Khidmat Sosial, Manifestasi Ibadah Tertinggi (2)

Seseorang bertanya kepada Imam Ali Zainal Abidin Sajjad as tentang hak transparan yang disebutkan dalam ayat ke-24-25 surah Maarij, yang artinya: Dan orang-orang yang dalam hartanya tersedia bagian tertentu. Bagi orang (miskin) yang meminta dan orang yang tidak mempunyai apa-apa (yang tidak mau meminta).

Kemudian, Imam Ali Zainal Abidin Sajjad as berkata, “Hak transparan (jelas) adalah ketika seseorang menyisakan hartanya dan harta tersebut bukan termasuk zakat dan sedekah wajib.” Orang itu kembali bertanya, “Lantas apa yang harus dilakukan dengan harta tersebut?”

Imam as menambahkan, “Gunakan harta tersebut untuk menyambung tali silaturahmi dan membantu orang-orang miskin serta memenuhi kebutuhan mereka. Atau cintailah saudara seagamamu dan bantulah menyelesaikan kesulitan mereka.”

Dalam pandangan al-Quran dan Keluarga Rasul (Ahlulbait), membantu serta meringankan beban makhluk Tuhan merupakan tindakan terpuji. Banyak ayat dan riwayat yang menjelaskan keutamaan berbuat baik ini, serta pahala yang bakal diterima bagi siapa saja yang melakukannya. Bahkan, terdapat riwayat yang menyebutkan pahala membantu meringankan kesulitan orang lain lebih besar dari haji dan umrah.

Dalam al-Kafi, Kulaini meriwayatkan dari Imam Ja’far Shadiq as suatu hakikat yang amat mencengangkan. Aban bin Taghlab berkata, “Aku mendengar dari Imam Ja’far Shadiq as yang bersabda, ‘Siapa saja yang thawaf di Baitullah, maka Allah akan menuliskan baginya 6.000 kebaikan dan mengampuni 6.000 dosa-dosanya, serta meninggikan kedudukannya hingga 6.000 derajat. Selain itu, Allah juga akan mengabulkan 6.000 permintaannya.’ Kemudian beliau menambahkan, ‘Meringankan kesulitan seorang mukmin keutamaannya 10 kali lipat dari pahala thawaf di Kabah.”

Suatu hari, serombongan muslimin bergerak ke arah Mekah. Rombongan itu berhenti di antara Madinah dan Mekah untuk beristirahat selama beberapa hari. Kemudian, seorang lelaki bergabung dengan rombongan ini menuju Mekah. Ia kemudian menyaksikan seseorang yang memiliki wajah ramah dan agung sedang sibuk membantu orang-orang dalam rombongan itu. Sekilas pandang, lelaki itu dapat mengenali wajah agung yang sedang membantu sesamanya dalam rombongan tersebut.

Dengan penuh keheranan, ia bertanya kepada orang-orang dalam kafilah itu, “Apakah kalian mengenali orang yang sedang membantu kalian itu?” Mereka mengatakan, “Tidak, kami tidak mengenalnya. Orang ini bergabung dengan kafilah kami saat di Madinah. Ia orang saleh dan bertakwa. Kami tidak memintanya untuk membantu memenuhi kebutuhan kami. Ia sendiri yang dengan sukarela membantu segala kebutuhan kami selama perjalanan.”

Lelaki itu berkata, “Pantas saja kalian tidak mengenalnya! Jika mengenalnya, niscaya kalian tak akan sekasar ini.” Mereka bertanya, “Memangny, siapa orang itu?” Lelaki itu menjawab, “Ali bin Husain Zainal Abidin!”

Mendengar jawaban itu, bergegas orang-orang dalam kafilah itu mendatangi Imam Ali Zainal Abidin Sajjad as, cucu Rasulullah, untuk meminta maaf. Dengan penuh rasa malu, mereka berkata, “Andai Anda mengenalkan diri kepada kami. Jangan-jangan kami telah merendahkan martabat Anda dan melakukan dosa besar terhadapmu, wahai cucunda Rasulullah saw.”

Imam Ali Zainal Abidin Sajjad as pun menjawab, “Aku memang sengaja memilih kalian yang tidak mengenalku untuk menjadi kawan seperjalanan. Karena, tak jarang ketika aku bersama rombongan dengan orang yang mengenalku dan disebabkan aku keturunan Rasulullah saw, mereka pasti banyak mengalah dan memberi keringanan kepadaku. Mereka juga tidak mengizinkanku memikul satu tanggung jawab selama perjalanan. Karena itu, aku lebih suka memilih teman seperjalanan yang tidak mengenalku agar aku mendapat kesempatan untuk membantu teman seperjalanan.”