Kitab Bukhari dan Muslim Muat Riwayat yang Menentang Pemikiran Takfir

Takfir atau pelabelan kafir dan syirik terhadap kelompok lain merupakan jati identitas yang tidak dapat dipisahkan dari kelompok Wahabi. Pelabelan yang kemudian berujung pada penumpahan darah dan penjarahan serta perampasan harta benda yang tidak terhingga.

Kita tidak dapat mengidentifikasi ajaran ini bersumber dari mana, tapi yang pasti sumber-sumber hukum Islam sepakat menolak model dan alur berfikir dan bertindak seperti ini.

Al-quran dan hadits sebagai sumber utama ajaran Islam dengan tegas menolak pemikiran tersebut, sebagaimana telah dijelaskan pada beberapa tulisan sebelumnya.

Untuk menambah daya tekan penjelasan sebelumnya, pada tulisan kali ini akan dimuat hadis lainnya yang juga menyanggah sikap yang diambil oleh kelompok Wahabi dalam mengkafirkan kaum muslimin yang berbeda dengan pemikiran kelompoknya.

Bukhari memuat riwayat di dalam kitabnya:

“dari Anas bin Malik, ia berkata: Rasulullah Saw bersabda: barang siapa yang melaksanakan shalat seperti kita, menghadap ke arah kiblat kita dan memakan sembelihan kita, maka dialah muslim yang berada dalam perlindungan Allah dan Rasul-Nya. Maka janganlah kalian khianati Allah dalam hal perlindungan dan jaminan-Nya.[1]”

Dalam riwayat ini, dijelaskan bahwa “ahlul qiblah” atau orang-orang yang melaksanakan shalat seperti kaum muslimin, menghadap kiblat yang sama dan memakan sembelihan umat Islam, berada dalam perlindungan Allah Swt.

Artinya, setiap orang yang memiliki karakteristik di atas menjadi tanggung jawab Allah Swt, mendapat perlindungan serta keamanan dari-Nya. Oleh karena itu menuduh kafir, menyerang atau memerangi, merampas harta, atau menghilangkan kehormatan mereka sama saja dengan mengkhianati janji Allah Swt atau membatalkan janji-Nya.

Konsekuensi yang sangat mahal tentunya, sebab dianggap sebagai pengkhianat atau orang yang tidak menunaikan janji Allah Swt.

Lebih tegas lagi Muslim di dalam kitab shahihnya memuat riwayat lain yang juga menunjukkan betapa berharganya jiwa seorang muslim:

“….. Abu Dzibyan menyampaikan hadis kepada kami, ia berkata: aku mendengar Usamah bin Zaid bin Haritsah menyampaikan hadis, ia berkata: Rasulullah Saw mengutus kami ke al-Huraqah dari daerah Juhainah. Di pagi hari kami menyerang kaum tersebut dan mengalahkan mereka. Kemudian aku dan seorang Anshar bertemu dengan seorang laki-laki dari mereka, ketika kami mendatanginya, ia lantas mengucapkan “La ilaha illallah”. (melihat hal tadi), Orang Anshar tersebut membiarkannya (begitu saja), sementara aku menancapkan tombakku dan membunuhnya. Ia (Usamah) berkata: ketika kami kembali, cerita tersebut sampai kepada Nabi Saw, lantas beliau bertanya padaku: wahai Usamah! Apakah kamu membunuhnya setelah ia mengucapkan “La ilaha illallah”? ia berkat: aku menjawab: ia mengucapkannya hanya untuk melindungi dirinya. Ia (Usamah) berkata: beliau bertanya: apakah kamu membunuhnya setelah ia mengucapkan “Lailaha illallah”? ia berkata: beliau senantiasa mengulangi pertanyaan tersebut kepadaku, hingga aku mendambakan seandainya aku belum masuk Islam sebelum hari itu.[2]”

Dapat disaksikan dalam riwayat ini bahwa hanya dengan mengucapkan kalimat “la ilaha illallah” jiwa seseorang telah mendapat perlindungan. Padahal jika diperhatikan kondisi yang ada, sangat memungkinkan ucapan tersebut hanya bentuk dari upaya perlindungan diri.

Sebagaimana Usmah juga menganggap tindakan lelaki yang ada dalam hadis di atas seperti itu.

Namun, Rasulullah Saw telah memberikan pernyataan yang tegas bahwa yang menjadi tolok ukur adalah lahiriah seseorang. Dan ucapan “la ilaha illallah” secara lahiriah sudah cukup untuk menjadikan seseorang masuk ke dalam perlindungan Allah Swt.

[1] Bukhari, Abi Abdillah Muhammad bin Ismail, Shahih al-Bukhari, hal: 108, cet: Dar Ibn Katsir, Beirut, pertama, 1423 H/ 2002 M

[2] Muslim al-Naisaburi, Abul Husain Muslim bin Hajjaj, Shahih Muslim, jil: 1, hal: 97, cet: Dar al-Kutub al-Ilmiah, Beirut, pertama, 1412 H/ 1991 M.