Upaya Setan Besar Melemahkan Islam: Mendiskreditkan Ulama lewat Propaganda

Kini Islam telah dijadikan sasaran permusuhan Setan Besar (negara adidaya yang congkak) di dunia. Sebaliknya, Islam memikat kecintaan dan penghargaan besar di tengah masyarakat luas. Adapun sikap permusuhan kekuatan-kekuatan besar dunia terhadap Islam melebihi segalanya. Dalam hal ini, ulama merupakan para penyeru Islam.

Sejak kemenangan Revolusi Islam, pelbagai sarana komunikasi dan propaganda kekuatan-kekuatan besar yang congkak dan zionis gencar membicarakan ulama dengan nada cemooh serta menyebarkan kebohongan tentangnya. Mereka menyandangkan sifat-sifat [buruk] -yang sebenarnya lebih layak mereka sandang- kepada kaum ulama besar dan pemikir religius.

Tapi ini bukan masalah lantaran semua itu tidak berpengaruh sama sekali bagi kita. Sebab, kita tahu betul bahwa pukulan yang diarahkan kaum ulama terhadap mereka jauh lebih kuat.

Sejak kemenangan Revolusi Islam, kaum ulama -khususnya yang terkemuka di antara mereka- yang mengabdi pada pemerintahan Republik Islam secara langsung dijadikan target bidikan anak panah beracun musuh pada level informasi dan terorisme yang dilakukan para pengkhianat. Mereka itu adalah antek-antek musuh.

Kaum ulama telah mempersembahkan kesyahidan yang agung di kancah peperangan yang dipaksakan (perang Iran Irak) dan pada level jihad. Dalam hal ini, mereka telah membasahi mihrab-mihrab salat Jumat dengan darahnya yang suci. Mereka aktif dalam berbagai bidang ilmu pengetahuan, politik, dan dakwah agama.

Kita memahami bahwa faktor penyebab utama di balik serangan yang dilancarkan musuh terhadap kaum ulama adalah perannya terhadap masa depan revolusi. Karena itu, musuh mencanangkan pertama kali untuk menyerang kaum ulama dengan tujuan melemahkan dan mengenyahkan revolusi. Termasuk dalam konteks ini adalah penentangan terhadap ulama, sebagaimana yang kini dilakukan sekelompok penulis bayaran yang bertujuan melemahkan aset spiritual milik Revolusi Islam di hadapan bangsa muslim.

Tentu saja musuh-musuh revolusi akan mendiamkan kaum ulama yang menjauh dari urusan-urusan politik dan enggan terlibat dalam proses revolusi. Ini sebagaimana yang persis terjadi dengan sejumlah ulama yang lalai dan mengasingkan diri seraya mencukupkan dirinya dengan duduk di sekolah-sekolah dan masjid-masjid, sementara segenap urusan negeri dan bangsa ini diserahkan kepada pihak musuh.

Fakta yang mudah dilihat dalam hal ini adalah bahwa kaum ulama yang menjauhkan diri dari gelanggang persoalan negeri dan politik, tak akan pernah dijadikan target serangan musuh. Baik selama masa kebangkitan maupun setelah kemenangan Revolusi Islam. Musuh tak pernah mengarahkan serangan propagandanya kepada ulama tersebut, serta tak pernah pula menyerang mereka secara fisik (pembunuhan). Bahkan tuduhan konservatif diberikan pada kaum ulama yang berkecimpung dalam dunia pemikiran politik dan dikenal sebagai pembaru dalam bidang ilmu pengetahuan dan aktivisme. Tuduhan itu juga dialamatkan kepada kalangan ulama progresif yang berkesadaran tinggi dan berpikiran maju.

Perhatikanlah dengan cermat; kini sedang diterapkan strategi penghapusan nilai dan kepribadian ulama di kancah politik dan akademis. Penerapan strategi ini tidak terbatas pada golongan tertentu saja. Adalah sebuah kekeliruan -misalnya- bila kita berbicara tentang hauzah ilmiyyah sebagai lembaga tradisional, padahal metode pengajarannya bersandar pada penelitian dan analisis yang cermat dengan berpijak di atas prinsip deduktif, pembaharuan, dan kreativitas. Lalu kita menganggap orang-orang seperti Syahid Muthahhari dan Syahid Bahesyti -keduanya berasal dari kalangan hauzah ilmiyyah- hanya sekadar pengecualian semata.

Mungkin -bahkan nyaris pasti- orang-orang mengira semua itu tak mengandungi tujuan tertentu atau tujuan yang dikandungnya niscaya buruk. Namun, persoalan ini meniscayakan -akibat-kerusakan yang pasti. Pada saat yang sama, anggapan tersebut juga berlawanan dengan kenyataan. Pandangan seperti ini barangkali akan melucuti nilai ilmiah dan spiritualitas kaum ulama -sebagai para wakil agama dan pengusung benderanya- di lingkungan kampus dan di kalangan akademisi. Ini sebagaimana terjadi sebelum kemenangan Revolusi Islam.

Jika kita mengingkari ulama dan kedudukan ilmiah ilmu fikih, meragukan reputasi mereka (kaum ulama), atau menyandangkan keburukan pada mereka, maka itulah yang dikehendaki musuh sekaligus memuaskan dan membahagiakan pihak musuh karena dapat merealisasikan keinginan mereka.