Keteraniayaan Para Tawanan Ahlulbait Diarak ke Kufah

Ketika para tawanan Ahlulbait dibawa ke Kufah oleh pasukan Umar bin Saad, orang-orang yang melihatnya banyak menangis. Ummu Kultsum mengeluarkan kepalanya dari tenda yang ada di atas tunggangannya sambil berkata: “Laki-laki kalian membunuhi kami sementara wanita-wanita kalian menangisi kami. Biarlah Allah Swt menjadi hakim di antara kami dan kalian.”

Belum sempat kata-kata itu selesai diucapkan, tiba-tiba mereka membawa kepala-kepala para syuhada ke hadapan tawanan. Dan yang paling depan adalah kepala Imam Husain a.s. Ketika Sayidah Zainab melihat kepala saudaranya, ia membenturkan dahinya ke kayu tenda yang membawanya, hingga darah mengalir dari bawah kerudungnya. Ia melantunkan sebait syair:

“Hai bulan sabit, belum sempat engkau menjadi purnama, gerhana menenggelamkanmu

Hai belahan jiwaku, aku tidak menyangka keadaan seperti ini telah ditulis dan ditentukan

Hai saudaraku, berbicaralah kepada Fathimah kecil ini karena hampir saja hatinya meleleh.” (Biharul Anwar, 45/115)

Di tengah hiruk-pikuk kerumunan manusia, Sayidah Zainab memberi isyarat kepada mereka untuk diam. Spontan mereka terdiam. Suasana hening meliputi mereka sehingga hanya suara nafas mereka yang terdengar. Kemudian Sayidah Zainab menyampaikan khotbahnya. Setelah mengucapkan puja dan puji kepada Allah Swt beliau berkata:

“Hai penduduk Kufah! Hai para penipu! Apakah kalian menangisi kami? Ketahuilah, air mata kalian tidak akan pernah berhenti. Teriakan kalian tidak akan pernah bungkam. Perumpamaan kalian seperti seorang wanita yang memasang kalungnya dengan kuat, lalu membukanya secara paksa. Kalian telah memasang kalung iman kalian. Namun kalian melepaskannya dan berbalik kafir…” (Biharul Anwar, 45/108)

Diriwayatkan dari Imam Mahdi a.s. bahwa setiap tahun pada hari wafatnya Sayidah Zainab, para malaikat menyelenggarakan majelis duka di langit. Mereka membacakan pidato yang disampaikan Sayidah Zainab di Pasar Kufah. Lalu mereka menangis. (Khashaish Zainabiyyah, hal. 142)

Syekh Mufid dan Syekh Thusi meriwayatkan dari Jadzlam bin Basyir yang menuturkan: “Pada bulan Muharam tahun 61 Hijrah, saya memasuki kota Kufah. Hari itu bertepatan dengan dibawanya Ali bin Husain beserta para wanita Ahlulbait ke kota Kufah. Sementara pasukan Ibnu Ziyad mengelilingi mereka. Para penduduk Kufah keluar dari rumahnya untuk menyaksikan mereka. Karena mereka melihat para wanita Ahlulbait dibawa dengan menaiki unta tanpa penutup, maka para wanita Kufah merasa kasihan dan menangisi mereka. Pada saat itu, saya melihat Ali bin Husain tampak sangat pucat dan lemah karena sakit. Sementara rantai membelenggu lehernya. Kedua tangannya diikat ke lehernya.” (Amali Syekh Shaduq, 1/91)

“Pada saat itu, Sayidah Zainab memulai pidatonya. Demi Allah, saya bersumpah! Saya belum pernah melihat wanita yang lebih suci, lebih fasih, dan lebih indah kata-katanya dari Sayidah Zainab. Hingga sepertinya yang berbicara adalah ayahnya. Seakan-akan kalimat yang terucap dari lisannya adalah kalimat suci dari lisan Amirul Mukminin, Ali bin Abi Thalib.” (Amali Syekh Maufid, hal. 322)

Menurut riwayat penulis kitab al-Ihtijaj, pada saat itu Ali bin Husain a.s. berusaha menenangkan Sayidah Zainab dan berkata: “Tenangkan dirimu, bibi. Ambillah pelajaran dari masa lalu untuk masa datang. Pujilah Allah Swt. Karena engkau mengetahui tanpa belajar…” (al-lhtijaj, 2/305)

Imam Sajjad a.s. memberi isyarat supaya orang-orang diam. Kemudian dia mulai berpidato. Setelah mengucapkan pujian bagi Allah Tuhan Yang Maha Esa dan salawat bagi Nabi Muhammad Saw, Imam Sajjad a.s. berkata:

“Wahai manusia, siapa saja yang mengenalku maka ia telah mengenalku. Namun untuk siapa saja yang belum mengenalku maka ketahuilah, aku adalah Ali bin Husain bin Abi bin Abi Thalib. Akulah putra orang yang tersembelih tanpa dosa di tepi sungai Efrat. Akulah putra orang yang kehormatannya dinodai, hartanya dirampas, dan keluarganya ditawan. Akulah putra orang yang dibunuh dengan sabar. Dan itu sudah cukup menjadi kebanggaan bagiku.” (Biharul Anwar, 45/112)

Para Tawanan Masuk ke Majelis Ibnu Ziyad

Almarhum Sayid Ibnu Thawus dan yang lain menuliskan bahwa setelah para tawanan dan kepala-kepala para syuhada diarak di kota Kufah, Ibnu Ziyad memberikan hidangan kepada masyarakat umum. Mereka membawa kepala Imam Husain a.s. dan meletakkannya di hadapannya. Mereka juga membawa istri-istri dan anak-anak Imam Husain. Sayidah Zainab dengan tidak dikenal duduk di suatu sudut. Lalu wanita-wanita dan para budak perempuan duduk mengelilinginya.

Ibnu Ziyad bertanya: “Siapa wanita itu?”

Sayidah Zainab Kubra tidak menjawab. Untuk kedua kalinya, Ibnu Ziyad bertanya. Salah seorang budak perempuan menjawab: “Ini Zainab putri Ali dan Fathimah.”

Ibnu Ziyad menoleh ke Sayidah Zainab dan berkata kepadanya: “Segala puji bagi Allah yang telah membunuh dan menghinakan kalian. Dia telah menampakkan kebohongan terhadap apa yang kalian katakan.”

Sayidah Zainab berkata: “Segala puji bagi Allah yang telah memuliakan kami dengan Nabi-Nya Muhammad Saw dan menyucikan kami dari segala kesalahan dan dosa. Justru orang fasik yang akan menjadi hina dan orang jahat yang berkata dusta.”

Ibnu Ziyad berkata: “Engkau dapat lihat, apa yang telah Allah lakukan kepada saudara dan keluargamu?”

Sayidah Zainab menjawab: “Aku tidak melihat dari Allah Swt kecuali keindahan. Mereka orang-orang yang telah Allah tetapkan gugur sebagai syuhada. Karena itu, mereka pergi menuju pembaringan abadinya. Dan sebentar lagi, Allah akan mengumpulkanmu bersama mereka untuk menghakimimu. Kelak engkau akan lihat siapa yang akan menang dalam pengadilan itu. Semoga ibumu berkabung atas kematianmu, hai putra Marjanah.”

Ibnu Ziyad sangat marah dan hampir saja mengambil keputusan untuk membunuh Sayidah Zainab. Namun Amr bin Haris berkata: “Tidak ada hukuman bagi apa yang dikatakan seorang wanita.” (al-Luhuf, hal. 178)

Terjadi perdebatan lainnya di antara Sayidah Zainab dan Ibnu Ziyad. Kemudian Ibnu Ziyad menoleh kepada Imam Ali bin Husain a.s. dan bertanya: “Siapa dia?”

“Ali bin Husain”, seseorang menjawab

Ibnu Ziyad berkata: “Bukankah Allah telah membunuh Ali bin Husain?”

Imam Ali bin Husain a.s. menjawab: “Aku punya saudara yang juga bernama Ali, dan manusia telah membunuhnya.” Imam Ali Sajjad lalu membacakan ayat yang berbunyi: “Allah memegang jiwa (orang) ketika matinya.” (QS. az-Zumar: 42)

Ibnu Ziyad marah dan berkata: “Engkau masih berani menjawabku? Bawa dia dan penggal lehernya.”

Sayidah Zainab memeluk Imam Ali Sajjad a.s. sambil berkata: “Hai Ibnu Ziyad, engkau tidak meninggalkan seorang pun bagiku. Jika engkau ingin membunuhnya bunuhlah aku bersamanya.” (al-Irsyad, 2/117)

Imam Sajjad a.s. menatap Ibnu Ziyad seraya berkata: “Hai Ibnu Ziyad, engkau menakutiku dengan kematian? Tidakkah engkau tahu kematian sesuatu yang biasa bagi kami dan mati syahid adalah kebanggaan tertinggi bagi kami?” (al-Luhuf, hal. 180)

Ibnu Ziyad kemudian memukulkan tongkat kayunya ke gigi depan Imam Husain a.s. Di samping Ibnu Ziyad, duduk Zaid bin Arqam salah seorang sahabat Nabi saw. Dia sudah tua renta. Ketika melihat pemandangan ini, Zaid bin Arqam berkata: “Angkat tongkat kayumu dari kedua bibir itu. Karena, demi Allah Zat Yang tidak ada tuhan selain Dia, aku sering melihat Rasulullah Saw menciumi kedua bibir ini.” Kemudian Zaid menangis.

Ibnu Ziyad berkata: “Semoga Allah membuat matamu menangis. Apakah engkau menangis untuk kemenangan yang telah kita peroleh? Jika tidak, maka engkau tidak lain seorang tua renta yang telah kehilangan akal. Aku akan penggal lehermu.”

Zaid bin Arqam berdiri dari hadapannya dan pulang ke rumah. (al-Irsyad, 2/114)