Keagungan Ibadah Haji dalam Perspektif Mazhab Syiah

Haji adalah ibadah politis. Dampak-dampak politis dalam ibadah haji tampak sangat kentara. Demikian pula dampak-dampak ibadahnya, juga terlihat dalam (ibadah) politis ini. Allah Swt menjadikan Kabah dan ibadah haji sebagai tanda-tanda keindahan dan kemuliaan-Nya. Tanda-tanda pemisahan diri dari kemusyrikan dan orang-orang musyrik dapat disaksikan dalam ibadah ini.

Tawalli (menjadikan Allah, Rasul, dan Ahlulbait sebagai pemimpin) merupakan aspek ibadah yang menunjukkan keindahan Allah. Dan tabarri (berlepas diri dari musuh-musuh Allah) merupakan aspek politik yang menampakkan keagungan Allah. Sementara itu, ziarah ke Baitullah memberikan dampak pembersihan dan penyucian jiwa.

Allah Swt berfirman: “Mengerjakan haji adalah kewajiban manusia terhadap Allah, yaitu bagi orang yang sanggup mengadakan perjalanan ke Baitullah.” (Ali Imran: 97)

Imam Ali bin Abi Thalib a.s. berkata: “Allah telah mewajibkanmu berhaji ke rumah suci-Nya, yang merupakan kiblat bagi manusia yang datang kepadanya. Allah yang Mahasuci menjadikannya pertanda atas ketundukan mereka di hadapan keagungan-Nya dan pengakuan mereka akan kemuliaan-Nya. Ia memilih di antara ciptaan-Nya orang-orang yang ketika mendengar seruan-Nya, mereka menyambutnya dan membenarkan firman-Nya. Mereka berdiri pada posisi para nabi-Nya dan menyerupai para malaikat-Nya, yang mengelilingi mahligai-Nya, untuk mereguk segala manfaat dari pengabdian kepada-Nya dan bergegas untuk beroleh ampunan yang dijanjikan-Nya.” (Nahj al-Balaghah, khotbah ke-1)

Agar sunah Nabi Ibrahim a.s. ini tetap hidup di antara para nabi, mereka mengatur perjanjian, dari yang paling sederhana hingga janji yang paling penting, dengan haji atau menyebut bilangan waktu dengan musim haji. Misal, dalam peristiwa Nabi Syuaib mempekerjakan Nabi Musa, istilah waktu yang digunakan adalah musim haji.

Nabi Syuaib a.s. berkata kepada Nabi Musa: “Sesungguhnya aku bermaksud menikahkan engkau dengan salah seorang di antara kedua anakku ini, atas dasar bahwa engkau bekerja untukku selama delapan musim haji.” (QS. al-Qashash: 27)

Delapan tahun disebut dalam bentuk delapan musim haji. Nabi Syuaib a.s. tidak mengatakan: “Kamu bekerja untukku selama delapan tahun”, tapi beliau berkata, “selama delapan musim haji.” Karena setiap tahun haji dilakukan sekali, maka sekali musim haji menunjukkan waktu satu tahun. Delapan musim haji artinya delapan tahun. Inilah perjanjian paling sederhana dengan menggunakan istilah musim haji.

Nabi Musa Kalimullah, ketika mencapai kedudukan kenabian, Allah Swt berkehendak mengatur perjanjian paling penting dengan nabi-Nya (ini). Lantaran penentuan waktu berada di tangan Allah dan bukan tanggung jawab Nabi Musa, maka Allah Swt berfirman kepada Nabi Musa: “Dan Kami telah janjikan kepada Musa (akan memberikan Taurat) sesudah berlalu waktu tiga puluh malam, dan Kami sempurnakan jumlah malam itu dengan sepuluh (malam lagi), maka sempurnalah waktu yang telah ditentukan Tuhannya empat puluh malam.” (QS. al-A’raf: 142)

Waktu empat puluh malam ini dimulai dari awal bulan Zulqaidah hingga tanggal 10 bulan Zulhijjah yang merupakan waktu bagi pelaksanaan ibadah haji yang paling penting. Empat puluh hari inilah waktu yang paling baik untuk menyucikan jiwa. Dalam riwayat-riwayat disebutkan bahwa selama kurun 40 hari tersebut, Nabi Musa tidak makan dan minum. Kerinduan akan perjumpaan dengan Allah-lah yang memberikan makanan spiritual kepada Nabi Musa. Hasil dari semua itu adalah beliau memperoleh kitab suci Taurat pada tanggal 10 Zulhijjah.

Peristiwa ini adalah perjanjian terpenting antara makhluk (Nabi Musa) dan Khalik (Allah Swt), serta perjanjian paling sederhana di antara dua makhluk (Nabi Syuaib dan Nabi Musa). Sebagaimana kitab Taurat, dalam Alquran surat Ibrahim juga disebutkan tentang masalah haji, pembangunan Kabah, negeri yang aman, dan masalah-masalah lain sekaitan dengan fikih politik haji.

Berkaitan dengan risalah Nabi Musa, Allah Swt berfirman: “Dan sesungguhnya Kami telah mengutus Musa membawa ayat-ayat Kami. (Dan Kami perintahkan kepadanya), ‘Keluarkanlah kaummu dari gelap gulita kepada cahaya terang benderang, dan ingatkanlah mereka kepada hari-hari Allah.’ Sesungguhnya pada yang demikian itu terdapat tanda-tanda (kekuasaan Allah) bagi setiap orang penyabar dan banyak bersyukur.” (QS. Ibrahim: 5)

Pada 10 hari pertama bulan Zulhijjah juga terjadi peristiwa penting lainnya, yaitu turunnya surat al-Bara’ah (at-Taubah) dan penyampaian sikap berlepas diri dari orang-orang musyrik, yang disampaikan oleh Imam Ali bin Abi Thalib pada saat pelaksanaan ibadah haji. Allah berfirman: “Dan (inilah) suatu pemakluman dari Allah dan Rasul-Nya kepada umat manusia pada hari haji akbar, bahwa sesungguhnya Allah dan Rasul-Nya berlepas diri dari orang-orang musyrikin.” (al-Taubah: 3)

Ayat ini menjelaskan tentang tabarri (berlepas diri dari orang-orang musyrik). Ketika menurunkan wahyu ini, Allah menurunkan perintah kepada Nabi-Nya: Tidak boleh menyampaikan surat ini, kecuali engkau atau laki-laki yang berasal darimu. Oleh karena itu, Rasulullah Saw memberikan perintah kepada Ali bin Abi Thalib untuk menyampaikan surat (ayat) ini kepada orang-orang yang tengah melakukan ibadah haji.

Peristiwa ini menunjukkan bahwa haji memiliki banyak keutamaan dari berbagai sisinya. Sekarang, jelaslah mengapa haji memiliki dasar yang sangat dalam; mengapa para nabi berupaya keras menyampaikan pesan mereka dari samping Kabah, sehingga sampai ke seluruh dunia. Apabila haji hanya memiliki sisi ibadah saja, dan sekedar tawaf mengelilingi Kabah, maka ibadah haji Islam tak jauh berbeda dengan ritual haji di zaman jahiliah.

Atas dasar ini, maka landasan dan ruh ibadah haji adalah hal lain. Dalam tafsir Nur al-Tsaqalayn diriwayatkan, Imam Muhammad Baqir a.s. ketika datang ke Mekah dan menyaksikan orang-orang yang tawaf di sekitar Kabah, berkata: “Seperti inilah orang-orang melakukan tawaf di zaman jahililah?”

Benar, agama Islam tidak datang hanya untuk melanjutkan tradisi kaum jahiliah. Imam Baqir menambahkan: “Sungguh, mereka diperintahkan untuk tawaf mengelilingi Kabah agar mereka cenderung kepada kami (Ahlulbait) dan mengenal kami melalui cinta dan kesetiaan mereka, sehingga mereka menawarkan dukungan kepada kami.” Kemudian Imam Muhammad al-Baqir membaca firman Allah: “Maka jadikanlah hati sebagian manusia cenderung kepada mereka.” (QS. Ibrahim: 37)

Dalam Nahj al-Balaghah, Imam Ali bin Abi Thalib berkata: “Tidakkah kamu melihat bahwa Allah yang Mahasuci telah menguji di antara orang-orang yang datang ke sini, dimulai dengan Adam hingga yang terakhir di dunia ini, dengan batu yang tidak memberikan suatu keuntungan atau kerugian, yang tidak melihat ataupun mendengar? Dia membuat batu-batu itu menjadi rumah-Nya yang suci dan Dia jadikan itu sebuah andalan bagi manusia.”

Setelah menyampaikan khotbah ini, Imam Ali membacakan ayat: “Maka jadikanlah hati sebagian manusia cenderung kepada mereka.” (Ibraham: 37)

Ayat ini dan ayat dalam surat al-Hajj memiliki dua pesan, yaitu bahwa orang-orang datang dari tempat yang jauh maupun dekat menuju ke Baitullah, memiliki dua tugas yang harus dilaksanakan: Pertama, tawaf mengelilingi batu-batu yang tidak memberikan keuntungan maupun kerugian. Kedua, mengakui wilayah Ahlulbait dengan (segenap) jiwa mereka.

Pesan pertama berhubungan dengan fisik manusia. Pesan tersebut Allah bebankan kepada Nabi Ibrahim untuk disampaikan kepada umat manusia. Allah berfirman: “Dan serulah manusia untuk mengerjakan haji, niscaya mereka akan datang kepadamu dengan berjalan kaki dan mengendarai unta yang kurus, yang datang dari segenap penjuru yang jauh.” (QS. al-Hajj: 27)

Adapun ketika orang-orang datang dan menampakkan kecintaan mereka kepada Ahlulbait, serta memberikan dukungan dengan cara mengorbankan jiwa dan harta mereka, maka itu berarti mereka telah menundukkan hati mereka hanya untuk Allah.