Potret Asyura dalam Bingkai Puisi Rumi

Hari ini dan kemarin dalam penanggalan Iran libur berturut-turut untuk mengenang peristiwa Karbala. Masyarakat Iran memeringatinya dengan berbagai ekspresi, ada yang pawai di jalan dengan mengenakan baju hitam-hitam, ada yang berkumpul dengan keluarga besar sambil membuat ash (sejenis sup) yang diaduk secara bergantian anggota keluarga karena dianggap memberikan keberkahan, dan ada juga yang memilih untuk mengikuti acara duka lebih formal di masjid-masjid atau mushalla setempat.

Dalam masyarakat kita Indonesia, tradisi mengenang peristiwa Karbala ini juga dilakukan dengan beragam ekspresi. Ada yang menggelar acara khusus seperti upacara Tabut di Sumatra. Ada juga yang membuat bubur suro (merah-putih) di beberapa wilayah Jawa. Bahkan, ada yang mengenang Muharam dengan cara menyantuni anak yatim. Ekspresinya mungkin tidak harus sama, tapi tetap ada pesan cinta dan kemanusiaan di dalamnya.

Peristiwa Karbala sejatinya memang milik seluruh umat Islam dari kelompok dan mazhab apapun. Hampir seluruh sejarawan yang menulis sejarah Islam, tidak melewatkan untuk mencatat tragedi Karbala. Bahkan peristiwa ini telah merembas dalam banyak karya sastra, termasuk syair dan puisi. Banyak penyair yang turut mengungkapkan ekspresi dukanya lewat puisi, tak terkecuali Jalaluddin Rumi, penyair legendaris yang puisi-puisinya telah memberi harapan pada dunia.

Rumi melalui puisinya baik dalam Matsnawi maupun Divan-e Shmas banyak menyebut tragedi Karbala. Setidaknya ada tiga Ghazal yang langsung berhubungan dengan peristiwa Asyura ini, yaitu ghazal ke 230, 338, dan 2707. Dalam ghazal 230 digambarkan simbolisasi bahwa Husein ibarat “del” atau cinta dan Yazid seperti “firaq” atau perpisahan, pentasbihan dua kutub yang berseberangan. Sedangkan dalam ghazal 338 dilukiskan bagaimana perjuangan Husein yang terbunuh dalam kehausan namun kini menjelma manjadi “melke eshq va paydar” atau sang penggenggam cinta dan keabadian.

Lebih jauh lagi, dalam ghazal ke 2707, Rumi mengajak pembacanya untuk merenungi peristiwa Asyura dengan pendekatan sufistik, jauh melampaui peristiwa berdarah yang menyayat hati.  

Ke mana duhai martir kekasih Tuhan

kau jemput mara bahaya di padang Karbala

Ke mana wahai ruh suci sang pencinta

yang terbang jauh melebihi penghuni langit

Ke mana duhai penghulu surga

engkau yang dengan kesadaranmu telah membuka gerbang nirwana

Ke mana wahai yang tanggalkan jiwa dan raganya

bahkan akal pun tak sanggup menjawabnya

Ke mana wahai penghancur benteng tirani

kau bebaskan mereka yang masih terbelenggu dunia

Ke mana duhai pembuka tabir Ilahi

ke mana juga dentingan lagu tanpa suara

Ia telah mengarungi lautan bersama Kekasihnya

andai kesempatan membawaku untuk mengenalmu lebih jauh

Buih di permukaan laut hanyalah gambaran belaka

menyelamlah, agar kau jumpai jiwa yang jernih

Hati ini tak kuasa untuk terus berkata-kata

lampaui apa yang tersurat, merenunglah lebih dalam

Ghazal yang berjumlah 10 bait ini diyakini keasliannya oleh para ahli bahasa sebagai puisi yang langsung diciptakan Maulana Jalaluddin Rumi, mengingat banyak puisi yang dinisbatkan kepada Rumi, namun sebenarnya bukan milik Rumi. Dari sisi bahasa, metode maupun kandungannya, bahkan diksi yang digunakan pun dapat dijumpai dalam puisi-puisi Rumi lainnya. Ghazal ini juga sangat popular dan telah digubah menjadi beberapa lagu.

Pengulangan kata tanya “kujai” atau ke mana dalam 6 bait pertama ghazal, selain untuk menarik perhatian pembaca juga menunjukkan betapa penting peristiwa dan pesan yang ingin disampaikan dalam puisi ini. Meskipun tengah menggambarkan peristiwa yang paling getir dalam sejarah, namun pengunaan diksi yang digunakan Rumi tetap bernada harapan dan cinta. Ketika menggambarkan sosok Sayidina Husein, diksi yang digunakan seperti martir kekasih Tuhan, ruh pencinta, penghulu surga, pembuka tabir Ilahi, dll.

Dalam bait ke-7, Rumi menjawab sendiri pertanyaan yang berulang-ulang ia ajukan dalam bait-bait awal. Dalam puisi tersebut, Rumi menggambarkan Sayidina Husein sebagai sebuah aliran mata air yang sudah bermuara dengan Samudra Ilahiah. Di sini, Rumi sebagai pejalan ruhani, menempatkan sosok Sayidina Husein sebagai insan kamil dan guru spiritual yang selalu menjadi teladan perjalanannya dan ingin ia gali makrifatnya, sayangnya usia bumi beliau terlalu cepat.

Poin penting yang ingin ditekankan Rumi dalam puisi ini, ingin mengajak pembaca untuk melihat lebih dalam lagi makna dan hikmah di balik peristiwa Karbala. Sebagaimana Rumi memaknai berbagai ritual keagamaan seperti shalat, puasa, dan haji yang selalu mengedepankan sisi batinnya, begitu juga saat Rumi melihat peristiwa Asyura, menekankan pada pesan esensi yang ingin disampaikan oleh Sayidina Husein.

Pesan itu dapat terungkap jelas dalam bait kelima, bahwa tujuan utama Sayidina Husein adalah untuk membebaskan dan memerdekakan umat dari belenggu dunia yang dapat menyeret manusia pada kezaliman diri sendiri maupun sesama. Meski jalan pembebasan itu kadang harus ditempuh dengan tidak biasa dan penuh mara bahaya. Seperti kata Carl G. Jung dalam bukunya Man and His Symbols, penderitaan dapat membangunkan kesadaran manusia bahwa kehidupan ini perlu perubahan.

Jadi, saya kira setiap umat dan tempat tentunya punya kebebasan berekspresi dalam menyikapi sebuah peristiwa sejarah, selama tidak berlebihan. Yang terpenting adalah esensi pesan tersebut jangan sampai terlewat. Pesan penting yang saya tangkap dari puisi Rumi tentang peristiwa Asyura adalah pembebasan manusia untuk menjadi diri yang mencintai.

Ini puisi aslinya dalam bahasa Persia:

کجایید ای شهیدان خدایی

‎بلاجویان دشت کربلایی  

کجایید ای سبک روحان عاشق

‎پرنده‌تر ز مرغان هوایی

کجایید ای شهان آسمانی

‎بدانسته فلک را درگشایی

کجایید ای ز جان و جا رهیده

‎کسی مر عقل را گوید کجایی

کجایید ای در زندان شکسته

‎بداده وام داران را رهایی

کجایید ای در مخزن گشاده

‎کجایید ای نوای بی‌نوایی

در آن بحرید کاین عالم کف او است

‎زمانی بیش دارید آشنایی

کف دریاست صورت‌های عالم

‎ز کف بگذر اگر اهل صفایی

دلم کف کرد کاین نقش سخن شد

‎بهل نقش و به دل رو گر ز مایی