Rahasia Keagungan Ibadah Haji: Membentuk Manusia Paripurna


Ibadah haji dengan semua rangkaian kesulitan pelaksanaannya mengandung rahasia yang sangat besar. Sebagaimana mafhum, semakin besar sebuah tindakan, maka hasilnya juga besar. Perjalanan haji pada hakikatnya merupakan sebuah hijrah besar, sebuah perjalanan Ilahi, sebuah medan yang luas untuk pembentukan dan penyucian jiwa insan, serta sebuah jihad akbar.

Ritual haji pada hakikatnya menunjukkan sebuah ibadah yang telah membaur secara mendalam dengan kenangan-kenangan dari usaha dan perjuangan keras yang dilakukan oleh Nabi Ibrahim a.s. dan putranya Nabi Ismail a.s., serta istrinya Hajar. Apabila kita melalaikan pengkajian atas rahasia-rahasia haji ini, akan begitu banyak hakikat dari ritual haji ini yang berada dalam teka-teki. Ya! Kunci dari teka-teki ini adalah kepedulian pada keberbauran yang mendalam ini.

Pada saat kita mendatangi tempat penyembelihan binatang kurban yang terletak di Mina, kita akan tercengang dan muncul pertanyaan di dalam hati kita, untuk apakah semua binatang kurban yang sedemikian banyak ini? Pada prinsipnya, apakah penyembelihan hewan memang bisa merupakan sebuah cincin dari kumpulan mata rantai sebuah ibadah?

Akan tetapi, ketika kita mengingat kembali peristiwa penyembelihan yang dilakukan oleh Nabi Ibrahim a.s. terhadap anak semata wayang yang paling dicintai dan disayanginya, seorang putra yang merupakan buah pernikahan dari sekian tahun usianya yang harus dikorbankan dan dipersembahkan di jalan Allah, yang kemudian termanifestasi menjadi sebuah sunah dalam bentuk penyembelihan kurban di tanah Mina, maka kita akan memahami filsafat dari amal ini.

Penyembelihan kurban merupakan sebuah rumus bahwa segala sesuatu harus diletakkan pada jalan penghambaan dan pengabdian. Penyembelihan kurban merupakan sebuah manifestasi untuk mengosongkan kalbu manusia dari segala sesuatu selain Allah dan kita akan bisa mengambil manfaat edukasi dari manasik ini dengan cukup ketika kita telah mampu mengukir dan memahat keseluruhan peristiwa penyembelihan Ismail a.s. dan kekuatan spiritual yang dimiliki oleh bapak serta anak ini ketika melakukan penyembelihan dalam pandangan kita, dan pada akhirnya, spiritualitas tersebut pun akan menyorotkan cahayanya ke dalam wujud manusia.

Ketika kita pergi ke Jamarât, yaitu tiga buah tiang yang terbuat dari batu khusus -di mana para haji ketika melakukan ritualnya melempari ketiganya dengan batu dan pada setiap lemparannya, mereka melemparkan tujuh buah batu dengan ritual yang khas- maka teka-teki dari ritualitas ini pun terhampar di hadapan kita yang kemudian memunculkan sebuah pertanyaan, apa kira-kira arti dari melemparkan sekian banyak batu ke arah sebuah tiang batu yang tanpa ruh ini? Dan kira-kira persoalan apakah yang akan bisa terpecahkan dengan ritual semacam ini?

Akan tetapi, apabila kita mengingat kembali bahwa semuanya ini merupakan kenangan dari perlawanan Nabi Ibrahim a.s., sang Pahlawan Tauhid dalam menghadapi godaan setan yang telah menampakkan dirinya sebanyak tiga kali untuk menghalangi langkah beliau dan mempunyai maksud untuk membuat keraguan dan kelemahan dalam menghadapi medan jihad akbar ini, dan setiap kali itu pula Ibrahim sang Pahlawan melemparinya dengan batu supaya setan menjauh darinya, maka kandungan dari ritual ini pun akan menjadi jelas bagi kita.

Arti ritual ini adalah, bahwa kita semua pun sepanjang usia berada di dalam medan jihad akbar yang senantiasa berhadapan dengan bisikan setan. Dan selama kita tidak melemparinya dan tidak memperlihatkan sedikit pun reaksi supaya ia melarikan diri dari kita, kita tidak akan pernah memperoleh, bahkan separuh kemenangan sekalipun.

Apabila Anda memiliki harapan bahwa supaya Allah Yang Agung, Pemilik Segala Kesempurnaan memandang Anda dengan pandangan kasih dan rahmat-Nya sebagaimana Ia menyampaikan salam-Nya kepada Nabi Ibrahim dan mengabadikan ajaran dan kenangannya dalam sunah-sunah agama-Nya, Anda harus melanjutkan garis yang telah ada ini.

Kemudian, pada saat kita menapakkan kaki ke Shafa dan Marwah, dan kita melihat orang-orang secara berkelompok dan berbondong-bondong berjalan dari gunung kecil di sini ke arah gunung yang lebih kecil lagi di bagian sana, kemudian dari sana kembali lagi ke gunung yang ini, dan mereka mengulangi perbuatannya lagi di mana terkadang mereka melakukannya dengan berlari, akan tetapi tak jarang pula melakukannya dengan berjalan tanpa menghasilkan sesuatu pun, tentu saja kita akan terheran-heran; amal apa lagi ini? Dan kira-kira apa arti yang akan diperoleh dari ritual semacam ini?

Akan tetapi, ketika kita mengurut benang sejarah ke belakang, kemudian mengingat kembali kisah jerih payah seorang wanita penuh iman bernama Hajar yang dengan semangat luar biasa mencarikan air di tengah sahara yang kering dan membakar untuk menyelamatkan si buah hatinya, Ismail dari kehausan, dan bagaimana kemudian Allah Swt. mengabulkan seluruh usaha dan jerih payahnya dengan memancarkan dan mengalirkan air Zamzam di bawah telapak kaki Ismail kecil, tiba-tiba kita seakan tersentak, roda zaman berputar ke belakang dan tabir kekaburan tersingkap. Lalu pada saat itu, kita akan melihat posisi diri kita telah berada di samping Hajar, bersama-sama melangkahkan kaki dalam menguras tenaga dan keringat untuk meraih rahmat-Nya. Karena kita mengetahui bahwa perjalanan di jalan Allah tanpa adanya usaha dan kemauan, tidak akan pernah bisa membawa kita ke tempat manapun.

Walhasil, dari segala apa yang telah disampaikan sebelumnya kita bisa mengambil kesimpulan, bahwa haji haruslah diajarkan dengan (menjelaskan) segala rumus dan rahasia yang tersembunyi di baliknya, kemudian mengukir dan memahat seluruh kenangan Nabi Ibrahim a.s., Nabi Ismail a.s. dan Hajar setapak demi setapak, sehingga selain filsafat dari semua kejadian ini bisa dipahami, pengaruh-pengaruh akhlak yang dalam dari haji juga bisa menghujamkan cahayanya di dalam jiwa-jiwa mereka yang melakukannya. Tanpa adanya hakikat-hakikat tersebut, haji berarti hanya dilakukan pada bagian lapisan luarnya saja, tidak lebih dari itu.