Situs Al Imamain Al Hasanain Pusat Kajian Pemikiran dan Budaya Islam

Pentingnya Memperingati Tragedi Asyura

1 Pendapat 05.0 / 5

Bersama dengan Imam Hasan as, Imam Husain as adalah cucu kesayangan Rasulullah saw dari Sayidah Fatimah sa, satu-satunya puteri Nabi yang melanjutkan generasi suci Rasulullah saw. Setelah kesyahidan kakaknya Imam Hasan as akibat diracun oleh istrinya sendiri yang terbuai rayuan untuk dijadikan istri Yazid oleh Muawiyah, tanggungjawab atas nasib umat Islam berada di pundak Imam Husain as. Kematian Muawiyah, melahirkan problem baru yang jauh lebih berat, ia mewariskan kekuasaan atas umat pada Yazid puteranya yang terkenal zalim dan pelaku maksiat. Dengan penyimpangan-penyimpangan dan kebiasaan Yazid yang tidak sesuai dengan ajaran Islam, jelas Imam Husain as menolak memberikan baiat.

Bersama keluarganya yang tersisa dan sedikit dari pendukung setianya, Imam Husain as meninggalkan Madinah menuju Mekah. Di Mekah, ditengah-tengah umat Islam yang melaksanakan kewajiban haji, Imam Husain as berorasi mengajak siapapun yang bersedia bersamanya untuk menentang Yazid. Semboyan Imam Husain as yang terkenal, “Tidak mungkin orang seperti saya, memberikan baiat kepada orang seperti Yazid.” Ketika ditanya, apa motivasinya menentang Yazid, Imam Husain as menjawab, “Aku Bangkit ,menentang bukan untuk melakukan penindasan, pelanggaran hukum, korupsi, bersenang-senang dan menyombongkan diri, tetapi aku bangkit dan menentang adalah demi memperbaiki urusan ummat kakekku, dan untuk memenuhi kewajibanku menegakkan kebenaran dan mencegah kemungkaran.”

Imam Husain as tahu konsekwensi atas pilihannya tersebut, yaitu terbunuh. Ia bersama keluarga dan pengikutnya meninggalkan kota Mekah sebelum menyelesaikan hajinya menuju Kufah. Imam Husain as memilih Kufah, karena penduduk Kufah melalui surat yang mereka kirim kepada Imam Husain as berjanji memberikan dukungan dan bersiap menjadi penolong Imam Husain as. Dalam perjalanannya menuju Kufah, kafilah Imam Husain as tertahan di Karbala. Di Karbala, pada tanggal 10 Muharram 61 H yang kemudian dikenal dengan sebutan tragedi Asyura, Imam Husain as dibantai oleh pasukan Ibnu Ziyad atas perintah Yazid bin Muawiyah. Tidak cukup dibunuh, kepala Imam Husain as dipisahkan dari tubuhnya kemudian dibawa ke Damaskus untuk dipersembahkan sebagai laporan kepada Yazid bin Muawiyah di istananya.

Peristiwa terbantainya Imam Husain as meski telah berlalu 1400 tahun silam, tetap terkenang sampai saat ini. Sebuah tragedi memilukan yang menjadi noda dalam perjalanan sejarah Islam. Para pecinta Ahlulbait as mengadakan majelis-majelis khusus setiap tahunnya untuk memperingati tragedi Asyura tersebut. Mengapa?

Pertama, untuk merawat ingatan, bahwa peristiwa tragis pernah dialami keluarga Nabi, yang Nabi Muhammad saw berwasiat mengenai mereka untuk dijaga, diperhatikan dan diikuti. Yang tragisnya, keluarga Nabi tersebut dibantai oleh mereka yang mengaku sebagai pengikut Nabi.

Kedua, untuk mengenal sejarah perjuangan keluarga Nabi dalam menjaga keutuhan ajaran Islam. Mereka tidak hanya menjaga nyala Islam melalui dakwah, pengajaran dan pembinaan umat namun juga menjaganya melalui jihad fisik dan pengorbanan nyawa. Menegakkan syiar Islam mereka lakukan tidak hanya dengan tinta namun juga dengan tetesan darah. Imam Khomeini mengatakan, “Islam terjaga oleh pengorbanan dan tumpahan darah putera-putera terbaiknya.”

Ketiga, untuk mengetahui perjalanan sejarah Islam yang tidak melulu mulus dan romantis. Sejarah Islam tidak hanya mencatat adanya kejayaan emas namun juga terciprati noda pengkhianatan, kemunafikan dan ambisi untuk saling menghabisi demi kekuasaan. Ambisi kekuasaan yang menelan korban dari manusia-manusia suci keturunan Rasulullah saw. Ambisi itu sampai sekarang masih ada, dengan mengatasnamakan Islam dan memperalat ajaran suci agama, kelompok-kelompok dengan berjubah Islam memaksakan kehendak, melancarkan permusuhan dan kebencian meski pada sesama muslim. Atas nama Islam, mereka menggebuk lawan-lawan politik meski dengan cara-cara yang justru bertentangan dengan Islam itu sendiri. Dengan mengenal sejarah Islam yang tidak melulu mulus tersebut, akan menyentak kesadaran kita untuk tidak mudah terpedaya dan terbius atas simbol-simbol Islam yang digunakan justru untuk memuaskan ambisi pribadi dan kelompok, bukan menjadi rahmatal lil ‘alamin yang menjadi tujuan suci Islam.

Keempat, untuk mengenal siapa lawan siapa kawan. Keberpihakan pada Ahlulbait Nabi bukan sesuatu yang bisa ditawar, sebab telah menjadi perintah agama. Nabi Muhammad saw berpesan untuk tidak meninggalkan Ahlulbaitnya bukanlah pesan biasa yang lahir dari kecintaan pada keluarga semata, melainkan lahir dari wahyu dan perintah Allah swt. Karenanya sangat beralasan ketika Nabi Muhammad saw bersabda kepada Imam Ali as, “Wahai Ali siapapun yang mencintaimu, sama halnya telah mencintaiku, dan barangsiapa yang memusuhimu, artinya telah menyulut permusuhan denganku.” Sikap kepada Ahlulbait as adalah garis tegas, yang memisahkan siapa kawan, siapa lawan. Siapapun mencintai Ahlulbait dengan sebenar-benarnya kecintaan, maka harus dijadikan kawan dan bergabung dalam barisannya, dan siapapun yang menyatakan permusuhan pada Ahlulbait, maka umat Islam harus menyatakan tabarri (berlepas diri) dari mereka.

Kelima, untuk mendapatkan keteladanan. Apa yang dipertontonkan Imam Husain as di padang Karbala, adalah keteladanan besar yang harus menjadi rujukan umat. Kesetiaan pada kebenaran dan sikap tegas menolak tunduk pada kekuasaan yang zalim adalah pelajaran besar dari madrasah Karbala. Begitu juga keteladanan dari Syuhada Karbala lainnya. Dari sahabat-sahabat Imam Husain as yang tetap memberikan kesetiaan pada sang Imam sampai tetesan darah mereka yang terakhir. Meski taruhannya nyawa, mereka tetap berpihak pada kebenaran yang ada bersama Ahlulbait.

Madrasah Karbala juga memberikan pelajaran akhlak yang melimpah. Kesediaan memaafkan musuh sebagaimana yang dicontohkan Imam Husain as ketika al-Hurr menyatakan pertaubatan dan kesiapan untuk bergabung dengan pasukan Imam Husain as. Al-Hurr salah seorang komandan pasukan Yazid yang diperintahkan untuk mengarahkan Imam Husain as ke lokasi pembantaian, tergugah hatinya ketika mendengarkan orasi Imam Husain as yang mengajak kepada musuh-musuhnya untuk hanya takut pada Allah swt. Ia berlari ke arah Imam Husain as dan menyatakan pertaubatan. Maafnya diterima dan ia tunjukkan kesungguhan taubatnya dengan menghadapi anak buahnya sendiri, sampai akhirnya gugur bersimbah darah sebagai ksatria.

Serta banyak keteladanan lainnya yang bisa didapat dari Madrasah Karbala yang diceritakan kembali dalam majelis-majelis yang diadakan untuk memperingati tragedi Asyura, seperti keimanan mutlak Imam Husein as kepada Allah swt. Keimanan mutlak ini telah membentuk pribadi sang Imam menjadi figur yang berani, pantang menyerah dan memiliki izzah (kemuliaan) yang tidak bisa dibeli dengan duniawi.

Di era kekinian, dengan memetik pelajaran kemerdekaan dan kebebasan dari gerakan Al-Husain kita memiliki cukup energi guna melawan para penguasa yang zalim. Imam Husein as mencita-citakan berdirinya pemerintahan yang adil dan kebebasan bagi orang-orang yang tertindas.

Keenam, untuk menunjukkan kecintaan. Luapan cinta harus diekspresikan, itu telah menjadi aksioma yang tidak perlu dipertanyakan lagi. Cinta butuh simbol, sebagaimana umumnya setangkai bunga yang diberikan laki-laki pada perempuan yang dicintainya. Majelis-majelis Asyura yang ramai diadakan di 10 hari pertama bulan Muharram adalah ekspresi kecintaan. Sang pecinta akan betah mengulang-ulang dan menceritakan kembali peristiwa-peristiwa penting yang pernah dijalani yang dicintainya, baik itu peristiwa menyenangkan maupun tragedi yang memilukan. Ingatan terus dirawat, untuk menjaga kedekatan emosional dengan pihak yang dicintai.

Sang pecinta akan turut bersuka dihari-hari bahagia, dan turut berduka dihari-hari kesedihan. Kecintaan kepada Imam Husain as bukan sekedar kecintaan emosional, tapi kecintaan yang memiliki dasar jelas dalam agama. Ketika Nabi Muhammad saw bersabda “Husain dariku, dan aku dari Husain”, menunjukkan mencintai Imam Husain as adalah tanda kecintaan kepada Nabi, dan mencintai Nabi adalah tanda keimanan kepada Allah swt.

Seseorang yang menjadikan Imam Husain sebagai kekasihnya dan mendengar sang kekasih mengalami musibah dan bencana, apa layak hanya menanggapinya dengan dingin dan tidak menangis?. Imam Husain adalah adalah kekasih bagi setiap muslim, apapun mazhabnya. Ia gugur dalam keadaan kehausan dan tidak cukup dibantai, tapi kepalanya dipisahkan dari tubuhnya dan ditancapkan di atas tombak.

Tragedi Karbala adalah garis penegas. Siapapun ketika mendengar kisah terbunuhnya Imam Husain lalu tidak mengucurkan air mata, maka akan dingin terhadap tragedi-tragedi kemanusiaan lainnya. Karenanya wajar, jika ada yang biasa-biasa saja ketika mendengar kejadian tukang servis ampli dibakar karena dituduh mencuri, atau mayoritas kita kehilangan kepekaan kemanusiaan dan empati sosial ketika menatap korban-korban di Jalur Gaza dan di Yaman yang berlumuran darah dan debu bangunan ataupun ketika melihat muslim Rohingnya terusir dari kampung halamannya dalam keadaan menyedihkan.

Tangisan atas Imam Husain bukanlah tangisan kehinaan dan kekalahan, namun bentuk protes keras atas segala bentuk kebatilan dan sponsornya di sepanjang masa. Orang-orang mukmin merasakan gelora dalam jiwanya ketika mengenang terbunuhnya Imam Husain dan itulah yang membuat nyala perjuangan sang Imam tetap membara dihati-hati pecintanya.

Kullu Yaumin As-Syura, Kullu ardin Karbala, semua hari adalah As-Syura, semua tempat adalah Karbala.