Situs Al Imamain Al Hasanain Pusat Kajian Pemikiran dan Budaya Islam

Apa pendapat Islam dalam kaitannya dengan keceriaan dan kegembiraan? (1)

1 Pendapat 05.0 / 5

Pertanyaan

Dengan hormat. Apa yang dikatakan oleh prinsip-prinsip agama Islam sekaitan dengan kegembiraan dan keceriaan? Yang menimbulkan keraguan saat ini adalah seorang yang religis identik dengan orang yang berduka, sering dalam keadaan menangis dan mengisolasikan diri dari masyarakat. Bagaimana sebenarnya Islam mendefinisikan kegembiraan? Karena dalam masyarakat agama kita, apa yang disebut sebagai kegembiraan senantiasa berkaitan dengan dosa. Terimakasih.

Jawaban Global

Kegembiraan hakiki dari pandangan orang yang beriman akan terilustrasi ketika ia melangkahkan kaki lebih dekat ke arah Tuhannya. Namun, karena di dalam dirinya, manusia memiliki fitrah mencari variasi, maka ia bisa memanfaatkan kenikmatan-kenikmatan dunia yang diperbolehkan, dan bergembira karenanya. Kegembiraan ini bisa juga meningkatkan kegembiraan maknawi dan spiritual orang-orang yang beriman.
Dari sisi lain, harus diketahui bahwa sebagian dari kegembiraan sangatlah dangkal dan hanya lahiriah saja, dimana ketika ini muncul dari perilaku-perilaku tak logis dan tak etis, maka tidak akan diterima dan ditolak oleh Islam.
Poin berikut juga harus diperhatikan bahwa prinsip rasional yang telah diterima ini terdapat pada seluruh sistem peradaban, dimana seseorang tidak boleh terlibat dengan perilaku apapun yang tak diperbolehkan hanya karena dalih untuk mencari kegembiraan, dengan perbedaan bahwa mungkin batasan perilaku yang diperbolehkan dan yang dilarang memiliki beberapa perbedaan.
 
Jawaban Detil

Dalam menganalisa masalah ini, pertama kita harus mengetahui apa makna kegembiraan itu? Mengenai masalah ini bisa dikatakan bahwa kegembiraan itu sendiri tidak bisa dianggap sebagai persoalan materi.

Dengan kata lain, persoalan yang menggembirakan bisa muncul dalam bentuk materi, maupun dalam bentuk spiritual, akan tetapi kegembiraan itu sendiri senantiasa merupakan persoalan spiritual dan reaksi yang dibarengi dengan kerelaan manusia dalam menghadapi kejadian-kejadian yang ada di sekitarnya.

Masalah yang serupa juga terjadi pada kata duka, namun pada akhirnya manusia sendirilah yang akan menjadi gembira dengan bentuk pandangannya terhadap sebagian masalah, dan menjadi sedih atas masalah-masalah lainnya, dan karena alasan ini pulalah sehingga bisa jadi sebuah kejadian, bagi seseorang akan menggembirakan, namun bagi yang lain akan menyedihkan, sebagai contoh kami akan mengisyarahkan acara khurafat “cohorsyanbeh suri” (Rabu akhir tahun) yang terdapat di negara Iran:
Suara ledakan-ledakan dan kobaran api di lorong-lorong dan jalanan, bagi kebanyakan mungkin menjadi sesuatu yang menggembirakan, akan tetapi dengan pasti, berhadapan dengan itu, terdapat orang-orang yang sedang sakit dan lemah, yang akan terganggu dan terancam bahaya karena perilaku-perilaku tersebut.
Dengan memperhatikan penjelasan di atas, maka bisa ditegaskan bahwa segala bentuk kegembiraan apabila tidak ada keharaman di dalamnya, maka dari pandangan Islam, diperbolehkan.
Sekarang marilah kita menganalisa bagaimana sikap agama suci ini terhadap kegembiraan dengan mengklasifikasikannya menjadi tiga kelompok (kegembiraan hakiki, kegembiraan halal dan kegembiraan haram):

    Kegembiraan hakiki

Karena salah satu dari prinsip agama Islam adalah percaya pada kebangkitan dan kehidupan abadi, dan kematian dalam pandangan ini tidak berarti ketiadaan atau kemusnahan, melainkan jembatan perantara dari dunia kecil dan terbatas ke dunia tak terbatas, maka kegembiraan baru akan memperoleh konteks hakikinya ketika manusia menganggapnya mampu memberikan pengaruh pada kehidupan abadinya kelak.

Dengan alasan inilah sehingga melakukan segala perilaku yang baik – tanpa harus membuat orang beriman menjadi ujub dan memuji diri sendiri-  pasti akan mampu meningkatkan kegembiraan internalnya. Perasaan gembira dan nikmat yang diraih oleh seorang mukmin karena melakukan infak, berpuasa, salat, haji, dan lain sebagainya sama sekali tidak bisa diperbandingkan dengan kegembiraan-kegembiraan materi yang sekejap, dan dengan perkataan lain, keindahan berinteraksi dengan Tuhan sedemikian rupa akan menempatkan seluruh kegembiraan dan kenikmatan lainnya di bawah dominasinya, sehingga kesedihan berpisah dari sahabat pun akan menciptakan kegembiraan itu sendiri, sebagaimana kata-kata Hafidz:

Karena dukamu tak kan tergapai kecuali dalam hati riang,
Maka dengan harap dukamu kami kan tuntut riang
Al-Quran dalam kaitannya dengan masalah ini, mengatakan, “Katakanlah, “Dengan karunia Allah dan rahmat-Nya, hendaklah mereka bergembira. Karunia Allah dan rahmat-Nya itu adalah lebih baik daripada apa yang mereka kumpulkan.”[1]
 
Dengan dalih inilah sehingga dalam munajat-munajat Imam Sajjad As yang sangat indah, kita membaca, “Siapakah yang merasakan kenikmatan kasih-Mu, namun mencari pengganti yang lain?”[2]
 

    Kegembiraan-kegembiraan Halal

Dengan seluruh apa yang telah dikatakan sebelumnya, dan kendati kenikmatan berinteraksi dengan Tuhan tidak bisa diperbandingkan dengan kegembiraan yang manapun, akan tetapi fitrahh mencari variasi dan keragaman yang ada dalam diri manusia telah membuatnya tertarik untuk mencoba kenikmatan-kenikmatan lain –bukan sebagai pengganti-, dan hal ini tidak bisa menjadikannya tercemooh atau terhina.

Rasa ingin mencari keragaman dan variasi ini pun merupakan karakteristik dan kesitimewaan manusia sebagai makhluk yang paling mulia, dan secara sendirinya tidak bisa dianggap sebagai titik lemah atau titik kuat baginya. Bagaimana merubah keinginan terhadap keragaman ini menjadi titik yang positif atau negatif dalam kehidupan manusia, semuanya bergantung pada bagaimana ia mengelola rasa yang diberikan oleh Tuhan ini.
Islam menganggap Mukminin yang cerdas dan sadar adalah mereka yang bahkan dalam keadaan sedih pun mampu menjumpai orang lain dengan muka yang cerah dan berseri, dan dengan cara ini ia akan menyuntikkan energi positif dan menggembirakan masyarakat.[3]
Karena duka dan keriangan dunia hanya sekejap mata
maka kan lebih baik bagiku tuk ku miliki keriangan diriku
Dengan keadaan seperti ini, bagaimana bisa dikatakan bahwa masyarakat agama adalah sebuah masyarakat yang berduka dan sedih?! Kegembiraan-kegembiraan halal sangatlah banyak, dimana Islam tidak saja tak menentangnya, bahkan dalam banyak kasus, justru menegaskannya, di antaranya kegembiraan-kegembiraan yang muncul dari:

1. Kemajuan studi dan sosial yang diraih oleh seseorang atau orang-orang yang dekat dengannya,
   
2. Penemuan sebuah fenomena ilmiah baru,
    
3. Melakukan perjalanan dan menikmati pemandangan alam yang indah,
    
4. Olahraga dan seni yang selain dilakukan sebagai rekreasi juga akan memberikan pelatihan pada fisik dan psikis manusia,
    
5. Memanfaatkan berbagai makanan dan pakaian,
    
6. Memilih sahabat, pembentukan himpunan dan berbagai kelompok sosial,
    
7. Pernikahan dan pembentukan keluarga, dan puluhan bahwa ratusan hal-hal lainnya.

Sebuah riwayat dari Imam Shadiq As menegaskan bahwa kegembiraan-kegembiraan dunia yang halal bisa membantu seseorang untuk meraih kegembiran-kegembiraan maknawi dan spiritual.

Dengan menukil nasehat-nasehat bijak dari keluarga Dawud, beliau bersabda, “Seorang Muslim yang cerdas, layak berada pada salah satu dari tiga kondisi berikut: dalam keadaan melakukan aktivitas perekonomian untuk memenuhi kebutuhan hidup, dalam keadaan memperluas kehidpan akhiratnya, atau dalam keadaan melakukan kegembiraan-kegembiraan yang tidak diharamkan oleh Islam; demikian juga pantas bagi setiap Muslim untuk berkhalwat dengan Tuhannya pada sebagian kesempatan, dan pada kesempatan lainnya bercakap dengan sahabat-sahabat baiknya yang akan mengingatkannya kepada akhirat, dan memanfaatkan sisa kesempatannya untuk kegembiraan-kegembiraan yang halal, dimana kegembiraan ini akan membantunya dalam menjalankan dua aktivitas sebelumnya.”[4]

Tentunya, poin berikut juga harus diperhatikan, bahwa sebagian orang yang berada pada tingkat tinggi dalam interaksi spiritualnya dengan Tuhan, bisa saja pada putaran waktu tertentu ia menganggap sebagian kegembiraan dan kenikmatan-kenikmatan halal tidaklah layak untuknya, akan tetapi ini bukan bermakna keharaman secara umum dalam kasus seperti ini, melainkan untuk sekelompok orang, mungkin dengan sedikit menutup mata dan jika dibarengi dengan mengingat Tuhan, akan mampu menganggap kelompok kegembiraan ini pun berada pada kelompok pertama.