Muhammad, Nabi Pembebas Kaum Tertindas Bag 2

Rasulullah SAW, ketika beliau berada di Mekkah, hanya dua puluh lima dari seluruh pengikutnya berasal dari kelompok kaya dan bangsawan. Selebihnya puluhan orang berasal dari kelompok-kelompok miskin. Bahkan, yang lebih dahulu masuk Islam kebanyakan adalah orang-orang miskin, orang-orang gembel, budak-budak belian, hamba sahaya dan sebagainya.

Ada sebuah kisah klosal tentang seorang budak belian bernama Hilal yang deceritakan Jalaluddin Rumi melalui syairnya dalam kitab Matsnawi Maknawi. Sumber asli cerita ini terdapat dalam kitab Nawadir al Usul karya Hakim Tirmidzi. Hilal adalah salah seorang sahabat Rasulullah SAW. Ia adalah seorang budak yang bekerja mengurus hewan ternak di rumah salah seorang saudagar. Suatu ketika Hilal jatuh sakit. Tak ada seorang pun yang mencari tahu kabarnya, bahkan sang majikan sekalipun. Hilal tetap bekerja dan tinggal di dekat kandang ternak meski ia sudah sembilan hari sakit. Sampai akhirnya, melalui perantara wahyu, Rasulullah SAW mengetahui kondisinya.

Rasulullah SAW segera datang dan menjenguk Hilal. Begitu tahu Baginda Nabi Muhammad Saw mendatangi rumahnya, saudagar, tempat Hilal tinggal, terlihat suka cita menyambutnya. Namun, Rasulullah SAW segera mematahkan harapan saudagar itu dengan mengatakan: “Aku datang ke sini bukan untuk bertemu denganmu, tapi untuk mengunjungi sahabatku Hilal”. Sang Nabi segera menuju kandang ternak yang gelap dan lembab, beliau bertemu dan mendekap Hilal sambil melantunkan syair-syair pujian “Apa kabarmu? Duhai engkau permata tersembunyi yang berada di tempat terasing!”.

Al Quran menyebutkan:

“Apabila dikatakan kepada pembesar-pembesar Quraisy itu, Berimanlah kamu kepada Allah seperti manusia lain beriman, mereka akan menjawab, Apakah kami harus beriman seperti berimannya kelompok sufaha?” (QS 2: 13)

Al Qur’an kemudian menyindir:

“Ketahuilah, sesungguhnya mereka sendirilah sufaha, tetapi mereka tidak mengetahuinya.” (QS 2: 13)

Sepanjang hidupnya, Rasulullah SAW selalu berpihak kepada kelompok-kelompok lemah. Rasulullah SAW pun menasehatkan supaya para ulama melanjutkan peran para Nabi – yang selalu berada di tengah-tengah kelompok dhuafa dan mustadhafin. Rasulullah SAW bersabda, “Taatilah kaum Ulama selama mereka belum mengikuti hawa nafsunya.” Lalu para sahabat bertanya, “Apa tanda Ulama yang mengikuti hawa bafsunya?” “Mereka senang mengikuti sultan.” Dalam hadis yang lain dikatakan, “Mereka meninggalkan kelompok fuqara’ dan masakin, dan mengetuk pintu-pintu para sultan.”

Ada beberapa golongan yang termasuk ke dalam kelompok dhuafa dan mustadhafin. Sebagaimana terbukti dalam sepanjang sejarah, yang termasuk kelompok mustadhafin ialah kaum wanita. Dalam berbagai masyarakat, wanita selalu ditempatan dalam posisi yang termarjinalkan. Bahkan, hampirn tidak satu pun masyarakat di dunia ini menempatkan kedudukan wanita lebih tinggi daripada pria.

Al-Quran terkadang menyebut kelompok yatama (anak-anak yatim), Ibnu Sabil (orang-orang yang kehabisan bekal dalam perjalanan jauh), para tawanan, dan orang-orang yang mendapat musibah. Di dalam Al-Quran memang wanita jarang disebut secara khusus, tetapi tak kurang banyak hadis Nabi yang menunjukkan kenyataan bahwa wanita sering dilemahkan. Tetapi fuqara, masakin, orang-orang yatim, ibnu sabil, para tawanan, dan orang-orang yang mendapatkan musibah, banyak sekali disebut di dalam Al-Quran. Bahkan terdapat enam ayat Al-Quran tentang shalat yang selalu dikaitkan dengan menyantuni kelompok-kelompok dhuafa ini. Misalnya, di dalam QS 2: 83:

“Dan (ingatlah), ketika Kami mengambil janji dari Bani Israel (yaitu): Janganlah kamu menyembah selain Allah, dan berbuat baiklah kepada ibu bapak, kaum kerabat, anak-anak yatim, dan orang-orang msikin, serta ucapkanlah kata-kata yang baik kepda manusia, dirikanlah shalat, dan tunaikanlah zakat.”

Kemudian juga dalam QS 2: 177:

“bukanlah menghadapkan wajahmu kea rah timur dan barat itu suatu kebaktian, akan tetapi sesungguhnya kebaktian itu adalah kebaktian orang yang beriman kepada Allah, hari kemudian, malaikat-malaikat, kitab-kitab, nabi-nabi; memberikan harta yang dicintainya kepada kerabatnya, anak-anak yatim, orang-orang miskin, musafir (yang memerlukan pertolongan), dan orang-orang yang meminta-minta; (memerdekakan) hamba sahaya; mendirikan shalat; menunaikan zakat; orang-orang yang menepati janjinya apabila berjanji; dan orang-orang yang sabar dalam kesempitan, penderitaan, dan dalam peperangan. Mereka itulah orang-orang yang benar (imannya), dan mereka itulah orang-orang yang bertakwa.”

Berkenaan dengan ini, ada suatu kisah teladan yang patut kita renungkan. Suatu kesempatan bertemulah dua malaikat. Keduanya bercakap-cakap di dekat Ka’bah pada musim haji. Salah satu malaikat itu bertanya, “Berapa jumlah orang yang naik haji tahun ini?” “Sekian ratus ribu.” “Berapa orang yang diterima di antara mereka?” “Hanya dua orang, dan salah satunya bahkan tidak menunaikan ibadah haji itu sendiri.” Lalu diceritakan bahwa ketika orang ini sudah berangkat untuk naik haji dengan perbekalan secukupnya, tiba-tiba di tengah perjalanan dia melihat seorang janda miskin dengan beberapa anak yatim yang amat membutuhkan bantuan. Makan dia serahkanlah seluruh bekalnya kepada janda dan anak-anak yatim itu, sehingga terpaksa diurungkanlah niatnya melaksanakan ibadah haji. Tetapi, justru karena itulah Allah SWT menerima ibadah hajinya.

Menurut Al-Quran, orang yang tidak menyantuni kelompok dhuafa atau mustadhafin disebut sebagai orang yang mendustakan agama (yukazzibu bi ad-din). Kadang-kadang Al-Quran menyebut mereka sebagai pencemooh (al-humazah):

“kecelakaanlah bagi setiap pencemooh, yang mengumpul-ngumpulkan kekayaan dan menghitung-hitungnya. Dia mengira bahwa hartanya itu akan mengekalkan dia. Tidak, dia akan dilemparkan ke Al-Huthamah. Tahukah engkau, apakah Al-Hutamah itu? Itulah api Allah yang dinyalakan yang nyalanya memnakar sampai ke ulu hati.” (QS 104: 1-7)

Sumber:

Nawadir al Usul, Hakim Tirmidzi

Hadis Riwayat Al – Haitami