Muhammad bin Abdul Wahhab dalam Pandangan Muhammad bin Abdullah An-Najdi

Berdasarkan tulisan-tulisan sebelumnya sekaitan dengan pandangan para ulama Ahlussunnah terhadap Muhammad bin Abdul Wahhab dan kelompok yang di prakarsainya yaitu Wahabi, telah kita ketahui bahwa kelompok tersebut dan penggagasnya dinilai sebagai kelompok yang menyimpang dan mesti diwaspadai karena pemikiran dan ajarannya dapat merusak dunia Islam.

Telah disebutkan sebelumnya, beberapa Ulama menilai bahwa kelompok tersebut memiliki pandangan Takfiri yang mengkafirkan muslim lainnya jika tidak sepaham dengan mereka. Sebagiannya memandang bahwa kelompok ini sebagai Khawarij era ini seperti yang diungkap oleh Syaikh Al-Azhar Ahmad Thayyib, dan sebagian yang lainnya juga memandang dengan penilaian-penilaian negatif lainnya.

Di tulisan kali ini, akan disampaikan pandangan lainnya sekaitan dengan pemimpin kelompok yang muncul di Najd ini. Pandangan ini datang dari Syaikh Muhammad bin Abdullah An-Najdi Al-Hanbali, yang merupakan salah satu mufti Mekkah dan sezaman dengan Muhammad bin Abdul Wahhab.

Dalam kitabnya As-Suhubul Wabilah ‘ala Dharaihil Hanabilah, Syaikh Muhammad bin Abdullah menyebut dakwah pemerkrasa kelompok Wahabi ini sebagai api kejahatan yang melanda dunia. Kemudian dalam kitab tersebut, dituliskan pula cerita mengenai perilaku dari Muhammad bin Abdul Wahhab ini.

Dan dia adalah ayah dari Muhammad pemilik dakwah yang api kejahatannya melanda dunia. Tapi diantara keduanya terdapat perbedaan dimana Muhammad tidak menampakkan dakwahnya kecuali setelah kematian ayahnya. Beberapa orang yang menemuinya dan juga dari ahli ilmu juga dari yang sezaman dengan syaikh Abdul Wahhab (ayah Muhammad bin Abdul Wahhab) mengabarkan padaku bahwa ia marah pada anaknya Muhammad, karena ia tidak suka anaknya sibuk dengan pelajaran fikih seperti para pendahulunya dan orang-orang di sekitarnya, karena ia faham akan terjadi sesuatu padanya, sehingga ia mengatakan pada orang-orang: kalian akan segera melihat kejahatan dari Muhammad, maka Allah telah menetapkan apa yang terjadi terjadilah. Begitu juga putranya Sulaiman yang merupakan saudara dari Muhammad. Ia mengkritik dakwahnya dengan ayat dan riwayat karena ia tahu saudaranya tersebut tidak menerima kecuali hanya ayat dan riwayat, dan ia (Muhammad) tidak memperhatikan perkataan ulama yang dulu ataupun sekarang kecuali Syaikh Taqiyuddin Ibn Taymiyah dan muridnya Ibnul Qayyim, karena ia melihat perkataan mereka berdua seperti Nash yang tidak menerima takwil, dan ia menyerang orang-orang dengan perkataan mereka berdua, meskipun perktaan tersebut bertentangan dengan apa yang difahami. Syaikh Sulaiman menamakan (buku) yang mengkritik saudaranya tersebut dengan “Fashlul Khitab fi Ar-Rad ‘ala Muhammad bin Abdul Wahhab”.

Dan Allah menyelamatkannya (Sulaiman) dari kejahatan dan makar saudaranya tersebut yang dahsyat dan menakutkan bahkan untuk orang asing. Dia (Muhammad) adalah orang yang setiap kali seseorang mengkritiknya, dan ia (Muhammad) tidak mampu untuk membunuhnya secara terbuka, maka ia akan mengirim seseorang untuk membunuhnya di kasurnya atau di pasar pada malam hari, karena perkataannya yang mengkafirkan sesiapa yang menentangnya dan hal itu dianggap halal untuk dibunuh.

Dikatakan terdapat orang gila di kota yang biasa memukul sesiapa yang ada dihadapannya bahkan jika bersenjata. Lalu Muhammad memberinya pedang dan memerintahkannya untuk menemui saudaranya Syaikh Sulaiman yang saat itu ada di masjid sendirian. Ketika ia masuk, Syaikh Sulaiman melihatnya dan merasa takut padanya. Namun orang gila itu melempar pedang yang ada ditangannya lalu berkata: wahai Sulaiman janganlah takut! Sesungguhnya engkau termasuk orang yang selamat, dan ia mengulangnya berkali-kali. Tak diragukan lagi ini adalah termasuk dari karomah.[1]

Itulah setidaknya gambaran dan pandangan yang diungkapkan oleh Syaikh Muhammad bin Abdullah sekaitan dengan Muhammad bin Abdul Wahhab. Hampir sama dengan pendapat lainnya, Syaikh Muhammad bin Abdullah menerangkan bahwa pemimpin Wahabi ini berpandangan Takfiri dengan mengkafirkan sesiapa yang menentangnya, juga berprilaku ekstrimis dengan menghalalkan darah sesiapa yang berbeda pendapat dengannya.

Wallahu A’lam

[1] Muhammad bin Abdullah An-Najdi Al-Hanbali, As-Suhubul Wabilah ‘ala Dharaihil Hanabilah, Hal. 275-276 Cet. Maktabah Al-Imam Ahmad