Situs Al Imamain Al Hasanain Pusat Kajian Pemikiran dan Budaya Islam

Hari Arafah, Pintu Pengampunan dan Rahmat Ilahi

1 Pendapat 05.0 / 5

Para hujjaj yang berada di Arafah di mana para nabi besar seperti Nabi Adam, Ibrahim as dan Muhammad Saw memberikan pelajaran berharga di kalbu setiap hujjaj untuk berdoa dan beristighfar. Ini merupakan peluang besar dan mungkin tidak akan terulang kembali bagi mereka untuk bertobat dan melakukan amal Saleh di Mina.

Hari kesembilan bulan Dzulhijjah adalah sebuah hari istimewa. Meski hari Idul Adha diperingati pada tanggal 10 Dzulhijjah, namun angin rahmat Allah Swt telah terhembus sejak sehari sebelumnya yang disebut dengan Hari Arafah. Ini adalah makna pemahaman dan kesadaran yang dibarengi dengan manajemen dan pemikiran, yang telah sangat ditekankan dalam Islam.

Hari Arafah adalah hari pengenalan dan pemahaman tentang ciptaan Allah dan nikmat-nikmat yang dilimpahkan-Nya kepada hamba-hamba-Nya. Hari Arafah adalah salah satu ayyamullah dan hari khusus di mana memperingatinya telah banyak ditekankan dalam Islam. Namun bagaimana untuk memuliakan hari tersebut?

Doa dan beribadah adalah amal terpenting dan terbaik pada hari Arafah. Benar bahwa berkomunikasi dengan Allah Swt dapat dilakukan kapan saja, akan tetapi ada waktu dan tempat-tempat khusus yang akan mempermudah komunikasi tersebut tercapai dan memberikan pengaruh yang lebih dalam. Salah satu waktu dan tempat khusus itu adalah pada Hari Arafah.

Imam Ja'far As-Shadiq as, dalam hal ini mengatakan, "Ucapkan semua doa yang kau sukai dan berupayalah bahwa pada hari (Arafah) itu, adalah hari doa dan permohonan." Doa terpenting dan harapan termulia pada hari penuh berkah itu adalah permohonan ampun dan istighfar kepada Allah Swt.  Sehingga seluruh amalan lain pada Hari Arafah juga akan dalam koridor doa dan istighfar.

Pada tanggal 9 Dzulhijjah, terdapat berbagai amalan dan ibadah dari para imam maksum as sehingga masyarakat dapat memanfaatkan semaksimal mungkin hari mulia tersebut. Puasa, mandi wajib, shalat dan banyak doa termasuk di antara rangkaian amalan penting pada Hari Arafah.

Pada sebagian dari zikir tasbih Rasulullah Saw pada Arafah disebutkan, "… Maha Suci Allah Swt yang menguasasi neraka, Maha Suci Allah yang memperluas rahmat-Nya di sorga, Maha Suci Allah yang keadilan-Nya akan tertegakkan pada hari kiamat…"

Salah satu doa terindah dan paling komprehensif adalah doa yang dibaca oleh cucu Rasulullah Saw, Imam Husein as di padang Arafah yang mengandung makna sangat tinggi dan penuh pelajaran. Disebutkan pula banyak doa dari para imam maksum as yang lain.

Tidak diragukan lagi Hari Arafah adalah hari penting bagi mereka yang berangkat ke Arab Saudi untuk menunaikan haji. Mereka memulai haji mereka dengan singgah di padang Arafah. Di Arafah para hujjaj bermunajat, berdoa dan beribadah sebagai persiapan melaksanakan manasik haji di hari-hari berikutnya.

Imam Ali as berbicara tentang persinggahan para hujjaj di padang Arafah yang terletak di luar Mekkah, mengatakan, "Arafah berada di luar batas haram dan para tamu Allah Swt harus berada di luar batas tersebut dan beribadah secara khusyu' dan tawadhu' sedemikian rupa sehingga mencapai kelayakan sebelum memasuki haram.

Beliau juga menekankan keagungan dan pentingnya persinggahan di Arafah dan mengatakan, "Banyak dosa (sedemikian berat) yang hanya akan diampuni di Arafah." Oleh karena itu di padang gersang Arafah, namun luhur itu, para hujjaj mengharapkan ampunan dan rahmat dari Allah Swt.

Dalam sebuah hadis dari Rasulullah Saw disebutkan, "Ketika masyarakat melakukan wukuf di Arafah dan memanjatkan harapannya dengan tangisan dan ratapan, Allah Swt di hadapan para malaikat-Nya membangga-banggakan masyarakat tesebut dan berkata kepada mereka: apakah kalian tidak menyaksikan bagaimana hamba-hamba-Ku datang dari jauh dan penuh debu untuk menemui-Ku serta mereka membelanjakan harta mereka di jalan-Ku dan membuat tubuh mereka kelelahan? Aku bersumpah demi kemuliaan dan keagungan-Ku bahwa para pendosa akan Aku ampuni karena orang-orang yang beramal baik dan dosa-dosa mereka akan Aku bersihkan, seperti hari ketika mereka dilahirkan ibu mereka."

Oleh karena itu, Rasulullah menekankan bahwa orang-orang yang paling pendosa di Hari Arafah adalah yang kembali dari sana dan beranggapan tidak terampuni. Dengan demikian para hujjaj pada hari pertama haji melakukan penyucian diri dari segala dosa di Arafah sampai mereka terbukti layak untuk memasuki Haram, atau Mekkah.

Arafah adalah jalan lintasan untuk menuju Mina. Karena para hujjaj harus melakukan wukuf di Arafah selama tiga hari, melempar manifestasi setan sebanyak tiga kali dan menjauhkan dirinya dari segala bentuk godaan setan. Oleh karena itu, Hari Arafah sangat penting bagi para hujjaj. Mereka harus berusaha dan dengan tenang tanpa sedikit pun kekhawatiran beribadah untuk memohon ampunan dari Allah Swt.

Tahun lalu, para hujjaj yang menggenakan busana ihram putih bermunajat dan beribadah di Arafah. Mereka membaca doa Arafah dari Imam Husein as dengan penuh keikhlasan dan ketenangan. Ketika senja mereka bersiap-siap untuk menuju Masyarul Haram dan kemudian menuju Mina. Akan tetapi mereka tidak mengetahui bahwa di Mina akan terjadi sebuah tragedi besar yang menanti mereka. Dan memang seharusnya tidak ada alasan untuk khawatir.

Jumlah jemaah haji tahun itu lebih sedikit dibanding tahun-tahun sebelumnya dan dengan sedikit manajemen dan pengelolaan yang benar, manasik haji di Mina dapat diselenggarakan dengan aman dan nyaman. Namun apakah dari rezim Al Saud yang tidak mampu mengelola urusan negaranya, kita dapat berharap pelaksaan manasik haji dapat berlangsung seksama tanpa gangguan?

Wukuf di padang Arafah kemudian perjalanan menuju Masy'ar, menyedot banyak tenaga para hujjaj. Satu-satunya alasan bagi para hujjaj untuk melanjutkan manasik lempar jumrah di Mina adalah cinta dan keimanan mereka pada Allah Swt. Mereka yakin akan janji Allah Swt bahwa di Arafah mereka dijanjikan pengampunan dan sekarang mereka harus berlepas tangan dari setan dengan melakukan manasik lempar Jumrah.

Pada tahun lalu, para hujjaj juga melaksanakan lempar Jumrah dengan penuh semangat. Akan tetapi para petugas keamanan Saudi mengalihkan jalur para hujjaj dalam satu jalan sehingga terjadi pembludakan jemaah. Selain itu, banyak pintu keluar yang ditutup dan akhirnya terjadilah tragedi Mina.

Dalam hal ini, Rahbar atau Pemimpin Besar Revolusi Islam Iran, Ayatullah Al-Udzma Sayyid Ali Khamenei, dalam pesan hajinya tahun 1437 H, menyatakan, Sekarang hampir satu tahun berlalu dari peristiwa mengerikan Mina di mana beberapa ribu manusia pada hari eid dan dengan mengenakan busana ihram, meninggal dunia secara mazlum di bawah terik matahari dan dengan bibir kehausan.

Tidak lama sebelumnya, di Masjidul Haram juga beberapa orang yang sedang beribadah, bertawaf dan shalat juga menjadi korban. Para penguasa Saudi adalah yang bersalah pada dua insiden tersebut; ini yang telah disepakati oleh para hadirin, saksi dan pengamat teknis; dan dikemukakan pula unsur kesengajaan insiden tersebut oleh sejumlah analis.

Kelambatan dan kegagalan dalam penyelamatan korban luka setengah nyawa dengan jiwa penuh cinta dan hati penuh kerinduan mereka pada Eidul Adha disertai dengan lidah yang berzikir dan melantunkan ayat-ayat ilahi, adalah hal yang pasti dan jelas. Manusia-manusia berhati keras dan penjahat Saudi telah menyekap mereka bersama para korban jiwa di kontainer-kontainer tertutup, serta membuat nyawa mereka berguguran alih-alih memberikan pengobatan dan bantuan atau bahkan sekedar memberikan air pada bibir mereka yang kehausan.

Beberapa ribu keluarga dari berbagai negara dunia telah kehilangan para kekasih mereka dan masyarakat mereka berkabung. Dari Republik Islam hampir 500 orang di antara para syuhada. Hati banyak keluarga yang masih terluka dan bersedih serta masyarakat juga bersedih dan geram.

[Namun] para penguasa Saudi alih-alih meminta maaf, menyesali dan menghukum mereka yang bersalah secara langsung dalam insiden mengerikan ini, dengan tidak memiliki rasa malu dan congkak, bahkan mencegah pembentukan tim pencari fakta internasional Islam, alih-alih berdiri sebagai tertuduh, Arab Saudi berdiri sebagai penuntut serta semakin nyata, keji dan urakan menunjukkan permusuhan lamanya terhadap Republik Islam dan terhadap semua panji Islam yang berkibar dalam menghadapi kekufuran dan imperialis.