Perempuan-Perempuan Karbala (1): Peran Tampak dan Tersembunyi Perempuan di Karbala

Sepanjang sejarah manusia, peran utama wanita telah menjadi daun emas sejarah.  Mata, tangan, dan pangkuan wanita terpelajar dan hebat selalu dan menjadi penjaga nilai dan cita-cita kemanusiaan yang tinggi. Fakta ini tidak pernah bisa disangkal atau dianggap hal yang sepele. Tentu saja di dunia ini,  ada perempuan dengan energi positif dan hebat telah memainkan peran dalam kemajuan dan pertumbuhan masyarakat, ada juga perempuan yang berperan memberikan dasar bagi kemerosotan spiritual umat manusia dengan pikiran liciknya.

Al-Qur’an  menyatakan sosok perempuan terkemuka di satu sisi, seperti istri Fir’aun dan Maryam (saw) sebagai panutan dan guru bagi mereka yang telah mencapai jalan spiritualitas dan kemanusiaan, baik pria maupun wanita, sedangkan di sisi lain juga menerangkan sosok perempuan lainnya yang melenceng seperti istri Nuh dan Luth, di mana mereka memperkenalkan nabi sebagai bukanlah teladan yang baik dan salah kepada orang-orang kafir.

Peran perempuan dalam setiap kelompok dan dalam setiap pemikiran menjadi penting dan layam ditelaah.  Tentu saja, peran ini lebih terlihat di saat-saat genting dan penting dalam sejarah dan peristiwa yang tercatat abadi daripada sebelumnya, oleh karena itu, pada tulisan ini akan dipaparkan mengenai peran wanita di Karbala dan Ashura sebagai bagian penting dari sejarah manusia hingga menjadi saksi tentang kebesaran dan Kehormatan perempuan saleh tetap terjaga dan tercatat abadi nama tinggi para perempuan di dalam sejarah.

Pean perempuan dalam peristiwa Karbala dapat dibahas dan diteliti pada empat titik waktu, dengan kata lain, dari empat perspektif:

1. Peran perempuan sebelum peristiwa Karbala.
    
2. Peran perempuan dalam peristiwa Karbala dan kehadirannya secara langsung di medan perang.
    
3. Perempuan yang berpengaruh dalam masa pengasingan hingga sebelum sampai di Madinah.
    
4. Peran perempuan pasca peristiwa Karbala dan pada masa pengasingan keluarga al-Husein as.

Peran perempuan sebelum peristiwa Karbala

Perempuan yang berperan penting sebelum peristiwa Karbala adalah kelompok perempuan yang hadir sebelum imam Husein keluar dari Madinah menuju Mekkah. Dalam satu pandangan umum, perempuan yang agung akan selalu menemani imamnya karena faktor kecintaan dan ketaatan pada pimpinannya.  Mereka tidak akan membiarkan pimpinannya berjalan sendirian.

Kami yakin bahwa di balik setiap gerakan, ada pemikiran yang besar lagi hebat. Bahkan gadis-gadis kecil imam Husein memulai perjalanan ini berdasarkan keyakinan mereka yang besar. Seperti juga Hadrat Zainab dengan keyakinan konstruktifnya memilih perjalanan ini. Akan tetapi, tulisan ini didasarkan pada pandangan parsial dan memperhatikan citra pribadi individu.

Sebelum membahas topik utama, sebagai pendahuluan perlu diingatkan kembali bahwa dalam terdapat dua bentuk peran dalam setiap tahapannya:

    a) Peran tidak langsung perempuan dengan mendidik anak-anak dengan benar serta membesarkan mereka menjadi generasi yang mandiri, berani dan bertanggungjawab. Laili (ibu dari Ali Akbar) dan Umul Banin (ibu dari Abul Fadl Abbas) dan para ibu dari orang-orang yang telah syahid dan ibu dari para veteran juga memainkan peran yang tidak langsung ini. Sangat jelas bahwa para isteri dan saudara perempuan memiliki peran yang sangat mendalam secara tidak langsung. Dengan kata lain, merekalah pengukir sejarah.
   

b) Peran langsung perempuan dalam gerakan sosial. Maksudnya ialah, mereka secara fisik hadir langsung di tengah-tengah gerakan besar dan revolusioner Karbala yang akan kita bahas dalam tulisan selanjutnya. Statistik pejuang perempuan di Karbala seperti Umm Wahab dan Isterinya para syahid serta para pekerja perempuan yang banyak membantu dalam peristiwa Karbala menunjukkan pentingnya peran ini.

Setelah pendahuluan di atas, mari kita teliti beberapa perempuan berpengaruh dalam membangun fondasi kebahagiaan dunia dan akhirat laki-laki dalam kaitannya dengan peristiwa Karbala. Di antara perempuan yang berperan sebelum acara Asyura, kita bisa menyebutkan Mariah binti Saad, Toua, Delham dan seorang wanita dari suku Bakr bin Wael;  Meskipun wanita lain telah hadir di bidang ini.

Maria binti Saad adalah sosok perempuan pemberani dan setia dan salah satu Syiah yang tulus di Basrah.  Rumah perempuan pemberani ini merupakan tempat berkumpulnya Syiah Basrah dan digunakan sebagai basis budaya untuk penyebaran budaya Syiah dan kebajikan Ahl al-Bayt (saw).  Selama berlangsungnya persitiwa Karbala, banyak orang yang sering mengunjungi rumah ini bergegas membantu Imam Husain as dan pergi ke Kufah.[1]

Pemberontakan Imam Hussain adalah sebuah gerakan budaya dan terjadi untuk menghidupkan kembali sunnatullah dan ajaran yang dibawa Rasul tercinta. Sehingga pemberontakan al Husein bukan dilakukan hanya karena dorongan emosional dan motivasi politik saja. Kita dapat memahami peran penting dari basis sosial kemasyarakatan tersebut;  Karena basis budaya dan penanaman fondasi dan dasar kebangkitan global selalu dimulai dari tempat kecil;  Sebagai titik kebangkitan awal Islam adalah dari rumah Zaid bin Arqam dan kemudian menyebar ke seluruh dunia.

Tuwa[2] adalah salah satu pecinta Ahl al-Bayt (saw) dan seorang perempuan saleh di Kufah.  Dia adalah istri Asid Hazrami. Ketika duta besar dan sepupu Imam Husein, Muslim bin Aqil, ditinggalkan sendirian dan tak berdaya di Kufah, dia membawanya ke rumahnya dan menerimanya dengan hormat dan memuliakannya hingga tampak pengabdiannya, kepolosan dan kemurniannya kepada keluarga.  Disebutkan dalam beberapa kitab sejarah bahwa Asid Hazrami dan putranya Bilal mengetahui kehadiran Muslim bin Aqil dan memberitahu agen-agen Ibnu Ziyad, dan akhirnya pada hari kedelapan Dzulhijjah, bersama dengan Hani bin Arwa, yang adalah salah satu sahabat Imam Husein as yang tulus, dia mati syahid.

Dilham[3] Putri Amr, istri Zuhair bin Qain merupakan salah satu tokoh terkemuka Kufah. Kata-katanya yang logis dan efektif, mendorong suaminya untuk membantu Imam Husein. Pada kenyataannya, ia sedang menyediakan dasar kebahagiaan di bawah bayang-bayang kemartirannya. Menurut apa yang ditulis para sejarawan, Zuhair dan istrinya serta beberapa kerabatnya, ketika kembali dari Mekah dan upacara haji, pindah sedemikian rupa sehingga mereka selalu satu rumah di belakang kafilah Imam Husein.

Di rumah terakhir, karena kekurangan air, mereka harus bermalam di rumah yang sama tempat Imam Husein mendirikan tenda, tidak jauh dari situ.  Imam Husein mengirim kurir ke Zuhair dan meminta bantuannya, tetapi Zuhair tidak menerima dan terganggu dan khawatir dengan undangan ini.  Dilham, seorang wanita yang bijaksana dan saleh, pergi ke suaminya dan berkata: “Apakah putri Rasulullah memanggil Anda dan Anda tidak menjawab?”  Bukankah lebih baik menemuinya dan membuat keputusan setelah bertemu dengannya?”

Kata-katanya berpengaruh pada Zuhair dan dia bergerak menuju tenda Aba Abdillah dengan kurir Imam.  Ketika dia kembali, cahaya wilayah menyinari hatinya dan namanya tercatat di antara para sahabat Asyura Imam Husain Setelah kembali ke tendanya, Zuhair menceraikan istrinya, Delham, untuk kembali ke kerabatnya dari sana.

Wanita yang saleh dan betakwa ini berkata di saat-saat terakhirnya: “Suamiku!  Saya punya satu permintaan darimu dan itu ialah, agar engkau mengingat saya pada Hari Pembalasan di hadapan Nabi Allah saw, kakek imam Husain.[4] Zuhair menerima dan berpisah darinya dan bergabung dengan banyak orang abadi dalam sejarah dan martir Karbala.  Pengaruh dan visi wanita hebat ini dapat dilihat dari kata-kata dan perilakunya;  Ketika dia meminta syafaat Nabi SAW di hari kebangkitannya.

[1]  Javad Mohadesi, Farhang Asyuro. Hal. 396.

[2]  Syekh Mufid, al-Irsyad, Jil. 2. Hal. 400.

[3]  Dilam

[4] Syekh Mufid, al-Irsyad Terj. Baqir Sa’idi Khorasani, Jil. 2. Hal. 421.