Filosofi Kabah

Kabah terbuat dari batu-batu kasar berwarna hitam yang disusun dengan pola yang sangat sederhana dan celah-celahnya diisi dengan kapur berwarna putih. Kabah hanyalah sebuah bangunan berbentuk kubus yang kosong, namun engkau bisa bergetar dan terhenyak dengan apa yang engkau saksikan. Tidak ada apa-apa! Tidak ada apa pun untuk dilihat! yang dapat disaksikan hanyalah sebuah ruang kosong (berbentuk persegi empat). Hanya beginikah? Inikah pusat keyakinan, salat, cinta, dan kematian kita?

Berbagai pertanyaan dan keraguan timbul dalam benakmu. Di mana aku berada? Apa yang ada di sini ini? Yang engkau saksikan adalah antitesis dari imajinasi visualmu tentang Kabah. Sebelumnya mungkin engkau telah membayangkan Kabah sebagai sebuah karya arsitektur yang indah (bagaikan sebuah istana) yang atap-atapnya menutupi kesenyapan spiritual. Gambaran lainnya mungkin adalah sebuah makam besar yang di dalamnya ada kuburan seorang manusia penting, seorang pahlawan, jenius, imam, atau nabi! Oh tidak, malahan ia adalah sebuah bangunan persegi yang terbuka, sebuah ruang kosong. Kabah tidak merefleksikan kepiawaian arsitektural, keindahan, seni, prasasti, tidak juga kualitas; dan tidak ada kuburan di sana. Tidak ada apa pun dan tidak ada seorang pun yang dapat menjadi pusat perhatian, perasaan, dan kenanganmu.

Engkau akan menyadari bahwa di sana tidak ada apa pun atau seseorang pun yang dapat mengganggu pikiran dan perasaanmu terhadap Tuhan. Kabah yang ingin engkau terbangi agar dapat berhubungan dengan yang “Mutlak” dan “Abadi” adalah atap untuk perasaanmu. Ini adalah sesuatu yang tak dapat engkau capai di duniamu yang terfragmentasi dan relatif. Semula engkau hanya bisa berfalsafah, tapi kini engkau dapat melihat yang “Mutlak”, yang tidak berarah, Dialah Allah! Dia ada di mana-mana.

Alangkah baiknya menyaksikan Kabah yang kosong! Dengan melihat Kabah seperti itu maka akan mengingatkanmu, bahwa kehadiranmu ini adalah untuk menunaikan ibadah haji. Kabah bukan tujuanmu, tapi hanya sekadar pedoman arah. Kabah hanyalah sebuah rambu penunjuk jalan.

Setelah memutuskan untuk bergerak menuju keabadian maka engkau pun memulai ibadah haji. Pergerakan ini adalah pergerakan abadi menuju Allah dan bukan menuju Kabah. Kabah adalah awal pergerakan dan bukan akhir (karena di saat akhir maka tidak ada lagi yang dapat dilakukan). Kabah adalah tempat bertemunya Allah Swt, Ibrahim a.s., Muhammad Saw, dan umat manusia. Engkau akan hadir di sana hanya jika benakmu tidak terpikat oleh pikiran-pikiran yang bersifat egosentris. Engkau harus menjadi bagian dari ummah!

Setiap orang mengenakan pakaian khusus, sebagai orang yang disucikan oleh Allah dan menjadi “keluarga-Nya” maka engkau dimuliakan oleh-Nya. Dia lebih bergairah memperhatikan “keluarga-Nya” dibanding yang lainnya. Namun, Kabah, milik-Nya dan rumah-Nya disebut juga sebagai “rumah umat manusia”.

“Sesungguhnya rumah yang mula-mula dibangun untuk (tempat beribadat) manusia, ialah Baitullah yang di Bakkah (Mekah ), yang diberkahi dan menjadi petunjuk bagi semua manusia.” (QS. Ali Imran: 96)

Engkau tidak diizinkan memasuki rumah suci ini jika engkau masih memikirkan dirimu sendiri (egois). Mekah disebut Bazit-Atiq. Atiq artinya bebas dan tidak dimiliki oleh siapa pun. Ia bebas dari genggaman para penguasa dan penindas; karena itu kota ini tidak ada yang menguasainya. Pemilik kota Mekah adalah Allah Swt sedangkan manusia yang ada di sana hanya sekadar menghuni.

Dengan beberapa ketentuan, kaum Muslim boleh memperpendek salat-salatnya jika melakukan perjalanan minimal sejauh empat puluh mil dari kampung halamannya. Tapi di Mekah, tidak peduli dari mana engkau berasal atau sejauh mana engkau telah melakukan perjalanan, maka bilangan rakaat salatmu harus sempurna.

Mekah adalah negerimu, komunitasmu dan engkau aman di sana. Engkau bukan pengunjung, tapi engkau berada di kampung halamanmu sendiri. Sebelum datang ke Mekah engkau adalah orang asing yang terusir dari negerimu sendiri. Namun kini, engkau diundang untuk menjadi keluarga Allah Swt. Umat manusia, keluarga yang paling dikasihi dari penghulu dunia ini, diundang ke rumah ini. Jika engkau sebagai seorang individu bersikap suka mementingkan diri sendiri (egoistis), maka engkau akan merasa bagaikan tunawisma asing yang tersesat dan tak punya tempat bernaung serta sanak saudara. Oleh karena itu, lepaskan segala kecenderungan untuk mengistimewakan diri sendiri. Kini engkau dipersiapkan untuk memasuki rumah dan menjadi keluarga ini. Engkau akan disambut sebagai seorang sahabat dan kerabat dekat dari keluarga Allah Swt.

Manusia paling tua dan paling suka menentang dalam sejarah umat manusia yang bisa digambarkan di sini adalah Nabi Ibrahim a.s. Ia menolak segala berhala di muka bumi karena yang sangat dicintai dan ditaatinya hanyalah Allah semata. Dengan tangannya sendiri ia membangun Kabah. Bangunan ini melambangkan Allah di dunia. Bentuk bangunannya sangat sederhana dan tersusun dari batu-batu hitam dari Ajun. Tidak ada desain atau pun dekorasi.

Namanya Kabah, berarti “kubus” menurut desain arsitektural, tapi mengapa harus berbentuk kubus? Mengapa begitu sederhana tanpa warna dan ornamen?

Karena Allah Yang Mahakuasa tidak punya bentuk, tidak berwarna dan tidak ada yang menyerupai-Nya. Tidak ada pola atau visualisasi Allah yang dapat diimajinasikan oleh manusia. Karena Mahakuasa dan Maha Abadi maka Allah Swt adalah mutlak.

Meskipun Kabah tidak punya arah (karena bentuknya seperti kubus, namun dengan menghadap Kabah ketika melakukan salat maka engkau telah memilih arah Allah dan menghadap kepada-Nya. Tidak-berarahan Kabah mungkin terasa sulit dimengerti. Namun, dengan kondisi seperti itu berlakulah universalitas dan kemutlakan bentuk Kabah. Untuk bangunan yang bersisi enam maka struktur yang sesuai adalah kubus. Ia meliputi segala arah dan semuanya serempak melambangkan ketiadaan arah, dan simbol sejati dari bentuk ini adalah Kabah.

…kepunyaan Allah-lah timur dan barat, dan ke mana pun engkau menghadap maka sesungguhnya engkau menghadap Allah. (QS. al-Baqarah: 115)

Ketika salat di luar Kabah engkau harus menghadapnya. Bangunan apa pun selain Kabah pasti mengarah ke utara, selatan, timur, barat, atas atau bawah. Kabah, sebagai kekecualian, menghadap ke segala arah tapi tidak menghadap apa pun. Sebagai simbol sejati dari Allah, Kabah mempunyai banyak arah namun ia tidak mempunyai arah tertentu.

Allah Yang Mahakuasa sendirian saja menempati posisi ketuhanan-Nya Yang Mahamulia dan Mahabesar. Dia tidak membutuhkan siapa pun atau apa pun. Namun demikian, dari seluruh makhluk-Nya yang tak terbilang jumlahnya, Dia telah memilih manusia sebagai yang paling mulia di antara seluruh makhluk-Nya. Dari seluruh manusia terpilih seorang perempuan, dari seluruh manusia terpilih seorang budak, dan dari seluruh budak terpilih seorang budak perempuan berkulit hitam.

Salah seorang makhluk-Nya yang paling lemah dan paling hina telah diberi tempat di samping-Nya dan sebuah ruangan di dalam rumah-Nya. Dia telah datang ke rumahnya dan menjadi tetangga serta berada satu ruangan dengannya. Maka sekarang Allah dan Hajar berada di bawah atap “rumah” ini. Demikianlah ‘serdadu tak dikenal’ ini dipilih dalam masyarakat Islam.

Ritus-ritus ibadah haji adalah dalam rangka memperingati Hajar. Kata hijrah (migrasi) dan juga ‘muhajir’ (imigran) berasal dari namanya. Imigran yang ideal adalah orang yang berkelakuan seperti Hajar. Nabi Muhammad Saw berhijrah sebagaimana hijrahnya Hajar. Hijrah juga merupakan suatu peralihan dari kekejaman menjadi beradab, dan kekufuran menjadi Islam.

Dalam bahasa ibunya, nama Hajar berarti “kota”. Nama budak hitam Ethiopia ini pun merupakan simbol dari peradaban. Selain itu, hijrah seperti yang dilakukannya merupakan suatu gerakan menuju peradaban. Pada saat manusia bertawaf mengelilingi Kabah maka posisi kuburan Hajar berada di tengah. Sebagai muhajir yang telah memisahkan diri dari segala sesuatu dan menerima undangan Allah untuk pergi haji, engkau akan bertawaf mengelilingi kuburan Hajar dan Kabah Allah sekaligus.