Pengetahuan Tuhan Ihwal Masa Datang?



Tim Al-Balagh
Ada sebuah pertanyaan yang mengetuk kuriositas saya untuk mencari tahu informasi tentang pengetahuan Tuhan. Hal itu bertalian dengan kejadian di masa lalu dan sekarang dan masa datang. Kalau berbicara tentang masa lalu, mungkin bukan sesuatu yang “pelik” bagi Tuhan. Namun berkaitan dengan masa datang apakah juga termasuk dalam kekuasaan ilmu Tuhan? Karena ia belum menjadi bukti nyata sehingga ia terekam dalam “benak” Tuhan? Sementara Tuhan tidak memiliki benak. Ilmu yang dimiliki-Nya tidak bersumber dari refleksi atau reaksi. Oleh karena itu, kita harus menerima bahwa Dia tidak memiliki ilmu tentang kejadian-kejadian akan terjadi. Sebab, ilmu presentif (‘ilm al-hudhûrî) tidak berkaitan dengan masalah-masalah yang ma’dum (yang tidak ada), juga ilmu representif (‘ilm al-hushûlî) tidak ada pada Tuhan (yakni, tidak dapat dikatakan bahwa Tuhan memiliki ilmu hushûlî)? Terima kasih.

Meskipun pertanyaan ini berkaitan dengan kejadian-kejadian yang akan terjadi di masa datang, akan tetapi ihwal kejadian-kejadian yang telah berlalu dan sirna juga masih dapat diuraikan di sini. Sebab, kejadian-kejadian masa lalu kini sudah tidak ada lagi. Wujud Fir’aun, Bani Israil, dan sahabat-sahabat Musa misalnya telah sirna, dan sejarah mereka juga telah berlalu. Kita hanya dapat menghadirkan gambaran mereka dalam benak kita sehingga kita dapat menyusuri sejarah kehidupan mereka. Karena ilmu yang kita miliki melalui jalan imajinasi. Maksudnya, kita membayangkannya di dalam benak kita. Akan tetapi, sekaitan dengan Allah Swt, benak dan gambaran-gambarannya tidak lagi berarti, karena ilmu Tuhan hanyalah ilmu hudhûrî. Dengan demikian, bagaimana kita dapat mengerti bahwa Tuhan memiliki pengetahuan tentang kejadian yang telah berlalu?


Pertanyaan ini dapat dituntaskan melalui tiga jawaban berikut ini:
a. Tuhan senantiasa menguasai ilmu tentang Dzat-Nya nan kudus yang senantiasa menjadi sebab atas segala sesuatu. Dan ilmu ini disebut sebagai ilmu ijmâlî (pengetahuan global) terhadap seluruh kejadian dan makhluk alam semesta ini; sesudah dan sebelum penciptaannya.

Dengan kata lain, apabila kita tahu sebab terjadinya sesuatu, kita pasti mengetahui hasil dan akibatnya. Karena, setiap sebab (‘illat) memiliki seluruh kesempurnaan akibat (ma’lûl), atau bahkan lebih sempurna.

Lebih jelasnya, kejadian-kejadian masa lalu belumlah sirna dan punah secara keseluruhan. Efek-efeknya masih tersisa di balik kejadian-kejadian masa kini. Demikian juga kejadian-kejadian masa datang tidak terpisah dengan kejadian-kejadian masa kini, dan bertalian erat dengan kejadian masa kini. Dengan demikian, “masa lalu”, “masa datang” dan “masa kini” ibarat satu mata rantai yang berujung kepada sebab (‘illat) dan akibat (ma’lûl) sehingga apabila kita mengetahui salah satunya, kita akan menemukan runtutan sebelum dan sesudahnya.

Misalnya, apabila aku mengetahui dengan pasti suhu udara seluruh planet bumi dengan seluruh partikular-partikular dan tipologinya, sebab dan akibatnya, gerakan planet bumi, masalah gravitasi dan repulsi, niscaya aku dapat mengetahui secara pasti suhu udara jutaan tahun yang lalu, atau jutaan tahun yang akan datang, lantaran kita memiliki data tentang masa lalu dan masa datang. Bukan data global (ijmali), karena data rincinya terefleksi dalam bagian file yang terkini.

Hari ini –persisnya- merupakan refleksi hari kemarin. Dan besok merupakan refleksi hari ini. Dan pengetahuan tentang seluruh bagian-bagian hari ini yaitu pengetahuan terhadap masa lalu dan masa datang.

Dengan demikian, jika kejadian-kejadian hari ini dengan segala tipologi dan kekhususannya berada di sisi Tuhan, ini berarti bahwa masa lalu dan masa datang juga berada di sisi-Nya.

Hari ini merupakan cermin masa lalu dan masa datang. Dan seluruh kejadian hari kemarin dan hari esok dapat kita saksikan pada cermin hari ini. (Perhatikan baik-baik).

b. Cara lain untuk menjawab pertanyaan itu, yaitu kita harus memperhatikan satu perumpamaan yang nyata. Anggaplah seseorang yang terpenjara dalam biliknya yang hanya memiliki lubang kecil untuk keluar. Sementara ada sederetan unta melintas di hadapan lubang kecil ini. Pertama kali ia melihat kepala dan leher unta tersebut. Lalu punuknya, dan setelah itu kaki-kaki dan ekornya. Demikian juga unta-unta lainnya yang berada di dalam deretan tersebut. Dari lubang kecil ini, ia membuat masa lalu dan masa datangnya. Akan tetapi, bagi seseorang yang berada di luar bilik ini dan berdiri di atas atap terbuka, ia melihat seluruh sahara. Jelas, permasalahanya menjadi lain. Ia melihat seluruh deretan unta tersebut berada pada satu tempat yang sedang bergerak.

Dari sini akan menjadi jelas bahwa membangun sebuah pemahaman dari masa lalu, masa kini dan masa datang merupakan hasil dari keterbatasan pandangan manusia. Masa yang lalu bagi kita adalah masa yang datang bagi orang-orang terdahulu. Dan apa yang menjadi masa datang bagi kita, menjadi masa lalu bagi orang-orang yang akan datang.

Akan tetapi, Dzat yang hadir di setiap tempat, yang meliputi secara azali (tak berawal) dan abadi (tak berakhir), masa lalu, masa datang dan masa kini tidaklah berarti bagi-Nya. Seluruh kejadian yang terjadi sepanjang masa hadir di pada-Nya, (namun masing-masing berada pada kapasitas khasnya) dan Dia Mahatahu akan seluruh kejadian dan wujud yang ada di alam semesta ini; apakah ia berada di masa lalu, masa datang atau masa lalu. Dia menguasainya secara menyeluruh dan satu.

Tentu saja kita akui bahwa permasalahan ini bagi kita yang berada dalam penjara ruang dan waktu indrawi begitu sulit. Permasalahan ini memang memerlukan kajian yang teliti.

c. Cara lain untuk menjawab pertanyaan ini adalah cara yang menjadi landasan kebanyakan filosof. Yaitu, bahwa Tuhan adalah Mahamengetahui Dzat-Nya, dan Dzat-Nya merupakan sebab (‘illat) bagi terwujudnya seluruh makhluk. Ilmu terhadap sebab (‘illat) adalah sumber ilmu terhadap akibat (ma’lûl).

Dengan ungkapan lain, Tuhan memiliki segala kesempurnaan seluruh makhluk, bahkan dalam bentuk yang paling sempurna. Tidak secuil pun cacat ada pada Dzat-Nya yang suci sebagaimana cacat yang dimiliki oleh seluruh mahkluk. Oleh karena itu, jika Dia Mahatahu akan Dzat-Nya, niscaya Dia mengetahui seluruh makhluk. Demikian kurang lebih pandangan mayoritas mazhab Peripatetik. Ihwal pandangan alternatif yang dikembangkan oleh filsafat hikmah (hikmah muta’aliyah) kami alokasikan pada kesempatan mendatang.

Dibandingkan dengan jawaban pertama, jawaban ini memiliki perbedaan yang amat tipis, sebagaimana akan tampak jelas bila diamati secara seksama dan akurat.