Menganalisa Konsep Kenabian [1]


Apakah kenabian para nabi karena mereka menjadi orang-oarang pilihan Tuhan ataukah karena mereka orang-orang 'ârif (baca: urafa) pembaharu? Apakah para nabi mempunyai akses dalam kenabiannya ataukah mereka murni dipilih dari sisi Tuhan supaya menjadi media bagi hidayah manusia? Apa hakikat dari kenabian, para nabi itu merupakan manusia apa, dan apa kebutuhan kita kepada mereka?

Sebelum pembahasan ini dikupas lebih jauh yang pertama perlu kita ungkapkan apa kenabian itu, atau paling minimal apa yang kita maksud tentang kenabian. Sebab jika berpijak pada satu pandangan untuk menentukan esensi kenabian, kemungkinan besar akan berada pada suatu kondisi yang dapat menjadi gudang keragu-raguan. Oleh sebab itu cukuplah permasalahan dibatasi pada motif apa yang akan ditinjau dalam masalah kenabian, sehingga dapat diungkapkan defenisi-defenisi yang beragam tentangnya (dalam hal ini yang dimaksud dengan defenisi adalah penjelasan, bukan defenisi hakiki). Dalam pembahasan ini terdapat dua motif mendasar yang akan menjadi penelitian dan kita akan berupaya defenisi-defenisi yang diungkapkan sesuai dengan dua dasar motif tersebut.

Di sepanjang sejarah telah bermunculan para nabi benar dan para nabi palsu, yakni orang-orang yang mengklaim dirinya sebagai nabi secara dusta. Kita harus mengkonstruksi suatu defenisi yang dapat mewadahi dua model klaim kenabian ini, sehingga kita dapat membuka jalan untuk mengetahui para nabi hakiki dan para nabi palsu dan dusta.

Secara pendekatan logikal terdapat empat klasifikasi yang dapat dibedakan dari orang-orang yang mengklaim dirinya dengan kenabian, dimana empat kemungkinan ini diperoleh dari gejala dan fenomena berikut ini; para nabi dalam kalamnya (ucapannya) ataukah benar (jujur) ataukah bohong, dan benar serta bohong ini dapat dinisbahkan dari sisi pelaku dan juga dari sisi perbuatan itu sendiri. Dengan kata lain para pengklaim kenabian: 1) Terdapat padanya kebaikan perbuatan (fi'li) dan pelaku perbuatan (fâ'ili) , 2) atau keduanya tidak dimiliki, 3) atau pertama dimiliki dan kedua tidak dimiliki, 4) atau pertama tidak dimiliki dan kedua dimiliki. Kondisi ketiga, yakni kenabian mempunyai kebaikan fi'li dan tidak mempunyai kebaikan fâ'ili (misalnya Tuhan secara nyata memilihnya dan mengirimkan wahyu kepadanya, akan tetapi ia sendiri tidak menyadari masalah ini dan dengan kondisi ini ia mengklaim kenabian, dalam bentuk bahwa persangkaannya adalah kenabian palsu), tidak terjadi dalam sejarah. Kondisi pertama, berdasarkan satu landasan mempunyai realitas dan banyak para nabi berdatangan disepanjang sejarah dimana mereka memiliki kebaikan fâ'ili (pelaku perbuatan) dan juga memiliki kebaikan fi'li (perbuatan). Para nabi agama Ibrahimi dapat dikategorikan dalam kelompok ini. Kondisi kedua juga tanpa diragukan mempunyai sampel dan contoh, serta ada kemungkinan sesudah ini juga masih terjadi. Para nabi dusta dan palsu yang kebohongan mereka adalah jelas, seperti Musailimah Kadzab dan pembid'ah-pembid'ah lainnya merupakan misdak-misdak dari kelompok ini. Kondisi keempat, yakni seseorang menyangka bahwa benar-benar dirinya mendapat tugas dari Tuhan dan pesan Tuhan harus ia sampaikan pada seluruh masyarakat dunia. Akan tetapi dalam kenyataannya sama sekali tidak ada pesan dan tidak ada tugas dari Tuhan, hanya ia sendiri yang jatuh dalam kesalahan dan kekeliruan serta berada dalam persangkaan. Kondisi ini mungkin terdapat contoh dalam sejarah. Mungkin saja Budha dapat dihitung dalam kelompok ini.[1]


Siapakah Nabi ?
Permasalahan sekarang adalah siapakah nabi itu? Nabi adalah seseorang yang dibangkitkan (diutus) dengan tujuan memberi hidayah dan petunjuk kepada manusia, yang mendapatkan makrifat-makrifat dari mabda (bersumber) Ilahi tanpa perantara manusia lain dan kemudian ia sampaikan. Dalam defenisi ini terdapat delapan syarat daruri bagi seorang Nabi yang menurut kami urgen diuraikan secara singkat:

1. Nabi adalah seseorang: yakni ia adalah manusia. Syarat (kait) ini diungkapkan dengan maksud mengeluarkan malaikat perantara wahyu atau wujud yang tahu akan makrifat-makrifat itu (wahyu yang datang dari Tuhan);

2. Dengan tujuan memberi hidayah pada manusia: berkehendak baik dan memberi hidayah merupakan kekhususan penting dari para nabi. Sampai-sampai para nabi palsu pun menampakkan diri mereka pada masyarkat sebagai pemberi hidayah.

3. Dibangkitkan (diutus): bi'tsah adalah suatu peristiwa urgen, yang dengannya momen kenabian dimulai. Para nabi memandang diri mereka sebagai manusia yang diutus dari sisi Tuhan. Dengan kata lain mereka merasa sebagai utusan yang mana perutusan mereka ditetapkan dari sisi alam yang tinggi dan mereka merasa wajib untuk merealisasikan tuga tersebut. " Dan sungguh telah Kami utus (bangkitkan) pada setiap ummat seorang nabi (yang menyerukan) bahwa hendaklah engkau semua menyembah Allah" (Qs. an-Nahl [16]:36).

4. Makrifat dan pengetahuan: warisan para nabi tidak lain berbentuk kumpulan pengetahuan teoritis dan makrifat amali khusus yang mengungkapkan pandangan baru dan metode lain dalam kehidupan manusia. Kumpulan pengetahuan dan makrifat ini biasanya terkumpulkan dalam bentuk kitab-kitab suci dan diperlakukan secara khusus dan spesifik oleh pengikut-pengikut para nabi. Kumpulan makrifat dan pengetahuan ini mengambil bentuk dalam mental pengikut-pengikut para nabi dan mendidik mereka dalam cara dan metode khusus. "Dan mengajarkan kamu sesuatu (makrifat dan pengetahuan) yang belum kamu ketahui…" (Qs. al-Baqarah [2]: 151).

5. Tanpa perantara orang lain: para nabi tidak mendapatkan makrifat dan pengetahuan mereka lewat pembelajaran dari orang-orang lain. Para ulama setiap agama dan mazhab juga mempunyai suatu bentuk kemungkinan dibangkitkan, untuk memberi hidayah pada manusia (misalnya dari jalan perintah dan perutusan para nabi), demikian pula mereka alim terhadap sekumpulan makrifat dan pengetahuan (dengan perantara pengajaran dari nabi mereka), akan tetapi mereka ini tidak disebut sebagai nabi.

6. Mabda Ilahi: para nabi memandang sumber pengetahuan dan makrifat mereka dari alam Ilahi dan berkeyakinan tidak dihasilkan oleh akal dan mental manusia. Pengetahuan dan makrifat ini dalam bentuk dimana kaki akal manusia tidak dapat menjangkaunya, sebab memiliki dimensi langsung dari sumber Ilahi. "Dan Allah menurunkan kepada kamu kitab dan hikmah dan mengajarkan padamu apa yang tidak kamu ketahui dan adalah fadhlullah atasmu sangat besar" (Qs. an-Nisa [4]: 113).

7. Mendapatkan: salah satu bagian penting dari kenabian adalah mendapatkan makrifat serta pengetahuan ketuhanan dari Tuhan. Mereka mengklaim bahwa pengetahuan dan makrifat itu diberikan kepada mereka dari tempat lain (baca; alam lain) dan mereka merupakan orang-orang yang mendapatkan dan mengikutinya serta mereka sama sekali tidak menambahkan sesuatu atasnya (makrifat yang didapatkannya dari Tuhan). "Katakanlah: sesungguhnya aku mengikuti apa yang diwahyukan kepadaku dari Tuhanku" (Qs. al-A'raf [7]: 203).

8. Menyampaikan: para nabi merasa bahwa mereka mempunyai tugas dan tanggung jawab untuk menyampaikan kepada manusia makrifat yang mereka dapatkan. Perasaan ini sangat kuat pada diri mereka. Para nabi palsu juga mengklaim kalau mereka itu bertugas memberi hidayah pada manusia dan memandang bahwa diri mereka ditugaskan dari sisi Tuhan untuk menjelaskan pesan-pesan mabda serta berusaha menampakkan diri mereka secara lahiriah memiliki seluruh kekhususan-kekhususan nabi hakiki. Para nabi hakiki juga memandang inti perutusan mereka dari sisi tuhan adalah menyampaikan pesan Tuhan dan memberi peringatan kepada manusia.

Berasaskan ini maka kenabian adalah dibangkitkannya seseorang dengan tujuan hidayah manusia lewat pengetahuan dan makrifat yang didapatkan dari Tuhan tanpa perantara orang lain dan disampaikan kepada manusia.


Pilihan Tuhan atau 'ârif Pembaharu
Sebagaimana yang dipaparkan sebelumnya terdapat dua tinjauan yang dapat ditujukan terhadap para nabi. Tinjauan pertama memandang kalau para nabi adalah para 'ârif yang mempunyai kekhawatiran kemasyarakatan dan melakukan pembaharuan terhadapnya serta mereka tidak hanya mencukupkan pada keselamatan diri mereka dan jalan dimana mereka melangkah juga ditunjukkan dan diperuntukkan kepada yang lain. Tinjauan kedua memandang kalau para nabi adalah pribadi-pribadi istimewa yang dipilih dari sisi Tuhan dan memperoleh tugas dari Tuhan untuk melakukan perbaikan dan pembaharuan pada makhluk. Selanjutnya kami akan menjelaskan secara singkat tentang kedua tinjauan ini:


1. Para 'ârif pembaharu
Bentuk tinjauan ini merupakan produk zaman kontemporer. Yakni diproduk dalam priode dimana manusia menginginkan segala sesuatunya dijelaskan dengan pendekatan natural dan empiris serta memotong tangan metafisika dalam menjelaskan fenomena-fenomena yang ada. Bentuk tinjauan ini berhubungan dengan priode dimana manusia meletakkan Tuhan di antara dua hilal dan tanpa mengetengahkan eksistensi-Nya, manusia priode ini juga menjelaskan masalah wahyu dan kenabian. Dalam priode ini tidak satupun yang jadi sandaran kecuali eksperimen terhadap alam ini.

Demikian pula harus diungkapkan bahwa keberadaan masalah kenabian dalam priode zaman ini dikarenakan manusia mencoba mencari manfaat dan mudharat dari fenomena-fenomena alam dunia ini. Masalah alam akhirat, balasan, dan adzab bukanlah menjadi kekhawatiran inti mereka. Jika mereka mengutarakan masalah agama dan kenabian, pada dasarnya bukan untuk meraih kebahagiaan akhirat, akan tetapi dikarenakan untuk menggapai kemakmuran dunia dan memenuhi kebutuhan-kebutuhan alam dunia ini.

Di antara pra asumsi-pra asumsi yang ada dalam tinjauan ini yaitu manusia sanggup mencukupi diri sendiri dan mampu memecahkan segala problema-problemanya. Kendatipun sebagian dari problema itu dengan cepat dan mudah dapat dipecahkannya dan sebagian lagi lebih lambat dan lebih sulit dipecahkan. Tidak satupun sumber lain yang muktabar yang dengan bersandar padanya maka problema-problema manusia dapat terpecahkan. Akal dapat mengidentifikasi dan mengetahui kebutuhan-kebutuhan manusia dan juga mengetahui jalan menuntaskannya.

Kenabian merupakan suatu peristiwa yang muncul secara bertahap dalam kehidupan manusia. Manusia, ketika memasuki medan kehidupan merasakan adanya berbagai kebutuhan-kebutuhan. Kebutuhan-kebutuhan ini adalah beragam dan banyak. Mulai dari kebutuhan-kebutuhan primer, seperti makanan, pakaian, tempat tinggal, kesehatan, pekerjaan dan pernikahan sampai pada kebutuhan-kebutuhan sekunder, seperti seni, kesusastraan, kesibukan yang menyenangkan, kecintaan dan kekuasaan. Manusia memahami bahwa tanpa memenuhi kebutuhan-kebutuhan ini semua, mereka tidak mungkin dapat melanjutkan kehidupannya, atau minimal mereka tidak dapat mengangkat derajat kehidupannya. Memenuhi sebagian kebutuhan-kebutuhan ini adalah mudah dan semua orang mengetahui bagaimana cara berhadapan dengan masalah-masalah ini. Akan tetapi sebagian kebutuhan-kebutuhan tidak mudah dalam pemenuhannya dan tidak untuk semua orang. Sebagian mereka berada dalam tataran khusus dari kehidupan, dimana sebelum sampai pada tataran tersebut maka manusia tidak merasakan adanya kebutuhan seperti itu. Problema-problema seperti perasaan keterasingan diri, siksaan nurani, masalah keabadian, pembedaan dan diskriminasi yang tak terpecahkan dalam alam tabiat, dan kekurangan makrifat serta kepincangan akhlak, bukanlah merupakan problema yang dirasakan oleh semua orang. Sebagian orang telah terbebaskan dari kekhawatiran biasa kehidupan, seperti kekhawatiran makanan, minuman, tempat tinggal dan lainnya, kemudian mereka menghadapi kekhawatiran dan masalah yang lebih besar. Mereka tidak mencukupkan diri pada kehidupan dalam tingkatan rendah dan mencari kehidupan yang tingkatannya lebih tinggi.

Manusia yang berada pada kehidupan tingkatan tinggi, mempunyai kekhawatiran dan kerisauan besar, dan secara perlahan menemukan semacam keterasingan dari masyarakat. Mereka baru tahu akan keberadaan masalah-masalah yang lebih penting dalam kehidupan manusia, dimana tataran biasa kehidupan keseharian tidak mampu memberi penyelesaian terhadap masalah-masalah tersebut. Perlahan-lahan mereka memperhatikan alam yang lebih tinggi dan berusaha mencari jawaban dari persoalan-persoalan dari alam ini serta berharap memperoleh pengetahuan tentang kebagaimanaan perkara-perakara alam tinggi ini. Lahiriah alam tabiat tidak memuaskan mereka. Mereka mencari jalan untuk mengarungi batinnya dan menemukan pengetahuan akan rahasia-rahasia hakikat eksistensi. Dengan jalan ini mereka berharap dapat mengamankan kebutuhan-kebutuhan tinggi maknawi mereka.

Orang-orang ini dengan jalan melakukan satu rentetan latihan dan riyadah khusus, secara berangsur-angsur menemukan kondisi yang sangat sedikit terjadi pada diri orang-orang biasa. Kemudian mereka menyaksikan dan mendengarkan sesuatu yang tidak disaksikan dan didengarkan yang lain. Mereka merasakan kondisi-kondisi yang tidak dirasakan yang lain. Orang-orang yang mendapatkan pengalaman batin seperti ini, berhubungan dengan ruhiyyah diri mereka, terbagi atas dua kelompok. Kelompok pertama dari mereka tinggal dalam kondisi kesendirian diri dan menyibukkan qalbu pada penyingkapan-penyingkapan dalam diri. Kebanyakan para 'ârif masuk dalam kelompok ini. Mereka tidak mempunyai tujuan untuk memperbaharui masyarakat, akan tetapi sebatas berusaha mendapatkan hâl (sesuatu yang masuk dalam qalbu pesuluk yang datangnya dari alam gaib).

Mengasingkan diri (khalwat), memperoleh hâl, menyibukkan diri dengan ibadah, dzikir, wirid, memuji mahbub (Tuhan) dan do'a, merupakan kesibukan dari para 'ârif. Mereka sekiranya bermikraj maka tidak berkeinginan lagi untuk kembali.[2]

Kelompok kedua dari orang-orang yang mempunyai musyahadah batin, mereka secara peristilahan disebut sebagai nabi. Mereka ini juga mempunyai pengalaman-pengalaman maknawi yang tinggi. Mereka juga mendapatkan jalan pada stasiun 'isyq (cinta) dan fana dalam ma'syuq (yang dicinta), akan tetapi mereka tidak hanya berdiam dan berhenti pada ketertarikan ma'syuq. Mereka merasakan keberadaan tanggung jawab dan tugas dalam dirinya untuk membebaskan manusia dari kungkungan kegelapan dan mengajak mereka untuk naik dan sair serta suluk. Oleh karena itu, menurut tinjauan ini, para nabi adalah orang-orang 'ârif yang mempunyai keprihatinan pada masyarakat dan bermaksud memperbaiki dan memperbaharui mereka. Dari dimensi ini, mereka mendapatkan dalam dirinya tugas dari sisi Tuhan kepada makhluk dan memulai sair (perjalanan) dari Hak Swt menuju khalk (khalayak), sehingga untuk yang kedua kalinya kembali kepada Hak Swt dengan disertai beban ummat atau ummat mengikut padanya.

Kedua kelompok dari ahli kasyf dan syuhud ini, keduanya mempunyai satu kesamaan mukasyafah dan dari dimensi makrifat dan akhlak, mempunyai makrifat dan hâl yang sama. Satu-satunya perbedaan di antara kedua kelompok ini, adalah kekhususan-kekhususan ruhiah dan jiwa serta kepribadian dari mereka. Satu kelompok dari mereka tertarik dengan khalwat kesendirian dan satu kelompok lainnya terbawa di tengah-tengah masyarakat. Semua mereka bergerak dikarenakan kekhawatiran dan kerisauan individual dan bermaksud menemukan jawaban serta jalan pemecahan dari problema-problema mereka. Dengan perbedaan bahwa kelompok kedua, setelah menemukan jalan pemecahan dan jawaban terhadap problema mereka, mereka juga meletakkan jawaban tersebut pada ikhtiyar yang lainnya dan mengajak mereka untuk mendatangi jalannya, akan tetapi kelompok pertama tidak melakukan perbuatan ini. Kedua kelompok mempunyai pergerakan shu'udi (menaik), yakni pergerakan mereka beranjak dari bawah dan berakhir pada atas.[3]


2. Orang-orang Pilihan Tuhan
Bentuk tinjauan ini masyhur di antara pengikut-pengikut kebanyakan agama-agama. Pemikiran yang banyak dianut para agamawan, mendapat tempat, dan sunnati (tradisionil). Dari priode-priode dahulu hingga sekarang, tinjauan seperti ini dalam masalah kenabian senantiasa ada. Berasaskan ini, wujud Tuhan, atau setiap maujud lain yang diterima sebagai tujuan tertinggi, telah menjadi postulat. Tanpa asumsi dan postulat, atau penetapan maujud seperti ini maka masalah kenabian tidak akan mendapatkan penjelasannya yang benar. Demikian juga hikmah dan keinginan baik Tuhan sudah menjadi asumsinya. Berasaskan model tinjauan ini, hikmah dan keinginan baik Tuhan meniscayakan bahwa untuk mengantarkan manusia ke alam tinggi maka Tuhan mengadakan hubungan dengan sebagian manusia-manusia khusus, yang mana hubungan ini disebut dengan wahyu.

Dalam bentuk tinjauan ini, proporsi terbesar perbuatan, berada di tangan Tuhan. Yang memulai hubungan Tuhan terhadap manusia, adalah Tuhan. Dia yang merealisasikannya dari alam tinggi. Pergerakan asli adalah turun, yakni turunnya wahyu, dan Tuhan menurunkan wahyu dengan maksud memberi hidayah kepada manusia. Jika tidak ada Tuhan sebagai pemberi hidayah, manusia tidak akan sanggup mengenal perjalanan asli kesempurnaannya dan tidak akan dapat mendapatkan kebahagiaan abadi. Akal manusia tanpa dibantu dengan wahyu tidak memiliki kemampuan mengenal alam gaib dan perjalanan menuju ke alam ini. Akal tidak sanggup mengidentifikasi kekhususan tempat akhir manusia, melainkan akal butuh terhadap pertolongan wahyu untuk dapat mengenal kekhususannya. Berdasarkan ini, akal tidak hanya tidak sanggup secara sendiri mengentaskan seluruh kebutuhan-kebutuhan manusia, bahkan hatta ia juga tidak mempunyai kemampuan untuk mengidentifikasi seluruh kebutuhan-kebutuhan nyata manusia; sebab kekurangan akal demikian hingga, sampai ia tidak mampu mengetahui secara dalam dirinya, mabda (prima kausa, sumber), maad (eskatologi), dan menemukan perjalanan untuk sampai pada kebahagiaan abadinya. Keseluruhan pengetahuan dan kemampuan akal tidak sampai pada batas, dimana akal sanggup menyampaikan rancangan besar ini kepada tujuan. Oleh karena itu, Tuhan yang Maha Pengasih menurunkan bantuannya kepada akal dengan menurunkan wahyu terhadap orang-orang yang dipilihnya, sehingga dengannya Dia dapat menunjukkan jalan benar kepada manusia serta memotivasi mereka untuk meraih kesempurnaan dan kebahagiaan abadi dengan cara menempuh jalan ini.

Hubungan pewahyuan Tuhan dengan manusia-manusia mengambil bentuk pada sejumlah khusus dari mereka yang disebut dengan nabi-nabi. Tidak terdapat Kemungkinan berhubungan langsung dengan jalan satu persatu di antara manusia dengan Tuhan; sebab wadah ruhiah, maknawi, rasioanalitas, dan emosional semua manusia tidak berada pada batas dimana tersedia kemungkinan berhubungan langsung dengan Tuhan. Syekh Isyraq dalam hal ini mengisyaratkan permasalahan pembagian kerja di antara manusia:

"Ketahuilah bahwasanya dikarenakan setiap orang dari masyarakat tidak dapat merealisasikan seluruh pekerjaan-pekerjaan dan kepentingan-kepentingannya dan sementara itu tidak ada jalan lain harus terjadi muamalah, qishâsh, dan pernikahan, serta sebagian masyarakat tidak mungkin menjauh dari sebagian, maka harus ada syariat yang ideal dan undang-undang yang kokoh. Oleh karena itu keberadaan Syâri' (pembuat dan penetap hukum) adalah daruri dalam setiap waktu dan kaum, yang memiliki keutamaan jiwa, mengetahui hakikat-hakikat, memiliki legalitas dari alam cahaya dan jabarût, serta ia memiliki kekhususan terhadap perbuatan-perbuatan yang mana masyarakat lainnya dalam hal itu tidak memilikinya".[4]

Oleh karena itu, harus ada orang-orang pilihan yang mendapatkan firman Tuhan dan mendapatkan tugas dari-Nya, sehingga mereka ini menjadi rasul-rasul Tuhan yang menyampaikan pesan hidayah Tuhan kepada manusia. Syaikh Isyraq dalam masalah ini berkata:

"Kenabian memiliki syarat-syarat, salah satu di antaranya mendapatkan tugas dari alam tinggi untuk merealisasikan risalah, dan ini merupakan syarat khusus bagi para nabi".[5]

Dalam tinjauan ini tujuan asli dari kenabian adalah akhirat, bukan dunia. Jika terdapat juga topik tentang memakmurkan dan mensejahterakan dunia, itu hanya sebagai dimensi mukadimah dan far'i (cabang).

Demikian pula berasaskan tinjauan ini, jika manusia dibebaskan dan dilepaskan dengan kondisinya sendiri, mungkin tidak seorangpun yang sampai kepada pengetahuan rahasia-rahasia alam gaib dan akhirat. Hidayah Tuhan dalam bentuk wahyu, telah memberikan makrifat dan pengetahuan kapada para nabi tentang alam gaib dan dari jalan mereka (para nabi), manusia yang lainnya mendapatkan informasi tentang Tuhan, akhirat, surga, neraka, dan lainnya. Jika manusia mendapatkan pengetahuan irfani, itu dikarenakan mereka dalam gemblengan maktab para nabi. Kasyf (disclosure, penyingkapan) dan syuhud (penyingkapan batin) urafa, diperoleh dari hasil realisasi perintah dan aturan agama. Karena itu, tidak bisa kasyf dan syuhud ini dipandang sama dan satu dengan hakikat wahyu; sebab wahyu merupakan penyebab didapatkannya agama, sementara kasyf dan syuhud urafa diperoleh dari hasil realisasi agama dan tentu saja di antara keduanya ini terdapat perbedaan yang banyak.

Dalam tinjauan ini, motif manusia kepada agama tidak berasaskan kebutuhan-kebutuhan, yang mana asas ini sendiri adalah benar. Manusia mengarah kepada agama dalam konteks menjaga dimensi-dimensi hakikat; sehingga mereka mengetahui Hak dan memenuhi hak kehormatannya.


Orang-orang 'ârif Pilihan
Menurut pandangan kami di antara kedua pandangan ini tidak terdapat pertentangan yang tak terpecahkan; dengan pengertian bahwa, dengan penyederhanaan dan penyeimbangan sebagian dari unsur-unsur setiap dari keduanya, maka dapat didekatkan antara satu dengan yang lainnya. Akan tetapi tentu saja terdapat beberapa poin dari keduanya yang tidak dapat diciptakan kemufakatan sama sekali di antara mereka. Oleh karena itu perlu kita lakukan observasi dan analisa terhadap poin dan unsur yang ada pada keduanya.


Kemandirian Akal
Tidak diragukan bahwa akal merupakan media dan wasilah yang sangat penting yang berada dalam ikhtiyar manusia. Manusia, dengan bantuan akal dapat mengetahui fenomena alam dan berkuasa atasnya. Dalam dimensi teoritis dan praktis, akal senantiasa digunakan, dan akal ini juga beserta produk-produknya yang menjadi media terciptanya pemenuhan kebutuhan-kebutuhan manusia. Manusia dengan perantara kemampuan akal yang dimilikinya menjadi makhluk yang lebih unggul dari makhluk-makhluk lainnya dan dengannya ia dapat mengkhidmatkan alam dan makhluk-makhluk lainnya untuk kepentingan dirinya. Akan tetapi dengan ini tidak berarti bahwa akal dapat mengetahui segala sesuatu dan seluruh pekerjaan dapat ia aplikasikan. Dengan kata lain akal juga memiliki keterbatasan dan dengan keterbatasannya sangat banyak perkara yang tida dapat dijangkaunya.

Keseluruhan potensi persepsi dan konsepsi manusia, hingga kini dengan seluruh kemajuan ilmu dan teknologi yang ada, belum mampu hatta badan manusia yang merupakan benda yang paling dapat terjangkau manusia, diketahui manusia secara komprehensip dan benar. Ilmu kita, dihubungkan dengan lingkungan sekitar kita masih mempunyai kekurangan-kekurangan yang sangat banyak sekali. Setiap kali kita menemukan kemajuan ilmu, akan semakin nampak lebih banyak ketidaktahuan-ketidaktahuan kita dan horizon-horizon yang tidak tersentuh oleh pengetahuan kita semakin melebar dihadapan kita. Pengetahuan kita terhadap alam natural sangat sedikit dan setiap kali kita mengalami kemajuan, semakin kita memahami kekerdilan ilmu dan pengetahuan yang ada dalam ikhtiyar kita.

Semua ini berhubungan dengan alam penyaksian, bagaimana denga alam gaib yang tidak terjangkau oleh kemampuan potensi persepsi manusia. Akal manusia tidak dapat mengeksprimen alam-alam yang berlalu dan juga tidak memiliki informasi dan pengetahuan terhadap alam-alam yang akan datang. Jika tidak ada berita dari para nabi, kita tidak mengetahui alam-alam apa yang telah kita lalui dan alam-alam apa yang ada dihadapan kita. Jika kita memiliki alam-alam lain yang telah dilalui dan akan dihadapi dari alam ini, untuk mendapatkan kebahagiaan abadi, kita membutuhkan pengetahuan terghadap alam-alam tersebut.

Berdasarkan pemikiran agama yang original, alam-alam yang demikian ini memiliki keberadaan (alam kubur atau barzakh, alam akhirat, surga dan neraka). Oleh karena itu kebahagiaan manusia didefenisikan dengan asumsi keberadaan alam-alam ini, dalam artian bahwa kebahagiaan manusia dipandang tidak mungkin tanpa bantuan wahyu dan hidayah Tuhan dari jalan para nabi untuk mengetahui alam-alam itu dan jalan benar untuk memasukinya.

"Sebab manusia harus secara bebas memilih jalan kebahagiaan atau kemalangan, maka harus diketahuinya kedua jalan tersebut, sementara itu akal manusia dan potensi-potensi persepsi lainnya tidak cukup untuk menentukan benar dan salah. Maka dari itu jalan lain, yang mana kita sebut dengannya wahyu, harus ada, dan jika tidak, manusia tidak dapat menentukan jalan hak. Dengan ini ia juga tidak bertanggung jawab, dan sebab Tuhan menciptakan manusia dalam kondisi bertanggung jawab, yakni memilih sehingga tercapai natijah-natijah perbuatannya, maka Tuhan niscaya berikan jalan untuk mengetahuinya".[6]

Berasaskan ini, tidak dapat diterima tinjaun kelompok pertama (yang memandang para nabi itu adalah para 'ârif pembaharu) tentang kemandirian dan kecukupan akal dengan sendirinya. Dalam masalah ini pandangan kelompok kedua (yang memandang para nabi adalah orang-orang pilihan TUhan) yang benar.

Untuk Menganalisa dan membandingkan poin dan unsur lainnya dari kedua tinjauan ini, kami sisakan pada tulisan berikutnya.


Catatan Kaki:
[1] . Menghukumi dalam maslah ini adalah sangat sulit, di sini kita tidak dalam maksud menghukumi, tetapi hanya murni menjelaskan satu kemungkinan.

[2] . Abdul Qudus berkata: "Demi Allah sekiranya saya sampai pada titik itu (mikraj), sama sekali tidak akan kembali lagi ke bumi" (merujuk pada Ehyâ-ye fikr-e dini dar islam, hal. 143).

[3] . Silahkan lihat : Mustafa Malikiyân, Juzweh Maârif-e Islami, hal. 20-30; Sourush, Basth Tajrebeh Nabawi, hal. 3-10.

[4] . Syihabuddin Suhrawardi, Majmu'eh Mushannifât, Jld. 3, Hal. 75.

[5] . Ibid.

[6] . Muhammad Taqi Misbah Yazdi, Ma'arif Qur'an: Râh Syenâsi, Hal. 26.