya warna yang bercampur di dalamnya).

Haji merupakan komponen fundamental untuk mempersatukan barisan Muslimin.

Haji merupakan salah satu elemen untuk melawan fanatisme suatu negara, keturunan, ras, dan kaum yang berada di dalam istana-istana yang terletak di perbatasan geografi.

Haji merupakan sebuah alat untuk menghancurkan para penghujat dan menghilangkan pengaruh-pengaruh kekuatan-kekuatan arogan yang memegang kekuasaan di negara-negara Islam.

Haji adalah suatu sarana untuk menyebarkan berita politik negara-negara Islam dari satu titik ke titik yang lain.

Dan akhirnya, haji adalah salah satu faktor yang berpengaruh untuk melepaskan rantai-rantai ketertawanan dan penjajahan, serta unsur yang berpengaruh untuk menciptakan kebebasan muslimin.

Dengan alasan ini, pada masa kekuasaan pemerintahan arogan dan keji semacam Bani Umaiyah dan Bani Abbasiyah atas bumi suci Islam, mereka senantiasa memata-matai seluruh kegiatan komunikasi dan kontak yang dilakukan oleh kelompok-kelompok muslimin, sehingga dengan cara ini mereka akan bisa menghancurkan setiap gerakan yang mengarah pada kebebasan dan kemerdekaan.

Tibanya masa pelaksanaan haji merupakan sebuah katup kecil yang mengarah pada kemerdekaan dan merupakan tempat untuk melakukan komunikasi antara kelompok-kelompok masyarakat besar Islam, dan juga merupakan tempat untuk memaparkan persoalan-persoalan politik.

Atas alasan ini, ketika menjelaskan filsafat haji Amirul Mukminin Ali bin Abi Thalib a.s. berkata: “Allah telah mensyariatkan haji untuk menguatkan agama Islam”.

Bukanlah tanpa alasan jika salah satu dari pengamat politik asing yang terkenal, dalam statemennya yang penuh makna mengatakan, “Celakalah muslimin apabila mereka tidak mengetahui makna dari ritual haji, dan celakalah para musuh apabila mereka memahami makna ritual haji.”

Dalam riwayat-riwayat Islam yang lain juga ditegaskan bahwa haji adalah sebuah jihad bagi orang-orang yang lemah. Sebuah jihad yang bahkan pria lanjut usia dan wanita renta pun mampu untuk merefleksikan keagungan dan kemegahan umat Islam ini dengan kehadirannya di medan haji, dan mampu untuk menggoncangkan kubu pertahanan para musuh dengan lingkaran barisan shalat yang mengelilingi rumah Allah secara berlapis-lapis, serta dengan teriakan suara yang mengumandangkan kebersatuan dan keagungan Allah swt.