Hubungan Kesabaran Khalifah Ali bin Abi Thalib dengan Kemenangan Islam

Naik gunung merupakan sebuah kisah yang pas untuk menceritakan pentingnya kesabaran. Ketika kita mendaki gunung, maka kita akan disuguhi dengan berbagai tantangan. Tebing yang curam, tanaman-tanaman beduri yang bisa saja melukai tubuh kita, tanah yang licin, dan lain-lain.

Supaya seorang pendaki bisa mencapai di puncak gunung dan melihat pemandangan yang indah, ia harus berperang dengan rasa malas, sikap putus asa, dengan ejekan-ejekan teman, dan halangan-halangan psikologi lainnya. Kalau tidak demikian yakni ia tidak mampu menanggung rintangan yang hadir maka ia tak akan sampai di tujuan.

Selaras dengan ihwal ini, Nabi Isa as berkata bahwa kamu tidak akan pernah sampai pada cita-citamu, terkecuali kamu bersabar dalam menghadapi sesuatu yang tidak menyenangkan bagimu[1].

Contoh yang lain adalah seorang pelajar yang ingin menjadi seorang ilmuan, ia harus mampu menanggung jauhnya jarak dari kerabat, susahnya mempersiapkan untuk ujian, bangun pagi, capeknya menghafal, dll. Semua ini adalah masalah, bukan sesuatu yang mudah, tapi ia harus kerjakan, tapi ia harus tanggung semua itu supaya ia bisa sampai pada tujuannya.

Rasul saw bersabda sabar adalah teman yang menutupi kesedihan dan sahabat dalam menghadapi masalah.[2]

Seorang pendaki bisa sampai pada puncak gunung dan seorang pelajar bisa menjadi seorang ilmuan ini semua tak lepas dari sebuah sifat yaitu sabar. Supaya mereka bisa memenangkannya maka mereka menanam dan memupuk kesabaran dalam dirinya.

Sabar dalam ilmu akhlak islami merupakan salah satu sifat mulia dan bahkan al-Quran mengatakan bahwa sabar adalah sifat para nabi Allah swt dan Allah swt memrintahkan umatnya untuk bersabar.

“Bersabarlah dengan sabar yang baik.”[3]

Kesabaran Imam Ali ra Dan Kemenangan Islam

Dalam peristiwa setelah wafatnya Rasul saw, Imam Ali ra pernah berkata bahwa aku berpikir bahwa harus bagaimana? Apakah aku harus bangkit dan melawan dengan tanganku atau aku harus bersabar dengan semua ini. Aku melihat bahwa bersabar lebih masuk akal dan 25 tahun aku bersabar, (sabar ini) sudah seperti tulang yang tertahan di kerongkongan dan mata yang di pasak oleh duri.[4]

Begitu perih dan pahitnya beliau melihat haqnya di ambil oleh yang lain, namun beliau tetap bersabar demi kemenangan yaitu menjaga islam tetap ada. Sedangkan seandainya beliau tidak bersabar, maka dengan memperhatikan keadaan umat di zaman dahulu yang mana mereka baru saja mengenal islam,  bisa saja mereka kembali kepada kemusyrikan dan hasilnya adalah perjuangan nabi saw untuk menyebarkan islam semasa hidup beliau pun akan sia-sia saja. Dengan kesabaran, beliau telah mengalahkan musuh-musuh islam yang ingin memecah belah pada waktu itu.

[1] Mizanul Hikmah, Jild 6, hal 2959, no 10021.

[2] Ibid. No 10030.

[3] Al-Ma’aarij ayat 5.

[4] Mizanul Hikmah. Jild 6, hal 2963, no 10061.