Makna Jihad al-Nafs, Jihad Melawan Hawa Nafsu (1)

Manusia mempunyai kelebihan di antara semua makhluk. Kelebihan itu ialah bahwa manusia mempunyai dua dimensi. Pertama, dimensi materi, yang di dalam filsafat dinamakan juga dengan dimensi hewani. Di dalam filsafat, jisim manusia dinamakan dengan gharizah (insting) atau raghbah (kecenderungan), sementara di dalam ilmu akhlak dan irfan Islami dinamakan dengan orientasi hewani, atau dimensi hewani manusia.

Oleh karena itu, dari dimensi ini manusia adalah hewan dalam arti sesungguhnya, dan tidak berbeda sama sekali dibandingkan dengan hewan-hewan yang lain. Manusia juga mempunyai dimensi spiritual. Dimensi ini adalah dimensi malakuti, yang di dalam filsafat dinamakan dengan roh. Oleh karena itu, para ulama mengatakan bahwa manusia itu terdiri dari roh dan jisim (jasad).

Akal, roh, nurani akhlak dan hati, semuanya mempunyai arti yang sama, yaitu semuanya tertuju kepada sisi spiritual manusia. kesempurnaan manusia terjadi melalui komposisi ini. Oleh karena malaikat hanya memiliki dimensi spiritual saja, maka dia tidak bisa dilihat, dan tidak akan bisa kesempurnaan disaksikan padanya.

Meskipun Jibril adalah malaikat yang sangat dekat dengan Allah SWT, dan memiliki keluasan wujudi atas alam ini, dan sebagaimana Rasulullah SAW bersabda, “Jika seseorang mampu mencakup hakikat Jibril maka dia juga memiliki penguasaan atas alam wujud”, namun Jibril tidak memiliki kesempurnaan. Benar, keluasan wujud Jibril sangat besar, karena dia adalah malaikat yang sangat dekat dengan Allah SWT.

Demikian juga halnya dengan Izrail. Akan tetapi tidak ada perbedaan sedikit pun antara Jibril yang sekarang dengan Jibril semilyar tahun yang lalu, padahal dia senantiasa bersungguh-sungguh di dalam beribadah kepada Allah SWT. Al-Quran Al-Karim berkata bahwa Jibril sama sekali tidak menentang dan tidak bermaksiat kepada Tuhannya, dan keadaannya seperti keadaan semua malaikat yang lain, yaitu tidak berjalan menuju kepada kesempurnaan.

Terdapat riwayat dari Rasulullah SAW berkenaan dengan perjalanan mikrajnya. Di dalam riwayat itu Rasulullah SAW bersabda, “Pada malam mikraj aku melihat seorang malaikat, yang sebagian tubuhnya terbuat dari api dan sebagian tubuhnya yang lain terbuat dari salju.” Salju tidak bisa merembes ke api dan begitu juga api tidak bisa menjalar ke salju. Jika kita ingin memahami riwayat ini, maka ketahuilah sesungguhnya diri kita adalah sebaik-baik contoh bagi hal ini.

Semua kecenderungan roh kita tidak sejalan dengan jasad kita. Sebaliknya, kecenderungan-kecenderungan jasad kita juga menyusahkan dan melukai roh kita. Anda tidak akan bisa menemukan kelezatan roh yang dapat menyenangkan jasad.

Sebagai contoh, sifat mengkaji ilmu, sifat mencari kebenaran, sifat toleran, sifat berkorban, dan semua sifat yang terkait dengan dimensi roh manusia. Ketika suatu masalah dapat dipecahkan, maka roh Anda merasakan kelezatan yang sangat, akan tetapi kelezatan roh ini diikuti oleh rasa sakit pada jasad. Artinya, pencarian kebenaran menyebabkan kelelahan pada jasad, begitu juga pencarian ilmu.

Semua urusan ini menyebabkan rasa sakit dan kelelahan bagi jasad Anda. Adapun makan, minum, memenuhi tuntunan syahwat dan istirahat adalah kebutuhan-kebutuhan yang bermanfaat bagi jasad. Akan tetapi, sebagaimana dikatakan Matsnawi, setiap kali Anda memberikan perhatian kepada jasad ini, maka pada saat yang sama Anda membunuh roh, dan mendatangkan kemalasan dan kepenatan bagi roh.

Susunan apakah di antara dua hal yang berlawanan ini? Ini adalah susunan yang manusia dapat menggapai kesempurnaan dengannya. Terkadang dimensi malakut, yang kita namakan dengan roh, menunggangi dimensi materi, yang juga dinamakan dengan dimensi hewani, dan bergerak ke depan di dalam gerak kesempurnaan. Dalam arti, jasad ini tidak ubahnya menjadi kuda tunggangan bagi roh, dan roh mendidik jasad dan mengendalikannya ke mana ia harus pergi. Sehingga, bisa sampai ke suatu tempat yang tidak seorang pun mengetahuinya kecuali Allah SWT.

Jabir al-Ju’fi adalah salah seorang yang telah mampu menguasai keinginan-keinginannya dan mengendalikan dimensi materinya ke arah kesempurnaan. Perawi mengatakan, “Saya berkata kepada Jabir di Kufah, ‘saya rindu kepada Imam Ja’far Shadiq.’ Jabir bertanya kepada saya, ‘Apakah engkau hendak pergi menemuinya?’ Saya kaget dan berkata, ‘Benar, tetapi bagaimana mungkin saya pergi menemui Imam Ja’far Shadiq?’

Lalu kami pun pergi ke luar kota Kufah. Kemudian Jabir berkata kepada saya, “Berikan kedua tanganmu dan pejamkanlah kedua matamu.’ Maka saya pun memberikan kedua tangan saya, dan setelah itu kemudian saya membuka kedua mataku. Ketika saya membuka kedua mata saya, tiba-tiba saya telah berada di salah satu gang kota Madinah.

Saya terheran-heran. Lalu Jabir berkata, ‘Ini rumah Imam Ja’far Shadiq, pergilah ke sana hingga aku datang.’ Ketika saya berjalan di gang, saya bertanya kepada diriku, ‘Apakah ini sihir. Di manakah saya ini? Lebih baik saya meletakkan paku ke dinding, sehingga pada saat saya datang ke Mekkah dan Madinah saya akan melihat apakah paku ini atau tidak ada?”

Perawi ini melanjutkan kisahnya, “Pada saat saya sedang berpikir demikian, tiba-tiba datanglah Jabir memberikan paku dan batu kepadaku. Jabir berkata, ‘Tanamlah paku ini ke dinding.” “Saya pun pergi menemui Imam Ja’far Shadiq, akan tetapi saya takut sekali. Lalu saya melihat Jabir datang dan berdua dengan Imam Ja’far.

Bersambung ...