Situs Al Imamain Al Hasanain Pusat Kajian Pemikiran dan Budaya Islam

Begini Filsafat Tauhid Imam Ali

1 Pendapat 05.0 / 5

Tauhid berasal dari kata wahhada, yuwahhidu, tauhidan, yang berarti menunggalkan atau memandang tunggal. Kebalikan dari tauhid adalah taktsir. Berasal dari, katstsaro, yukatstsiru, taktsiron, yang artinya mempluralkan atau memandang plural. Pluralitas eksistensi, baik pluralitas horizontal maupun vertikal, adalah hal yang tidak bisa diingkari. Terlebih alam materi, yang memang bersubstansi pluralitas. Memaksakan satu warna di alam materi, berarti menghendaki ketiadaan alam materi.

Lantas, dengan pandangan tauhid, bagaimana kita memandang eksistensi yang plural ini?

Ali bin Abi Tholib yang digelari sebagai bapak tauhid (sayyidul muwahhidin), bersabda; “ma’rifatuhu tauhiduhu, tauhiduhu tamyizuhu an kholqi, wa hukmut tamyiz bainunah ash-shifat la bainuna al-izlah”. Yakni, mengenal-Nya adalah menauhidkan-Nya, menauhidkan-Nya adalah membedakan-Nya dengan makhluk-Nya, dan hukum perbedaan adalah perbedaan sifat, bukan perbedaan terpisah.

Melalui sabdanya di atas, Sayyidina Ali menerangkan makna tauhid. Yaitu, mengafirmasi keberadaan Tuhan dan juga keberadaan ciptaan. Jangan katakan Tuhan tidak ada, yang ada hanya ciptaan. Jangan pula katakan ciptaan tidak ada, yang ada hanya Tuhan.

Ketahuilah, Tuhan dan ciptaan sama-sama ada. Meski demikian, Tuhan dan ciptaan tak boleh disama-samakan. Maka jangan katakan ana al-haq, wa al-haq ana. Hulul dan ittihad tidak bisa dibenarkan. Dalam arti, Tuhan tidak turun dan menyatu dengan ciptaan, tidak pula ciptaan yang naik dan menyatu dengan Tuhan.

Tuhan dan ciptaan harus dibedakan. Akan tetapi, sampai di sini, pelajaran tauhid belum usai. Daras selanjutnya, analisa jenis diferensia Tuhan dan ciptaan. Kata Imam Ali, relasi Tuhan dan ciptaan tidak seperti relasi antara dua wujud independen. Beda keduanya tidak seperti beda tembok dan pohon yang saling terpisah, saling independen.

Sayyidina Ali mengatakan, hukum perbedaan yang berlaku antara Tuhan dan ciptaan adalah perbedaan sifat dengan pemilik sifat, bukan perbedaan yang saling terpisah. Bagaimana maksudnya?

Bayangkanlah, seperti apa relasi antara sifat dan pemilik sifat. Sifat tidak akan pernah ada tanpa ada pemilik sifat. Wujud sifat adalah wujud dependen yang sepenuhnya bergantung dan bersandar pada wujud pemilik sifat. Sementara itu, wujud pemilik sifat adalah wujud independen yang sedikitpun tidak bergantung pada wujud sifat.

Begitulah, di hadapan Tuhan, ciptaan tak ubahnya seperti pikiran di hadapan pemilik pikiran, atau seperti buih di hadapan lautan. Ciptaan tidak terpisah dari Tuhan. Keterpisahan ciptaan dari Tuhan berarti ketiadaan ciptaan. Persis seperti tidak terlihatnya bebendaan, lantaran terpisah dari cahaya.

Ciptaan dan Tuhan tidak seperti para kurcaci dan pelaut tua yang terdampar di sebuah pulai dalam buku misteri soliter Josten Garder. Kurcaci-kurcaci itu independen dari pelaut tua, setelah melompat keluar dari alam mimpi si pelaut tua. Ciptaan adalah wujud dependen yang selamanya butuh pada wujud independen Tuhan.

Dengan kata lain, tanpa wujud independen sebagai sandaran eksistensi, ciptaan hanya ketiadaan, hanya kegelapan semata. Ciptaan butuh pada Tuhan, bukan hanya untuk mengada, tapi juga untuk melanjutkan keberadaan. Dalam filsafat dikatakan, al-ma’lul muhtajun ilal ‘illat hudutsan wa baqo’an. Artinya, akibat adalah cerita tentang kebutuhan abadi pada sebab.

Dari sini, tertolaklah pandangan sebagian teolog yang menyatakan, akibat butuh pada sebab hanya pada ranah mengada (huduts) semata. Adapun untuk melanjutkan keberadaan, akibat tidak butuh lagi pada sebab. Tuhan dipersepsi seperti pembuat jam. Untuk mengada, jam butuh pada pembuat jam. Untuk melanjutkan keberadaan dan menjalankan fungsinya, jam tidak butuh lagi pada pembuat jam. Ekstremnya, mereka ingin berkata, sekiranya Tuhan mati, kita-kita ini tetap bisa melenggang melanjutkan hidup.

Dalam filsafat Sadrian, hakikat akibat adalah kefakiran eksistensial (faqrul wujudi). Filsafat Sinawian menyebutnya kemungkinan esensial (imkanul mahwi). Kefakiran eksistensial menegaskan identitas ontologis wujud ciptaan, yaitu kebutuhan dan kebergantungan pada sebab.

Artinya, kebutuhan dan kebergantungan pada sebab bukan aksiden yang menempel pada wujud akibat, ia tidak seperti putih yang menempel pada tembok. Ibarat warna putih dengan putih, begitulah kedekatan wujud akibat dengan kebutuhan dan kebergantungan pada sebab. Akibat adalah ‘aiunur rabthi wal hajah, identik dengan kopulatif dan kebutuhan.

Kemungkinan esensial berhadapan dengan yang mustahil ada semisal segitiga bersisi empat, berhadapan juga dengan yang niscaya ada yang Tuhan adalah mishdaq tunggalnya. Sesuatu yang beresensikan mungkin, tidak memiliki keberadaan pada dirinya sendiri, ia berada pada posisi setara antara ada dan tiada. Artinya, untuk mengada dan keluar dari posisi setara tersebut, serta agar tetap ada, ia butuh curahan wujud yang terus-menerus dari sesuatu yang Maha Ada.

Kefakiran eksistensial Sadrian dan kemungkinan esensial Sinawian, kendatipun tidak semakna, namun semaksud. Keduanya sama-sama menegaskan kebutuhan abadi wujud akibat pada wujud sebab. Abadinya ciptaan bukan pertanda menuhannya ia, tapi cerita atas kebutuhan abadinya pada Tuhan.

Inilah tauhid imam Ali, tauhid yang meyakini dependensitas wujud ciptaan di hadapan Pencipta. Dalam bahasa agama, wujud dependen ciptaan disebut dengan wujud fakir, sedang wujud independen Tuhan disebut dengan wujud gani (Al-Fatir ayat 15). Tauhid dalam pandangan Imam Ali adalah meyakini bahwa satu-satunya wujud independen mutlak di lembah wujud, adalah Tuhan semata.

Selain Tuhan, semuanya adalah wujud dependen bahkan dependensitas itu sendiri, semuanya adalah wujud yang bergantung bahkan kebergantungan itu sendiri. Yah, semua kita adalah manifestasi Tuhan, semua kita hanya bayangan.

“Apakah engkau tidak melihat Tuhanmu bagaimana Dia menampakkan bayang-bayang, dan sekiranya Dia menginginkan, bayang-bayang itu akan tetap dalam ketiadaan, yakni khazanah ilmu_Nya”, kata Ibn Arabi berkaitan dengan ayat 45 surah Al-furqon.

Walhasil, dalam pandangan Imam Ali, anda belum bertauhid bila anda;

    Meyakini bahwa hanya Tuhan semata yang ada;
    Meyakini bahwa hanya ciptaan semata yang ada;
    Meyakini bahwa Tuhan adalah ciptaan dan ciptaan adalah Tuhan;
    Meyakini bahwa Tuhan dan ciptaan adalah wujud independen.

Anda bertauhid, jika anda sudah merasakan eksistensi anda seperti buih di lautan.