Situs Al Imamain Al Hasanain Pusat Kajian Pemikiran dan Budaya Islam

Mengenal Karakter dan Heroisme Sayidah Zainab

1 Pendapat 05.0 / 5

Sayidah Zainab tumbuh menjadi wanita muda yang berperawakan tinggi. Namun mengenai karakter fisik beliau, sedikit yang diketahui. Pada peristiwa Karbala, dimana saat itu beliau telah berumur sekitar 50 tahun, beliau terpaksa harus keluar tanpa memakai cadar. Saat itulah beberapa orang yang melihat beliau mengatakan bahwa beliau bagaikan matahari yang bersinar.

Dalam karakter, beliau merefleksikan sifat-sifat terpuji orang-orang yang membesarkannya. Dalam hal ketenangan, beliau seperti Ummul Mukminin Khadijah neneknya. Dalam hal kesucian dan kesederhanaan, beliau seperti ibunya, Fatimah az-Zahra a.s. Dalam hal kefasihan, beliau seperti ayahnya, Ali bin Abi Thalib a.s. Dalam ketabahan dan kesabaran, beliau seperti saudaranya, Imam Hasan a.s. Dan dalam keberanian dan ketenangan hati, beliau seperti saudaranya, Imam Husain a.s. Sementara, wajah beliau merupakan pancaran pesona ayahnya dan keindahan kakeknya.

Saat pernikahan, beliau dipersunting oleh sepupunya Abdullah bin Jakfar ath­Thayyar dalam sebuah upacara pernikahan yang sederhana. Abdullah dibesarkan dalam perawatan Rasulullah Saw. Setelah beliau Saw wafat, Imam Ali a.s. yang kemudian menjaga dan membimbingnya, hingga ia mencapai usia muda. Ia tumbuh menjadi seorang pemuda tampan dengan tingkah laku yang menyenangkan. Ia pun dikenal ramah terhadap tamu dan dermawan terhadap fakir miskin.

Pasangan muda ini memiliki lima anak, empat lelaki yaitu Ali, Aun, Muhammad, dan Abbas; serta seorang perempuan yaitu Ummu Kultsum. Di Madinah, Zainab sering mengadakan pertemuan (majelis) dengan para wanita, dimana beliau membagi pengetahuan dan mengajar tentang aturan-aturan Islam yang terdapat dalam Alquran. Majelis beliau tak pernah sepi dari pengunjung. Beliau begitu mampu menyampaikan pelajaran secara jelas dan fasih, sehingga beliau pun digelari al-Fashihah dan al-Balighah.

Pada tahun 37 H, Imam Ali a.s. pindah ke Kufah setelah secara de facto terpilih sebagai Khalifah. Kepindahan beliau ini juga ditemani oleh Zainab dan suaminya. Reputasi beliau sebagai seorang guru telah tersebar luas. Karena itu, dimanapun majelis beliau selalu dipenuhi oleh para wanita, yang ingin mengambil manfaat dari pengetahuan, kearifan, dan kepiawaian beliau dalam menyampaikan tafsir Alquran. Kedalaman dan kekokohan pengetahuan beliau dilukiskan oleh keponakannya, Imam Ali Zainal Abidin a.s., bahwa beliau ‘Alimah Ghairu Mu’allamah (berpengetahuan tanpa diberitahu).

Sayidah Zainab juga memiliki panggilan az­Zahidah dan al-‘Abidah, karena kezuhudan dan ketekunannya dalam beribadah. Beliau tidak pernah tertarik pada kenikmatan duniawi. Sebaliknya, beliau sangat bergairah untuk mengejar kebahagiaan akhirat. Beliau sering berkata bahwa baginya dunia adalah tempat peristirahatan sementara untuk melepas letih dalam perjalanan. Beliau begitu sederhana dan berakhlak tinggi. Perhatian utamanya adalah berupaya keras untuk menyenangkan Allah, yang dalam melakukan itu beliau menghindari segala sesuatu yang meragukan walaupun sangat kecil.

Ketika Zainab mendengar rencana perjalanan kakaknya ke Kufah, beliau lalu memohon kepada suaminya agar mengizinkan ia pergi menemani kakaknya. Abdullah lalu mengatakan bahwa perjalanan ini akan penuh dengan kesulitan dan penderitaan. Namun Zainab mendesaknya dan berkata:

“Ibuku tak pernah meninggalkanku hanya untuk memperhatikan dari jauh di hari ketika kakakku hanya seorang diri, dikelilingi musuh tanpa teman ataupun pendukung. Kamu tahu bahwa selama 50 tahun, aku dan kakakku tak pernah berpisah. Sekarang usia kita telah tua dan mendekati akhir hidup. Jika aku meninggalkannya, bagaimana aku akan bertemu dengan ibuku nanti, yang pada saat sebelum beliau wafat telah berwasiat kepadaku: ‘Wahai Zainab, sepeninggalku nanti engkau adalah ibu dan adik bagi Husain.’ Kewajibanku adalah tetap bersamamu, tetapi jika aku tak pergi bersamanya saat ini, aku tak akan dapat menanggung perpisahan ini.”

Abdullah sendiri sebenarnya ingin menemani Imam Husain a.s., tetapi ia begitu lemah akibat penyakitnya. Ia pun kemudian memberi izin kepada Zainab untuk turut dalam perjalanan itu. Ia juga menyertakan kedua putranya untuk menemani Imam Husain a.s.

Sayidah Zainab memang telah dipersiapkan untuk menghadapi peristiwa (tragis) yang akan menimpanya dan kakaknya. Setelah peristiwa Karbala beliaulah yang meneruskan perjuangan kakaknya. Beliau menyadarkan umat Islam dengan khotbah-khotbahnya untuk membuka kedok Bani Umayah dan menyampaikan apa yang menjadi tujuan Imam Husain bangkit.