Tidak Ada Ketenangan Kecuali dengan Iman (2)

Nash-nash Islam menyebutkan tentang keterkaitan antara ketenangan jiwa dan keimanan. Kedua hal itu tak dapat dipisahkan.

Allah Swt berfirman: “(Yaitu) orang-orang yang beriman dan hati mereka menjadi tenteram dengan mengingat Allah. Ingatlah bahwa hanya dengan mengingat Allah-lah hati menjadi tenteram.” (QS ar-Ra’d: 28)

Ungkapan “hati mereka menjadi tenteram” dalam ayat di atas menurut para ahli tafsir adalah sifat atas ungkapan “orang-orang yang beriman”. Sehingga pengertiannya mengandung keterkaitan antara keduanya, yakni iman dan ketenangan hati.

Allah Swt berfirman: “Ingatlah, sesungguhnya wali-wali Allah itu, tidak ada kekhawatiran terhadap mereka dan tidak pula mereka bersedih hati.” (QS Yunus: 62)

Dari Ibn Abbas diriwayatkan bahwasanya Imam Ali a.s. pernah ditanya tentang wali-wali Allah yang disebutkan dalam ayat tersebut. Beliau menjawab: “Mereka adalah orang-orang yang ikhlas beribadah kepada Allah, mereka melihat batin dunia ketika orang-orang melihat lahirnya. Mereka melihat akibat yang akan diterimanya nanti ketika orang-orang selain mereka hanya melihat bentuknya yang sekarang. Mereka meninggalkan dunia yang mereka ketahui bahwa dunia itu akan meninggalkan mereka. Mereka mematikan dunia karena mereka mengetahui bahwa dunia akan mematikan mereka.”

“Sesungguhnya orang-orang yang mengatakan Tuhan kami adalah Allah, kemudian mereka tetap istiqamah, maka tidak ada kekhawatiran terhadap mereka dan mereka tiada pula berduka cita.” (QS al-Ahqaaf: 13)

Kenyataan seperti ini pasti dijumpai oleh orang mukmin yang berjalan pada jalur risalah Ilahiah penuh ketegaran dengan jiwa yang tenang, dan seimbang ketika menghadapi berbagai kesulitan dan ujian. Alquran Karim pun mengisahkan kepada kita posisi para nabi yang mulia dan ketegaran mereka. Ibrahim, nabi kita yang mulia, menghadapi thaghut ketika dia meneriakkan: “…Bakarlah dia dan bantulah tuhan-tuhan kamu, jika kamu benar-benar hendak bertindak.” (QS al-Anbiya: 68)

Ibrahim menghadapinya dengan penuh ketabahan dan ketegaran. Beliau menghadapi api dengan hati yang tenang tanpa kegusaran. Alangkah nikmatnya Ibrahim yang memutuskan hubungannya selain Allah Swt. Dia melihat dirinya tidak memerlukan siapa pun kecuali Allah Swt, dia merasa bahwa apa yang dia alami adalah diketahui oleh Allah Swt.

Begitulah gambaran yang diberikan oleh Alquran kepada kita tentang kehidupan para nabi Allah, yang hidup dalam ketenangan, di mana ketenangan itu seharusnya bersemayam pada jiwa kaum muslimin dalam segala urusan Allah Swt.

Sejarah dan perjalanan umat manusia memberitahukan kepada kita tentang keagungan iman dalam jiwa kaum muslimin, dan kodrat yang diberikan kepada agama yang mulia ini untuk dipersembahkan kepada para pengikutnya. Semua itu menjadikan mereka seperti gunung terpancang yang tak mampu diterjang oleh badai apa pun. Atas dasar itu, dapat dikatakan bahwa perasaan (dhamir) manusia dapat terguncang dan diliputi kegelisahan manakala dia berbuat dosa. Dan inilah yang disebutkan oleh Alquran sebagai an-nafs al-lawwamah, di mana Allah Swt berfirman: “Aku bersumpah dengan hari Kiamat. Dan aku bersumpah dengan jiwa yang amat menyesali (dirinya sendiri).” (QS al-Qiyamah: 1-2)

Jiwa yang menyesali dirinya sendiri (al-nafs al-lawwamah) ada dalam setiap diri manusia dengan tingkat kepekaan yang berbeda-beda. Kadang-kadang tidak kelihatan ketika manusia tenggelam dalam kemaksiatan, tetapi karena perbuatannya tidak pernah berhenti, maka tidak pernah mau muncul sehingga mematikan mereka dan menghilangkan rasa ketenangan dalam jiwa mereka.

Untuk hal seperti ini, banyak sekali contohnya dalam sejarah kehidupan kita di zaman modern ini, yang merupakan refleksi dari peradaban, pikiran, dan ilmu pengetahuan, sehingga banyak sekali riwayat dan sandiwara yang ditulis mengenai hal itu.

Diriwayatkan dari Imam Ali Zainal Abidin a.s. tentang dosa-dosa yang menyebabkan kegelisahan perasaan manusia yang membangkitkan rasa penyesalan, di mana dia mengatakan: “Dosa yang mewariskan penyesalan ialah: membunuh orang yang diharamkan oleh Allah untuk membunuhnya. Allah Swt berfirman, ‘Dan janganlah kamu membunuh jiwa yang diharamkan oleh Allah’, dan Allah berfirman dalam kisah Qabil yang membunuh saudaranya, Habil, lalu diilhamkan kepadanya untuk mengebumikannya, Maka hawa nafsu Qabil menjadikannya menganggap mudah membunuh saudaranya, sebab itu dibunuhnyalah, maka jadilah dia salah seorang yang merugi; meninggalkan silaturahmi kepada sanak kerabat sampai mereka merasa tidak perlu kepadanya, meninggalkan salat sampai ia habis waktunya, meninggalkan wasiat dan membantu kezaliman, serta enggan mengeluarkan zakat sampai datangnya kematian di mana lidah telah tidak mampu mengucapkan apa­apa lagi.” (Ma’ami al-Akhbar, hal. 270)