Puncak Kesempurnaan Asyura pada Arbain(1)

Arbain atau 40 hari kesyahidan Imam Husein as adalah hari untuk meraih kesempurnaan. Kesempurnaan Asyura adalah Arbain. Puncak kesempurnaan dari seluruh perjalanan, perjuangan dan kerja keras. Karbala di hari Arbain adalah cermin bagi para pesuluk dalam perjalannya melewati 40 rumah dan sampai tujuan dalam tarikan nafas bersama, dan di perjalanan ini mereka tidak pernah mengenal lelah atau putus asa.

Arbain adalah kembalinya sebuah kafilah ke Karbala setelah melalui 40 hari kesulitan, penderitaan dan kesedihan. Kafilah yang kembali dengan kejayaan dan kemenangan, dan menumpahkan racun kekalahan kepada keluarga Bani Umayah. Meluluhlantakkan kekuatan hasil rampasan mereka dan menyingkap tabir kebohongan, penipuan dan kelicikan mereka, sehingga kebenaran bisa disaksikan oleh siapapun. Arbain adalah bukti nyata tumbangnya penindasan dan menangnya kebenaran.  

Saat matahari tenggelam di sore hari Asyura, setelah kemah-kemah sahabat Imam Husein as hangus dibakar, anak-anak berlarian tak tentu arah di gurun, pesta kemenangan musuh dan gelak tawa di Karbala pun, dimulai. Pasukan musuh tertawa terbahak-bahak, menari dan bersuka ria. Ketika malam tiba, mereka semua kelelahan dan tidur di kemah-kemahnya. Di sisi lain, sejumlah perempuan dan anak-anak melewati malam di sebelah kemah-kemah mereka yang terbakar.

Sehari setelah Asyura, kabar kemenangan sampai ke Kufah dan kota itu bersiap merayakannya. Para pemimpin pasukan musuh berkata, kami kembali dari medan perang dengan kemenangan, siapkan untuk kami hadiah dan penyambutan. Mereka bersyair, "Penuhi tungganganku dengan emas dan perak, sesungguhnya kami kembali dari membunuh orang besar."

Ahlul Bait Nabi Saw yang ditawan memasuki kota Kufah dalam kondisi yang sangat buruk. Pakaian mereka sobek-sobek tak mencukupi untuk menutupi seluruh badan, dan sebagian dibawa oleh tunggangan yang tak memadai. Mereka menempuh jarak 70-80 kilometer dari Karbala ke Kufah dengan penuh penderitaan dan kesulitan. Sepanjang perjalanan mereka dicambuk dan disiksa. Kepala suci para pejuang Karbala dibiarkan bergelatakan di antara para tawanan, agar mereka semakin menderita. Penderitaan yang selalu disertai dengan siksaan dan pukulan cambuk.

Ketika semua bersiap merayakan kemenangan, tiba-tiba pidato Sayidah Zainab memecah kecongkakan Bani Umayah di Kufah. Tidak ada seorangpun yang diberi hak memberi waktu Zainab berpidato, tapi ia tetap menyampaikan pidatonya. Ia berdiri kokoh dengan penuh kewibawaan sehingga mencekik nafas di dada orang-orang yang menyaksikan. Perayaan kemenangan di Kufah akhirnya dihentikan di tengah jalan dan para tawanan segera dibawa ke Syam.

Situasi ketika memasuki Syam dan atmosfirnya sungguh berbeda dengan Kufah. Jika di Kufah Amirul Mukminin as pernah memegang tampuk kekuasaan, Syam selama bertahun-tahun berada di bawah pemerintahan Muawiyah dan warganya tak mengenal Ahlul Bait as. Di Syam, bertahun-tahun gencar dilakukan propaganda anti-Alawi dan hakikat serta hadis Nabi Saw disimpangkan.

Sementara Yazid jauh-jauh hari sudah membangun istana khusus di luar kota untuk bersenang-senang dan rekreasi, dari atas istananya ia menyaksikan kepala-kepala suci para syuhada. Tatkala menyaksikan kepala-kepala itu dari jauh, ia mulai membacakan syair berikut:

"Tatkala barang-barang bawaan dan kepala-kepala yang tertancap di atas tombak mulai terlihat dan matahari-matahari ini muncul dari balik bukit Jiroun, tiba-tiba burung gagak mulai bernyanyi. Aku berkata kepada gagak itu, engkau menyanyi atau tidak, aku sudah membalaskan dendamku pada orang yang seharusnya menerima balasan."

Namun dalam sekejap, peristiwa berubah. Yazid yang mabuk di puncak kesombongannya memukul gigi Imam Husein as dengan kayu, dan dengan menghina berkata kepada Sayidah Zainab, luar biasa, saudaramu punya gigi yang putih. Tapi saat itu juga Zainab memulai pidatonya dan meruntuhkan seluruh kesombongan Yazid. Setelah pidato itu, masyarakat yang hadir mulai meneriakkan protesnya.

Seorang Kristen berdiri dan berkata keheranan, "Kalian merayakan pembunuhan putra nabi kalian sendiri? di tempat kelahiranku di sebuah pulau terpencil di tengah laut, ada sebuah gereja yang selalu dikunjungi masyarakat kami minimal sekali setahun untuk berziarah. Sebuah bejana emas tergantung dari atap altar gereja yang di dalamnya terdapat satu kuku. Masyarakat percaya bahwa kuku itu milik seekor keledai yang pernah ditunggangi Nabi Isa as, oleh karena itu untuk menghormati Nabi Isa, mereka menziarahinya. Tapi kalian membunuh putra nabi kalian, tidak lama setelah beliau meninggal.”