Orang-orang Fakir Miskin yang Wajib Dicintai

Allah Swt berfirman: “Wahai Ahmad! Sesungguhnya kecintaan kepada Allah adalah kecintaan kepada orang-orang fakir dan dekat dengan mereka.”

Nabi Saw bertanya: “Siapakah (yang dimaksud) orang-orang fakir? Allah Swt berfirman: “Orang-orang yang rida dengan yang sedikit, yang bersabar dalam lapar, bersyukur ketika mendapat kenikmatan, tidak mengeluh karena lapar dan haus, tidak berkata bohong dengan lisan-lisannya, tidak marah kepada Tuhannya, tidak sedih atas apa yang hilang dari mereka, dan tidak senang dengan apa yang didapat. Wahai Ahmad! Kecintaan kepada-Ku adalah kecintaan kepada orang-orang fakir, maka duduk dan dekatlah dengan majelis mereka serta jauhilah orang-orang kaya serta majelis-majelis mereka, karena orang-orang fakir adalah para kekasih-Ku.”

Dalam kalimat “kecintaan kepada Allah” memiliki dua kemungkinan: pertama, huruf Lam dalam kata li-Allahi adalah huruf tambahan, maka ini berarti kecintaan kepada Allah Swt adalah kecintaan kepada orang-orang fakir. Kemungkinan kedua, huruf Lam itu bukan huruf tambahan, tetapi memiliki makna dasarnya. Atas dasar ini, kalimat ini memiliki bermakna kecintaan karena Allah Swt adalah kecintaan kepada orang-orang fakir. Tanda-tanda kaum fakir yang kecintaan kepadanya merupakan kecintaan kepada Allah adalah di bawah ini:

1. Orang-orang yang rida dengan yang sedikit.
    Sebagian orang bahkan tamak dengan sesuatu yang sedikit. Mereka sangat berharap menjadi orang kaya dan mendapat banyak dari dunia. Jika bisa, mereka akan mengambil sebanyak mungkin dari dunia dan tidak rida dengan yang sedikit. Akan tetapi mereka tidak mampu. Bersahabat dengan kaum fakir seperti ini bukanlah yang dianjurkan. Tetapi maksudnya adalah, bersahabat dengan kaum fakir, karena kecintaan kepadanya adalah (jelmaan) kecintaan kepada Allah di mana mereka rida dengan yang sedikit dari dunia dan tidak tamak dengan kenikmatan dunia dan harta orang lain.
    
2. Bersabar dalam lapar.
    Sebagian kaum fakir mengeluh dengan keadaannya, mereka menuntut perbuatan Allah Swt dengan berkata, “Apa dosa kami sehingga kami harus ditimpa kefakiran dan kemelaratan.” Tetapi terdapat juga kaum fakir yang ketika ditimpa kefakiran bukan karena kemalasan (karena itu merupakan dosa), tetapi karena faktor-faktor alami yang membuat keadaan mereka seperti itu seperti banjir atau gempa yang terjadi dan menghancurkan segala yang dimilikinya. Walaupun karena kefakirannya, mereka tidak memiliki makanan atau fasilitas hidup yang cukup. Namun mereka tidak mengeluh, tidak menyalahkan Allah dan sabar menerimanya. Bahkan mereka berusaha menutupi keadaannya sehingga yang lain tidak mengetahui apa yang sedang menimpanya: “Orang yang tidak tahu menyangka mereka orang kaya karena memelihara diri dari minta-minta” [QS. al-Baqarah: 273]Orang-orang seperti ini, selain sabar dan tabah, juga berusaha untuk tidak menjadi tanggungan masyarakat. Mereka mencari rezeki sesuai dengan kebutuhannya.
    
3. Bersyukur atas kenikmatan.
    Ketika Allah Swt memberikan mereka kenikmatan dan berada dalam kehidupan yang makmur, mereka tidak melupakan Allah Swt dan bersyukur atas semua pemberian-Nya.
    
4. Tidak mengeluh karena lapar dan haus.

    Sifat ini merupakan konsekuensi dari sifat sabar. Ketika manusia sabar dengan apa yang menimpanya; tidak akan menuntut dan mengeluh kepada orang lain tentang apa yang dialaminya.
    
5. Tidak berkata bohong dengan lisannya.
    Sebagian kaum fakir harus berkata bohong untuk bisa mendapat bantuan orang lain. Mereka membesar-besarkan apa yang dialaminya dalam rangka menarik kebaikan dan belas kasih orang lain. Tentunya yang rentan penyakit seperti ini adalah kaum fakir, di mana ketika meminta pertolongan orang lain, terkadang mereka berkata bohong. Akan tetapi kaum fakir yang dicintai Allah sama sekali tidak akan berbohong.
    
6. Tidak marah kepada Allah Swt.
    Ketika seseorang sabar menerima kefakiran, ia tidak menuntut Allah dan tidak akan bersikap marah kepada-Nya. Selain tidak mengeluh di depan masyarakat dan tidak banyak menuntut dari mereka, hatinya juga berburuk sangka kepada Allah. Kondisi atau makrifatnya adalah pengetahuan tauhidi, di mana ia sampai pada tahapan mengetahui bahwa maslahat seorang mukmin terletak dalam apa yang diberikan Allah Swt. Atau, ketika pengetahuan mereka belum sampai kepada tahap ini, minimal ia tahu bahwa menuntut kepada Allah swt. adalah sesuatu yang tidak pantas bagi seorang mukmin.
    
7. Tidak gembira dengan apa yang diraihnya.

Kekhususan yang disebutkan terakhir merupakan kekhususan paling penting: “(Kami jelaskan yang demikian itu) supaya kamu jangan berduka cita terhadap apa yang luput dari kamu, dan supaya kamu jangan terlalu gembira terhadap apa yang diberikan-Nya.” [QS. al-Hadid: 23]

Bagi mereka, memiliki atau tidak memiliki harta adalah sama saja. Karena mereka terikat hatinya oleh dunia, di mana ketika mereka mendapat sesuatu darinya, mereka merasa senang dan bangga. Begitu juga jika hilang darinya sesuatu, mereka akan sedih dan tidak bisa mengontrol dirinya. Ini semua merupakan ciri-ciri dari kurangnya potensi dan lemahnya keimanan.