Apa pendapat Islam dalam kaitannya dengan keceriaan dan kegembiraan? (2)

    Kegembiraan-kegembiraan Haram:

dalam ayat-ayat al-Quran kita membaca, “... sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang terlalu membanggakan diri.”[5], demikian juga pada ayat, “Dan Allah tidak menyukai setiap orang yang sombong lagi membanggakan diri.”[6]

Apakah dalam pandangan Islam, ayat-ayat ini bisa dimaknakan dengan penafian terhadap segala bentuk kegembiraan?! Dengan memperhatikan apa yang telah kita bahas sebelumnya, maka dengan tegas bisa dikatakan bahwa jawaban dari pertanyaan ini adalah negatif, karena hanya kegembiraan-kegembiraan yang tidak diperbolehkan dalam pandangan Islam-lah yang akan memberikan pengaruh buruk pada individu dan sosial masyarakat.

Poin berikut juga harus diperhatikan bahwa prinsip rasional yang sudah diterima ini, terdapat pada seluruh sistem peradaban dimana tidak seharusnya hanya karena dalih kegembiraan, sehingga menyebabkan kita terjebak dalam setiap perilaku yang tak diperbolehkan, dengan perbedaan bahwa mungkin terdapat perbedaan pada batasan perilaku-perilaku yang diperbolehkan dan yang tidak.

Kegembiraan-kegembiraan yang muncul dari berbagai bentuk interaksi jasmani akan menjadi pemusnah landasan keluarga dan masyarakat, kegembiraan-kegembiraan yang bersumber dari hilangnya sebagian dari sistem kesadaran tubuh karena mengkonsumsi minuman beralkohol dan obat-obatan terlarang, kegembiraan yang muncul dari mengganggu atau menyiksa orang lain dalam interaksi sosial (seperti mengendarai kendaraan secara tak layak, melanggar zona privasi orang lain, merusak kekayaan umum, dan ...), kegembiraan yang muncul dari israf, tabdzir dan menggunakan nikmat-nikmat pemberian Tuhan secara tak benar, kegembiraan yang muncul dari rasa takabbur, sombong, dan menjual harga diri kepada orang lain demi kekayaan atau kedudukan sosial, kegembiraan karena melarikan diri dari jihad[7], dan kegembiraan yang munafik karena kegagalan lahiriah pada orang-orang beriman[8] dan sebagainya, demikian juga hal-hal yang tidak ditekankan oleh Islam, sebagian dari hal-hal ini dianggap tak pantas juga dalam masyarakat manusia.

Manusia tak berperasaan yang menyiksa dan memukul anak, menanggapi tangisan dan jeritan mereka dengan teriakan atau tawa kegirangan, senantiasa akan dikecam oleh hati nurani kita, karena keburukan perilaku ini sangat mudah kita pahami, akan tetapi pada kebanyakan dari kasus yang keburukan dosanya tidak terlalu terlihat, sebagaimana yang telah disinggung pada contoh-contoh di atas, menerima pelarangan bergembira bagi mereka mungkin terlihat tidak terlalu sulit , akan tetapi harus diketahui bahwa dalam pelarangan setiap kenikmatan dan kegembiraan haram, tersimpan logika yang kuat dimana hal tersebut akan bisa diperoleh dengan berkontemplasi secara mencukupi.

Sebagian, dari sekian bentuk kegembiraan, hanya menonjolkan bagian dari kegembiraan logis yang bahkan tidak terlalu bernilai, sekalipun di mata para elit masyarakat non religis, kemudian secara salah mereka ingin menanamkan kepercayaan ini kepada masyarakat bahwa Islam berkontradiksi dan menentang segala bentuk kegembiraan.
Bertolak belakang dengan ide Islam yang menerima kegembiraan dan kesedihan yang wajar, orang-orang seperti ini, untuk memperoleh kegembiraan akan melakukan tindakan apapun yang tak umum, dan alih-alih mendapatkan kegembiraan, mereka hanya berpura-pura bergembira, dan ketika sedih pun, karena mereka tidak memiliki kepercayaan terhadap ma’ad dan kebangkitan, maka hal ini akan membuat mereka terjebak dalam depresi akut yang akan menyeretnya untuk melakukan tindakan-tindakan yang tak wajar lainnya seperti bunuh diri!!

Dalam pandangan Islam, duka juga seperti gembira, tidak boleh menghalangi manusia dari kedekatannya dengan Tuhan dan dalam melakukan perintah-perintah-Nya.
Setelah kita membandingkan kegembiraan Mukminin hakiki dangan orang-orang ini, kita hanya akan mengatakan, betapa jauh perbedaan antara keduanya?!
Dengan sedikit realistis, dengan mudah kita akan mengetahui bahwa kegembiraan-kegembiraan yang tak etis sajalah yang dilarang oleh Islam, dan bermacam-macam kegembiraan alami dan maknawi, tidak hanya layak saja, bahkan dalam banyak kasus menjadi penting dan wajib, dan ketika pertanggung jawaban manusia dikarenakan kegembiraan, maka tidak terdapat tempat bahwa kegembiraan ini menjadi tak benar, berfirman,  “Azab yang demikian itu disebabkan karena kamu bersuka ria di muka bumi dengan tidak benar dan karena kamu selalu bersuka ria (dalam kemaksiatan).”[9]

Seorang manusia beriman bisa sekaligus memiliki kegembiraan dunia dan akhirat, sebagaimana dikatakan dalam riwayat bahwa seorang yang berpuasa, maka ia akan memiliki dua kegembiraan, yang pertama, kegembiraan saat berbuka puasa dan memanfaatkan berbagai makanan dan minuman, dan kegembiraan kedua, saat menemui Tuhannya dan menerima pahala puasanya.[10]

Nah, jika Anda menemukan kasus khusus dimana hal tersebut dianggap sebagai kegembiraan namun Anda percaya bahwa Islam bangkit untuk menentangnya, maka sampaikan kepada kami dengan menyajikan kerangka yang rinci tentang apa yang ada di benak Anda, supaya kami bisa memberikan penjelasan tentang masalah tersebut. []
 
 
 
[1]. Qs. Yunus [10]: 58.
[2]. Muhammad Baqir Majlisi,  Bihâr al-Anwâr, jil. 19, hlm. 148, Muasasah al-Wafâ, Beirut, 1404 HQ.
[3]. Kulaini, Muhammad bin Ya’qub, Kâfî, jil. 2, hlm. 226, hadis 1, Dâr al-Kutub al-Islâmîyyah, Teheran, 1365 S.
[4]. Ibid, jil. 5, hlm. 87, hadis 1.
[5]. Qs. Al-Qashash [28] 76.
[6]. Qs. Al-hadid [57]: 23.
[7]. Qs. Taubah [9]: 81, “Orang-orang yang membangkang itu merasa gembira karena menentang (perintah) Rasulullah, dan mereka tidak suka berjihad dengan harta dan jiwa mereka di jalan Allah.”
[8]. Qs. Taubah [9]: 50, “Jika kamu mendapat suatu kebaikan, mereka menjadi tidak senang karenanya”; Ali Imran [3]: 120, “Jika kamu memperoleh kebaikan, niscaya mereka bersedih hati, tetapi jika kamu mendapat bencana, mereka bergembira ria karenanya.”
[9]. Qs. Al-Ghafir [40]: 75.
[10]. Syaikh Shaduq, Fadhâil Al-Asyhar ats-Tsalâtsah, hlm. 134, Maktabah al-Dawari, Qom, Tanpa Tahun.