Seruan Berfikir dalam Perspektif al-Quran (2)

2. Ajakan untuk berpikir dalam pembahasan-pembahasan tauhid:

Allah Swt menggunakan ragam cara untuk mengajak manusia berpikir tentang keesaan Allah Swt; seperti pada ayat, “Sekiranya ada di langit dan di bumi tuhan-tuhan selain Allah, tentulah keduanya itu telah rusak binasa. Maka Maha Suci Allah yang mempunyai ‘Arasy dari apa yang mereka sifatkan.” (Qs. Al-Anbiya [21]:22)[10] dan “Katakanlah, “Mengapa kamu menyembah selain dari Allah, sesuatu yang tidak dapat memberi mudarat kepadamu dan tidak (pula) mendatangkan manfaat bagimu? Dan Allah-lah Yang Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui.” (Qs. Al-Maidah [5]:76) serta ayat-ayat yang menyinggung tentang kisah Nabi Ibrahim As dalam menyembah secara lahir matahari, bulan dan bintang-bintang, semua ini dibeberkan sehingga manusia-manusia jahil dapat tergugah pikirannya terkait dengan ketidakmampuan tuhan-tuhan palsu. (Qs. Al-An’am [6]:76-78)

Dengan demikian, Allah Swt mengajak manusia untuk merenungkan dan memikirkan ucapan dan ajakan para nabi, “Apakah mereka tidak memikirkan bahwa teman mereka (Muhammad) tidak berpenyakit gila? Ia (Muhammad itu) tidak lain hanyalah seorang pemberi peringatan yang nyata (yang bertugas mengingatkan umat manusia terhadap tugas-tugas mereka). “(Qs. Al-A’raf [7]:184); “Katakanlah, “Sesungguhnya aku hendak memperingatkan kepadamu suatu hal saja, yaitu supaya kamu menghadap Allah (dengan ikhlas) berdua-dua atau sendiri-sendiri; kemudian kamu pikirkan (tentang Muhammad) tidak ada penyakit gila sedikit pun pada kawanmu itu. Dia tidak lain hanyalah pemberi peringatan bagimu sebelum (menghadapi) azab yang keras.” (Qs. Al-Saba [34]:46)

3. Penciptaan langit-langit dan bumi serta aturan yang berkuasa atas seluruh makhluk:

Mencermati langit dan bumi serta keagungannya, demikian juga aturan yang berlaku pada unsur-unsur alam natural, merupakan salah satu jalan terbaik untuk memahami keagungan Peciptanya. Allah Swt dengan menyeru manusia untuk memperhatikan dan mencermati fenomena makhluk, sejatinya mengajak mereka untuk berpikir tentang Pencipta makhluk-makhluk tersebut. Misalnya pada ayat, “Dia-lah yang menciptakan segala yang ada di bumi untuk kamu. Kemudian Dia (berkehendak) menciptakan langit, lalu Dia menjadikannya tujuh langit. Dan Dia Maha Mengetahui segala sesuatu.” (Qs. Al-Baqarah [2]:29)[12] dan “Apakah mereka tidak memperhatikan unta, bagaimana dia diciptakan.” (Qs. Al-Ghasiyah [88]:17)

4. Penalaran terhadap adanya hari Kiamat:

Inti keberadaan hari Kiamat dan bahwa Allah Swt Mahakuasa untuk membangkitkan manusia setelah kematian mereka didasarkan argumen-argumen rasional. Pada kebanyakan ayat al-Quran, kemungkinan adanya hari Kiamat dinyatakan dalam bentuk ajakan untuk berpikir pada contoh-contoh yang serupa; seperti datangnya para wali manusia (Qs. Al-An’am [6]:76-78),  hidupnya kembali bumi dan tumbuh-tumbuhan,[14] kisah hidupnya burung-burung sebuah jawaban atas nya, permintaan Nabi Ibrahim AS seperti pada ayat-ayat (Qs. Al-An’am [6]:76-78)  dan lain kisah Ashabul Kahfi,[16] kisah Nabi Uzair[17] dan masih banyak contoh lainnya.

5. Isyarat terhadap sifat-sifat Allah Swt:

Pada kebanyakan ayat al-Quran dengan menyinggung sebagian sifat Allah Swt, manusia diajak untuk berpikir tentang Allah Swt dan tentang amalan perbuatan mereka. Sifat-sifat seperti, Qadir, Malik, Sami’ dan Bashir dengan baik menunjukkan atas isyarat ini. Seperti, “Tidakkah mereka tahu bahwasanya Allah mengetahui rahasia dan bisikan mereka, dan bahwasanya Allah amat mengetahui segala yang gaib?” (Qs. Al-Taubah [9]:78) dan ayat-ayat dimana Allah Swt memperkenalkan dirinya sebagai saksi atas amalan-amalan kita, seperti, “Katakanlah, “Hai ahli kitab, mengapa kamu ingkari ayat-ayat Allah? Padahal Allah Maha Menyaksikan apa yang kamu kerjakan.” (Qs. Ali Imran [3]:98)[19] jelas bahwa ayat-ayat ini tengah membahas tentang prinsip-prinsip akidah; seperti tauhid, kenabian, ma’ad dan keadilan Ilahi. Ayat-ayat ini adalah ayat-ayat rasional yang termaktub dalam al-Quran. Karena prinsip-prinsip akidah bertitik tolak dari pembahasan-pembahasan rasional yang harus ditetapkan dengan berpikir dan menggunakal akal. Taklid dan hanya mengikuti saja tanpa melakukan kajian tidak diperbolehkan dalam ajaran-ajaran agama yang benar.[]