Dimensi Keteladanan Fathimah az-Zahra; Ibadah dan Peningkatan Spiritual

Hari ini, kita hidup di era kecanggihan teknologi. Dunia yang luas kini bagaikan ‘desa kecil’, apa yang terjadi di satu belahan bumi, pada detik yang hampir sama  bisa dilihat oleh penduduk bumi di belahan yang lain. Di samping berbagai kemudahan yang dirasakan manusia, berbagai krisis kemanusiaan pun merajalela sebagai akibat dari globalisasi dan westernisasi yang dihantarkan oleh teknologi. Namun cahaya Fathimah az-Zahra as terus menerangi dan memberikan solusi bagi manusia yang ingin menerima cahaya itu.

Salah satu dimensi kehidupan Fathimah az-Zahra as yang menyampaikan beliau ke maqam yang tinggi ialah kecintaan beliau pada ibadah. Tidak ada seorang pun yang meragukan ibadah beliau dari sisi kualitas dan kuantitas. Karena beliau sangat menikmati pertemuannya dengan Sang Maha Pencipta. Hasan Bashri, seorang tokoh Sufi dalam menggambarkan ibadah Sayidah Fathimah as berkata, “Tidak aku temukan di dunia yang lebih abid dari Fathimah. Beliau beribadah hingga kakinya membengkak.”

Pada malam pengantin, Imam Ali as melihat Fathimah az-Zahra as dalam keadaan khawatir dan sedih, kemudian beliau menanyakan sebabnya. Fathimah az-Zahra as menjawab,

“Perpindahan dari rumah ayah menuju rumahku mengingatkanku akan perpindahanku ke alam kubur. Demi Allah, aku mohon padamu marilah kita dirikan salat dan beribadah kepada Allah SWT pada malam ini.”

Fathimah az-Zahra as mengajarkan kepada kita agar senantiasa berhubungan dengan Allah SWT dalam kondisi apapun. Terkhusus, di zaman modern seperti ini banyak orang yang mengalami krisis spiritual, padahal secara materi bergelimang harta, namun hidupnya terasa gersang, tidak merasakan ketenangan dan kebahagiaan. Karena ketenangan dan kebahagian tidak bisa didapati dengan harta semata. Ketenangan dan kebahagian sejati ialah ketenangan dan kebahagiaan yang didapati dari hubungan dengan Sumber Ketenangan yaitu Allah SWT, “Dan dirikanlah solat untuk mengingatku…”[1] “Ketahuilah bahwasanya mengingat Alloh akan membawa ketenangan jiwa.”[2]

Karena itu, meningkatkan spiritual dapat mencegah kegersangan jiwa dan kepenatan pikiran sebagai akibat kehidupan modern yang cenderung matrealistis dan hedonis. Kenikmatan dan ketenangan ruhani akan didapatkan dengan senantiasa menjalin hubungan dengan Allah SWT, Sang Pemberi ketenangan. Dan, hal itu tidak dapat diganti dengan sesuatu yang lain.

Kita pun hendaknya berusaha khusyu dalam menjalin hubungan ini, agar ketenangan dan kedamaian jiwa bisa kita dapatkan. Bahkan, kita juga dapat mencicipi kenikmatan dari ibadah itu sendiri sebagaimana yang telah diajarkan Fathimah az-Zahra as. Karena khusyu hati dan pikirannya di hadapan kebesaran dan keagungan Allah SWT, semua ikatan dunia dan materi termasuk kecintaan pada kekerabatan seakan terputus darinya. Saat beribadah, seakan ruhnya tengah terbang tinggi, sampai Allah mengutus malaikat untuk menggerak-gerakkan ayunan putra-putra beliau yang masih kecil agar tidak terjaga dari tidurnya.[3]

Dalam menggambarkan kenikmatan ruhani dan spiritual Fathimah az-Zahra as karena ibadah, dalam sebuah riwayat disebutkan bahwa Rasulullah SAW berkata, “Wahai putriku, apa yang engkau inginkan? Sekarang Jibril as ada bersamaku, ia membawa pesan bahwa Allah SWT akan mewujudkan semua yang engkau inginkan.” Beliau menjawab, “Kenikmatan menghadap-Nya, mencegahku untuk meminta sesuatu yang lain. Keinginanku hanyalah agar aku senantiasa dapat menghadap dan menatap keindahan-Nya dan keagungan-Nya.”[4]

Peningkatan spiritual pun dapat dilakukan dengan senantiasa berusaha bersama Alquran sebagaimana yang telah dicontohkan oleh Fathimah az-Zahra as. Tentu, kita sudah tahu bahwa Ahlul Bait as dan tidak akan dapat dipisahkan sebagaimana dalam riwayat Rasulullah, “Hendaklah kalian berpegang teguh kepada Alquran dan Itrah yang keduanya tidak akan terpisah…”[5]

Namun, tentang kebersamaan Fathimah az-Zahra as dengan Alquran akan menjadi contoh bagi kita para muslimah bahwa di era sekarang ini berpegang teguh pada Alquran akan menjadi penyelamat kita dari kegersangan rukhani. Dalam riwayat disebutkan bagaimana Fathimah az-Zahra as, detik demi detik dan dalam kondisi apapun, senantiasa bersama Alquran. Salman al-Farisi seorang sahabat Nabi Muhamad SAW berkata, “Suatu hari aku disuruh Rasulullah untuk pergi ke rumah Fathimah, saat aku sampai ke rumahnya kudengar ia tengah membaca Alquran.”[6]

Dalam riwayat lain Salman berkata, “Suatu hari aku masuk ke rumah Fathimah, aku lihat ia tengah menumbuk gandum sambil membaca Alquran.”[7]

Beliau pun mewasiatkan kepada Imam Ali as agar pada malam pertama sepeninggalnya banyak berdoa dan membacakan Alquran untuknya.[8] Karena waktu-waktu Fathimah az-Zahra as yang senantiasa diisi dengan lantunan ayat-ayat Alquran, hal ini membuat pelayan beliau, Fidhah Hindi menjadi penghafal dan menguasai Alquran. Karena hari-harinya senantiasa mendengar majikannya, Fathimah az-Zahra as senantiasa melantunkan ayat-ayat suci Alquran menjadikan Fidhah penghafal (Hafidzah) Alquran. Tidak sampai di situ, Fidhah pun pasca wafat Fathimah az-Zahra as tidak pernah berbicara kecuali dengan ayat-ayat Alquran. Cahaya Alquran telah membuat seorang pelayan seperti Fidhah menjadi perempuan agung. Berkat kedekatan sang majikan pada Alquran, mampu melahirkan seorang pelayan menjadi perempuan yang luar biasa.

Kita dapat berkaca dari kehidupan Fathimah az-Zahra as untuk dekat dengan Alquran dan bersahabat dengannya. Berusaha agar hari-harinya senantiasa dipenuhi dengan kalam Ilahi. Alquran tidak hanya sebatas pajangan berdebu yang ada di dalam almari rumah kita. Bukan hanya semangat update status atau membaca berita-berita yang ada di media sosial, kita pun harus semangat meng-update bacaan dan pemahaman tentang Alquran. Alquran menjadi teman dalam suka dan duka. Minimal ‘one day one ayat’ dijadikan program harian kita. Tiap ayat Alquran yang kita baca akan memberikan ketenangan dan pesan positif bila kita merenungkannya.

(Euis Daryati)

[1]  QS Thaha:14

[2]  QS ar-R’ad:28

[3]  Majlisi, Biharul Anwar, jil 43, hal 45

[4]  Riyahanusy Syari’ah, jil 1, hal 105

[5]

[6] Majlisi, Biharul Anwar, jil 4, hal 46

[7] Majlisi, Biharul Anwar, jil 4, hal 88

[8] Majlisi, Biharul Anwar, jil 79, hal 27