Empat Puluh: Spektrum Sakralitas dan Historisitas Tradisi Ziarah Arbain(2)

Ziarah 40 Hari Imam Husain

Angka 40 juga sangat termasyhur sebagai durasi kedukaan atas kesyahidan Imam Husain di Karbala pada 61 H. Disebutkan bahwa Imam Ali Sajjad menangisi ayahandanya selama 40 tahun seraya berpuasa di siang harinya dan bermunajat di malam harinya.

Selain itu, dari berbagai informasi yang diperoleh, Imam Sajjad selalu mengulang-ulang ucapan “Putra Nabi dibunuh saat kelaparan. Al-Husain dibantai saat kehausan.”

Dari riwayat lain, diinformasikan bahwa Imam Hasan Askari berkata, “Tanda-tanda seorang mukmin ada lima: a) Shalat 51 rakaat dalam sehari; b) berziarah Arbain; c) memakai cincin di jari kanan; d) melumuri dahi dengan tanah (bersujud di atas tanah);; dan mengucapkan basmalah dengan suara luar.”

Dalam kaitan ini, sejarah mencatat bahwa kepala para syuhada Tuff dikembalikan ke Karbala pada hari ke-40. Sejak itu pula, ziarah Arbain (40 hari sejak peristiwa 10 Muharam hingga 20 safar) menjadi ritus dan momen ikrar kesetiaan kepada Ahlulbait. Perintis tradisi agung ini adalah sahabat mulia, Jabir bin Abdullah al-Ansari.

Ritual ini semula diikhtiarkan para ulama selama berabad-abad sejak masa  pemerintahan Safawi hingga seterusnya. Di antara ulama itu terdapat Syaikh Murtadha al-Ansari, Syaikh Kazhim al-Khorasani, Syaikh Nuri, dan lainnya. Seluruh ulama itu kerap mengunjungi Karbala suci bersama para kolega dan murid-muridnya dengan berjalan kaki.

Di era modern, tradisi ziarah Arbain dengan berjalan kaki dari Najaf ke Karbala dipopulerkan ratusan warga Irak di masa Ayatullah Uzhma Sayyid Mahmud al-Hussaini al-Syahroudi.  Sebelum tanggal 20 Safar, mereka berkonvoi dengan cara berjalan kaki menuju Karbala.

Pada masa rezim diktator Saddam berkuasa di Irak, para peziarah Arbain kerap mengalami intimidasi, teror, hingga kematian di tangan penguasa. Namun,  selepas rezim Saddam tumbang, terlebih setelah rezim Amerika Serikat mulai kehilangan pamor akibat menguatnya pengaruh geopolitik Iran yang sukses menumpas gerombolan teroris Daesh (ISIS)  di kawasan di bawah komando Syahid Qasem hingga terbentuknya pasukan perlawanan Hasyad Sya’bi, ziarah Arbain kian fenomenal. Ziarah Arbain kini menjelma sebagai perhimpunan manusia terbesar sepanjang sejarah. Setiap tahunnya, jumlah peziarah (dari berbagai negara di dunia yang rela dan khidmat berjalan kaki dari berbagai kota di Irak, khususnya Najaf, menuju Karbala) terus bertambah. Diperkiraan pada 2022 ini, jumlah peziarah yang melakukan longmarch Arbain mencapai 40 juta jiwa.

Lebih menarik lagi, dapat disaksikan pula bagaimana keramahtamahan dan ketulusan warga Irak selama beberapa hari dalam melayani puluhan juta warga Iran dan puluhan juta warga mancanegara lainnya dalam situasi ekonomi, politik, dan keamanan yang sangat memprihatinkan. Jelas, semua itu mempertontonkan superiorisme moral suatu bangsa yang sulit tertandingi.

Komunitas Syiah Indonesia tentu tak mau ketinggalan oleh kafilah Arbain. Pada 2011, belasan warga muslim Indonesia bermazhab Syiah memulai tradisi global ini dengan terbang ke Najaf. Sejak itu, dari tahun ke tahun, jumlah peziarah Arbain asal Indonesia terus bertambah. Kini, jumlahnya telah mencapai lebih dari 2000 orang.

Universalitas Arbain

Ziarah Arbain merupakan tradisi kemanusiaan sekaligus  ajang solidaritas universal. Karenanya, ziarah Arbain dengan prosesi berjalan kakinya bukan menjadi fenomena khas Syiah. Sebab, Imam Husain bukan  hanya milik kaum Syiah, melainkan milik umat manusia yang merindukan keadilan dan melawan kezaliman. Imam Husain adalah pahlawan Islam sekaligus kampiun kemanusiaan. Pada faktanya, cukup banyak peziarah bermazhab Sunni dari sejumlah negara seperti Palestina dan Mesir, ikut long march serta lebur dalam pawai raksasa menuju Karbala dengan spirit cinta keadilan. Jumlah mereka juga kian bertambah dari tahun ke tahun.

Bahkan, prosesi longmarch Arbain juga bukan hanya diikuti umat Islam, baik Syiah maupun Sunnah. Apalagi jika mengingat agama-agama monoteistik lain juga memiliki ritual dan prosesi keagamaan yang cenderung mirip.

Universalitas Revolusi Al-Husain juga terkonfirmasi oleh partisipasi para pemuka dan penganut agama-agama besar, terutama Kristen dan Hindu dalam longmarch Arbain dan ziarah ke pusara Imam Husain di Karbala. Video, foto dan berita tentang ini terutama beberapa tahun belakangan kian banyak. Duka keteraniayaan dan gelora perlawanan.

Dalam ajaran Kristiani, misalnya, terdapat ritual Jalan Duka, yang mengungkapkan prosesi Kristus berjalan kaki menuju tempat penyaliban-Nya, berikut segenap siksaan dan cemoohan yang dialaminya. Dalam ajaran Yahudi pun, terdapat ritual menangis di Tembok Ratapan akibat kesedihan atas hancurnya Kuil Sulaiman.

Tak ketinggalan, kaum Hindu di India juga punya penghormatan khusus terhadap Ahlulbait, terutama figur Imam Husain. Setiap hari Asyura, para tokoh agama Hindu menghadiri upacara duka yang diselenggarakan umat muslim Syiah di sejumlah kota, seperti di Sindh, Maharastra, Rajasthan, Kashmir, Delhi, dan lainnya.

Hubungan dekat ksum Hindu dengan Syiah terutama Al-Husain tercermin dalam Brahmana Husaini,  sebuah komunitas Brahmana Mohyal di wilayah Punjab yang memiliki hubungan dengan agama Hindu dan Islam.

Asal usul Brahmana Husaini adalah berasal dari kelompok Datt atau Dutt, sebuah klan prajurit di antara tujuh klan di dalam kelompok etnis Mohyal Brahmana yang berasal dari wilayah Punjab atau Haryana di utara India. Setelah perang Mahabarata, Aswata yang merupakan leluhur Datt mengungsi ke wilayah Arab bersama pengikutnya. Datt sendiri berasal dari bahasa Hindi, daata, yang berarti dermawan.

Versi lain mengisahkan tentang bagaimana Dutt dari Punjab kemudian dikenal sebagai Brahmana Hussaini. Salah satu istri Imam Husain yaitu Sahhr Banu adalah saudara perempuan dari Chandra Lekha atau Mehr Banu, istri seorang raja India, Chandragupta. Dilaporkan bahwa Imam Sajjad menulis surat kepada Chandragupta untuk meminta pertolongan melawan Yazid. Setelah menerima surat tersebut, Chandragupta segera memberangkatkan pasukannya ke Irak untuk membantu Imam Husain. Pada saat mereka tiba, Imam Husain ternyata telah terbunuh.

Dalam masyarakat  Zoroasterianis di Iran, Al-Husain dan Karbala menempati posisi khusus. Tokoh agama Zoroaster provinsi Yazd, Iran mengatakan bahwa penghormatan khusus penganut Zoroaster Iran dan dunia terhadap Imam Husein karena perjuangan beliau membela orang-orang yang tertindas. Rostam Kavosian Zadeh dalam wawancara dengan IRNA hari Sabtu (15/9) mengatakan, kecintaan terhadap Imam Husein memiliki akar dalam sejarah penganut Zoroaster.

Revolusi Al-Husain dimulai pada 10 Muharam dan memuncak pada 20 Safar. Darah ditumpahkan. Darah pula yang melawan.

 Lawan!!!