Tanggung Jawab Setiap Muslim untuk Peduli Terhadap Sesama

Seandainya manusia hidup sendirian, niscaya dia tidak memerlukan norma, peraturan, undang-undang, dan prinsip. Manusia jadi membutuhkan semua itu karena dia hidup di masyarakat. Tujuannya adalah mengatur hubungannya dengan orang lain untuk saling memberi manfaat, menetapkan hak-hak dan kewajiban.

Kalau diasumsikan adanya seseorang yang mengasingkan diri di suatu tempat, maka tidak ada keharusan baginya untuk melaksanakan amanat, tidak diperlukan kejujuran dalam perbuatannya, dan tidak ada keharusan baginya untuk berbuat adil. Demikian pula halnya dengan nilai-nilai keutamaan.

Manusia tidak bisa hidup sendirian, karena ia lemah, sedang kebutuhan dan tuntutannya banyak. Manusia perlu hidup di bawah perlindungan keluarga yang dapat membimbing dan mengasuhnya di masa kanak-kanak. Seseorang perlu kelompok atau lingkungan di mana individu-individunya saling menolong untuk mengatasi kekurangan masing-masing. Dia memerlukan kerja sama dalam memenuhi kebutuhan dirinya. Jiwa raga seseorang terbentuk sesuai dengan lingkungan di mana ia tinggal, dan ia percaya bahwa dirinya adalah anggota dari organisasi masyarakat, meskipun secara lahiriah terlihat bahwa mereka terpisah satu sama lain.

Inilah kekuatan dan karunia yang Allah limpahkan kepada kita. Tabiat mencintai kebaikan, berlomba dalam mengerjakan yang makruf, berlemah-lembut dan menolong orang yang lemah, seluruhnya merupakan anugerah Allah kepada kita, bukan untuk kita tahan pada batas-batas yang hanya memberi manfaat khusus untuk diri kita dan kesenangan-kesenangan kita, tetapi harus sejalan dengan wataknya dan sesuai pula dengan karakter posisi kita di masyarakat.

Seseorang harus menerima dan memberi pengaruh dari dan kepada yang lain, serta merasakan hasil dari pergaulannya. Meskipun hati manusia keras membatu dan penuh dengan kebencian terhadap masyarakat, toh dia tetap terpengaruh oleh lingkungannya, dan harus menghadapi segala tantangannya di berbagai bidang. Bahkan orang-orang yang dikenal akan kebencian, hasutan, dan kekejiannya, kadang-kadang secara bersamaan memiliki rasa cinta, pengaruh yang baik, dan ketulusan. Tidak ada seorang pun yang seratus persen buruk. Dalam dirinya pasti terdapat persenyawaan antara kesucian dengan kotoran, kebaikan dengan keburukan.

Untuk melaksanakan ajaran-ajaran Islam, Ahlulbait berusaha membentuk masyarakat yang di situ kebaikan meraih kemenangan, dan anggota-anggotanya mempunyai rasa tolong­menolong dengan harta dan saling menasihati. Mereka berusaha agar manusia memerangi keburukan, menyucikan hatinya dari kotoran, menjauhkan diri dari pengaruh buruk, dan menyelamatkan jiwa dari penyakit-penyakit tersebut.

Sesungguhnya agama, sejak dahulu, memerintahkan manusia agar bergaul dengan baik, dengan membeberkan berbagai tolok ukur yang lengkap. Inilah tolok ukur yang tidak ada bandingannya, bahkan manusia memegang teguh aturan tersebut, mengaguminya, dan berusaha memahaminya dengan sebaik-baiknya. Para ahli filsafat di perpustakaan dan para gembala di padang penggembalaan bisa memahaminya dengan baik. Dia suka dengan orang-orang yang jujur, yang melindungi sesamanya, yang melaksanakan amanat manusia, dan dia memandang rendah orang yang mencari-cari alasan atau mencuri milik orang lain. Dia suka bila seseorang menolong orang yang sedang dalam kesulitan, suka kepada orang yang tahu kemampuan dirinya dan memegang janji.

Tidak setiap orang mampu memahami hak-hak dan kewajibannya, tidak setiap orang tahu teori-teori keadilan, dan tidak setiap orang mengerti batasan-batasan kebahagiaan. Mereka tidak memiliki pikiran yang cemerlang dan mampu memahami persoalan-persoalan ini, juga tidak memiliki kesempatan untuk mempelajarinya. Tetapi, ajaran-ajaran agama telah menjelaskan persoalan-persoalan tersebut dengan gambaran yang lebih gamblang dan pengertian-pengertian yang lebih mendalam.

Ahlulbait mengajarkan kepada kita tentang pekerjaan dan harta, dan menyuruh kita untuk mencarinya. Sebab, di dalam usaha-usaha tersebut terkandung unsur pengampunan dosa, taat kepada Allah, dan jihad fisabilillah. Ahlulbait menaruh perhatian yang tinggi terhadap kehidupan, dengan mengajar orang yang bodoh, memberikan bimbingan kepada yang tersesat, dan menyadarkan orang yang lalai pada kebahagiaan, agar masyarakat jadi teratur demi kebahagiaan semua individu, tanpa ada diskriminasi yang satu atas yang lain.

Imam Jakfar Shadiq a.s. berkata: “Allah memberikan kepada kamu sekalian harta-harta ini agar dimanfaatkan sesuai dengan petunjuk Allah, dan tidak memberikannya kepadamu untuk ditumpuk saja. Karena itu, tidak bisa tidak, seseorang harus menggunakan dan memanfaatkannya. Kalau dia orang kaya, maka sebaik­baik orang adalah yang membelanjakan hartanya untuk kebaikan, meringankan beban keluarga dan masyarakat, dan menyelamatkan orang-orang yang mengalami kesulitan dan musibah. Hendaknya harta dikeluarkan di jalan yang mulia, bukan di jalan yang hina, serta tidak pula untuk mendukung para pelaku kejahatan dan dosa.”

Imam Shadiq juga mengatakan: “Jika engkau ingin mengetahui kebaikan atau kejahatan yang dilakukan seseorang, maka perhatikanlah di mana dia menggunakan miliknya. Kalau dia menggunakannya pada tempatnya, maka ketahuilah bahwa orang itu telah melakukan kebaikan. Akan tetapi jika dia menggunakannya tidak pada tempatnya, maka orang itu tidak akan memperoleh balasan atas kebaikannya di akhirat kelak.”

Dari hadis ini kita bisa mengambil petunjuk bahwa menggunakan harta itu hendaknya dilakukan untuk meringankan penderitaan orang miskin, memperbaiki kerusakan, dan meluruskan penyimpangan.

Imam Shadiq a.s. berkata pula: “Ada empat hal yang hilang percuma: kasih sayang yang diberikan kepada orang yang tidak bisa dipercaya, kebaikan yang diberikan kepada orang yang tidak mau mensyukurinya, ilmu yang diajarkan kepada orang yang tidak mau melaksanakannya, dan rahasia yang disampaikan kepada orang yang tidak bisa menjaganya.”

Imam Ali a.s. mengatakan: “Barang siapa di antara kalian yang mempunyai harta, hendaknya dia berhati-hati agar tidak melakukan kerusakan. Jika dia menggunakannya bukan pada tempatnya, maka itu berarti pemborosan dan kemubaziran. Dengan begitu, dia berarti menggunakan hartanya untuk diingat­ingat orang, tetapi rendah di hadapan Allah. Begitu seseorang menggunakan hartanya tidak pada tempatnya, maka Allah Swt mengharamkan baginya rasa syukur (terima kasih) mereka.

Kasih sayang orang-orang yang bukan keluarganya itu pasti tidak akan diberikan kepadanya. Kalaupun masih ada orang yang seakan-akan memperlihatkan rasa terima kasih kepadanya dan mau meminta nasihat kepadanya, maka yang demikian itu hanyalah kepura-puraan dan kebohongan. Jika sekali waktu dia kehilangan terumpahnya (mengalami suatu kesulitan) lalu meminta bantuan kepada mereka, maka orang yang disayanginya pasti menjauhinya, dan karibnya pasti berbuat jahat kepadanya. Dan begitu seseorang menggunakan hartanya tidak pada tempatnya, maka dia tidak akan memperoleh balasan apa pun kecuali pujian yang menjilat dan sanjungan palsu selagi dia masih kaya dan disegani. Kedudukan orang bodoh masih lebih baik daripada apa yang dia lakukan. Di hadapan Allah, dia dipandang sebagai orang bakhil.

indakan apa lagikah yang lebih sia-sia dan merugikan ketimbang yang demikian itu? Manfaat mana lagikah yang lebih kecil ketimbang manfaat yang dapat diraih dengan menggunakan harta seperti itu? Karena itu, barang siapa di antara kalian mempunyai harta, hendaknya dia menyambungkan tali kekerabatan dengan hartanya itu, berbuat baik kepada tamu, meringankan kesulitan orang miskin, para tawanan, dan ibn al-sabil. Keberuntungan yang diperoleh melalui merupakan kemuliaan dunia dan kehormatan akhirat.”

Setiap muslim pasti tahu bahwa menggunakan harta untuk kepentingan umum, seperti membangun masjid, madrasah, perkantoran, dan sektor-sektor lain seperti itu, mempunyai pahala yang sangat besar. Yang demikian itu sejalan dengan makna hadis amal jariah yang pahalanya terus mengalir sepanjang bangunan-bangunan itu masih ada dan dimanfaatkan oleh orang banyak.