Islam, Sains dan Teknologi (3)

Marilyn Ferguson melaporkan secara terperinci perubahan sikap ini dalam bukunya, The Aquarian Conspiracy: Personal and Social Transformation in Our Time. Sejak 1970-an, dan makin intersif pada awal 1980-an, muncul gerakan yang memandang sains dengan sikap skeptic. Everett Mendelsohn, seorang ahli biologi Harvard, berkata, “sains sebagaimana yang kita ketahui telah melewati masa gunanya.” Theodore Roszak, dalam Where the Wasteland Ends, mengejek rasionalitas ilmiah, dan mengajak orang pada kepekaan agama. Menurut Roszak, objektivitas ilmiah telah menurunkan pengalaman manusia dari tabiat alamianya, dan menghilangkan misteri dan kesucian dari kehidupan. Akal hanyalah kemampuan manusia yang terbatas. Di samping akal, ada lagi spiritual knowledge.

Kalangan ahli ilmu jiwa melontarkan serangan-serangan kepada metode ilmiah, “Kita selalu menganggap ilmu hanya pada hal-hal yang verbal, eksplisit, rasional dan logis, realistis, serta ada hubungannya dengan pancaindra. Tak kalah pentingnya adalah misteri, kesamaran, kontradiksi tidak logis, dan pengalaman transedental.” Ahli fisika, Werner Heisenberg, melontarkan prinsip ketidakpastian (Principle of uncertainty). Menurut prinsip ini, ilmu pengetahuan yang rasional hanya dapat sampai pada kemungkinan statistik saja. Kini, di kalangan ilmuan mulai dasadari pentingnya memandang alam sebagai suatu sistem utuh, melihat kekuatan-kekuatan suprarasional, metaempiris di balik semua kekuatan materialistis entah karena kekecewaan terhadap sains yang membawa mereka pada tingkat kesadaran baru. “Kisa sedang berjalan menghampiri ambang agama,” kata Roberto Assagioli, seorang psikolog terkenal asal Italia.

Islam sangat perhatian terhadap progres umatnya, agar terus berproses untuk menggali-potensi-potensi alam dan lingkungan menjadi sentrum peradaban yang gemilang. Dalam konteks ini, tidak ada pertentangan antara sains dan Islam, dimana keduanya dapat berjalan bersama dan selaras untuk menciptakan khazanah keilmuan dan peradaban manusia yang lebih baik dari sebelumnya. Bahkan hubungan Islam, sains dan teknologi kawin mawin dalam hal memperkuat posisi masing-masing. Tidak saling menehasi, justru saling melegetimasi antara satu sama lain.

Pandangan Islam terhadap sains dan teknologi adalah bahwa Islam samasekali tidak pernah mengekang umatnya untuk maju dan modern. Justru sebaliknya, Islam sangat mendukung, bahkan menganjurkan sebagai kewajiban umat Muslim untuk menjawab tantangan zaman. Islam menganjurkan untuk berekperiman dan melakukan penelitian dalam hal apapun, termasuk dalam urusan sains dan teknologi. Bagi Islam, sains dan teknologi adalah ayat -ayat Allah yang perlu digali dan dicari keberadaannya. Ayat-ayat Allah tersebar di alam semesta ini merupakan anugerah bagi umat manusia sebagai khalifatullah di muka bumi untuk diolah dan dimanfaatkan dengan sebaik-baiknya.

Dunia kini dan masa depan adalah dunia yang dikuasai oleh sains dan teknologi. Mereka yang memiliki keduanya akan menguasai dunia. Bila – dengan meminjam istilah Marx – sains dan teknologi merupakan infrastruktur, keduanya akan menentukan suprastruktur dunia internasional termasuk kebudayaan, moral, hukum, bahkan agama. Bila Islam ingin kembali memainkan perannya, tidak bisa tidak ia harus menguasai sains dan teknologi. Bukan upaya yang mudah, memang, apalagi di tengah-tengah berbagai kemelut yang melanda dunia Islam dewasa ini. Tetapi kita dapat memulai dari lingkungan yang paling dekat dengan kita. Kecintaan terhadap ilmu harus disosialisasikan kepada anggota keluarga kita, jamaah kita, dan saudara-saudara kita seagama. Kegiatan-kegiatan ini mungkin dapat dimulai dari sikap positif untuk mencari informasi, mempermasalahkannya, mengoreknya, dan menelitinya. Ini berarti kita harus membiasakan umat bersikap terbuka – mendidik mereka berfikir luas.

Mungkin kita dapat memulainya dari topik-topik bahasan yang tidak berkenaan dengan ilmu-ilmu keras atau ilmu-ilmu alamiah. Sains dan teknologi sebagai perangkat keras mudah dibeli. Tetapi mengubah keduanya menjadi milik yang fungsional memerlukan perubahan mentalitas. Bukan mengada-ada, kalau kita mengatakan, kebiasaan menghidupkan perbedaan pendapat (atau berijtihad bagi yang berkualifikasi) merupakan prasyarat tumbuhnya sikap ilmiah. Secara institusional, mungkin harus sudah mulai dipikirkan menyalurkan dana kaum Muslim – infak, zakat, sedekah, wakaf dan sebagainya – untuk kegiatan pegembangan sains dan teknologi. Menggunakan uang untuk pengembangan sistem informasi mungkin lebih bernilai daripada mengualangi naik haji yang melulu ritual. Begitu pula, lebih baik membuat perpustakaan ilmiah yang lengkap ketimbang melebarkan masjid yang jarang dipenuhi jamaah.

Perluasan wawasan ilmiah tentu akan memaksa kita untuk merekonstruksi pemahaman kita tentang Islam. Fikih yang dirumuskan para mujtahid abad ke-9 tentu saja sudah tidak memadai di zaman sekarang. Masalah istinja, tayammum, qunut, haji tamattu, dan sejenisnya harus dikesampingkan untuk memberi tempat pada inseminasi, euthanasia, perbankan pendidikan Islam, media Islam, dan sebagainya. Ilmu dakwah seharusnya tidak lagi membicarakan makna “hikmah” dan “muajdalah”, tetapi mengupas psikologi komunikasi, penggunaan media massa, atau pengembangan analisis sistem informasi. Ilmu hadis mungkin bisa menggunakan “computerized” dan diajarkan seperti kita mengajarkan “computerized architecture”.

Pendeknya, kita harus memikirkan rekonstruksi ilmu-ilmu Islam selama ini. Untuk itu, buat Indonesia, barangkali diperlukan kerja sama yang erat antara lembaga-lembaga pendidikan Islam, seperti IAIN dan pesantren-pesantren, dengan perguruan-perguruan tinggi dan lembaga sains dan teknologi, seperti ITB, LIPI, dan sebagainya. Mungkin diperlukan sejenis lembaga yang menampung dan mempertemukan cendikiawan Islam dari berbagai disiplin ilmu. Selain harus mengkaji ilmu-ilmu Islam dalam sorotan sains dan teknologi mutakhir, lembaga ini pun dapat berfungsi sebagai badan yang memberikan petunjuk pemilihan teknologi mana yang paling tepat, penelitian mana yang patut diprioritaskan, atau hal-hal lain yang menyangkut keputusan etis terhadap penerapan sains dan teknologi. Bersamaan dengan itu semua, kita patut mendukung upaya global untuk mengislamkan sains dan teknologi; di samping mencari alternatif Islam dalam ekonomi, pendidikan, politik, rekayasa sosial-budaya, dan sebagainya.