Imam Ja’far As-Shadiq: Dengan Syahadat, Shalat, Puasa, Zakat dan Haji Seseorang Telah Menjadi Muslim dan Tidak Bolah Dikafirkan

Pada beberapa seri sebelumnya telah banyak dimuat pandangan al-Quran, hadits, sirah Nabi Saw, sahabat dan ulama yang  menolak pemikiran takfir atau pelabelan syirik kelompok Wahabi.

Dengan tolok ukur yang dipahami sendiri oleh kelompok tersebut, kalangan lain yang notabene merupakan umat Islam menjadi sasaran pengkafiran serta pelabelan musyrik.

Persepsi tentang tolok ukur yang menjadi penentu seorang layak memikul identitas sebagai muslim sangat menentukan sikap seseorang maupun golongan dalam menetapkan seseorang atau suatu kelompok sebagai muslim atau tidak.

Dan ternyata persepsi yang dijadikan oleh kelompok Wahabi dalam melabeli kelompok lain yang berbeda pandangan, bertolak belakang dengan al-Quran, hadis, sirah Nabi Saw maupun sahabat dan pandangan ulama.

Pada tulisan sebelumnya, telah dijelaskan juga sirah para Imam dalam menyikapi pemikiran takfir. Melanjutkan pembahasan yang ada, pada tulisan kali ini akan dimuat pernyataan Imam Ja’far As-Shadiq lainnya seputar tolok ukur dalam menentukan seseorang berada dalam naungan Islam atau tidak.

Dalam satu pernyataan, beliau menyampaikan bahwa Islam dapat melindungi seseorang dalam banyak hal:

“…. Dari al-Qasim al-Shirafi mitra al-Mufadhal, ia berkata: aku mendengar Abu Abdillah (Ja’far As-Shadiq) bersabda: dengan Islam darah seseorang akan terlindungi, amanahnya ditunaikan dan pernikahan dihalalkan. sementara pencapaian pahala harus dibarengi Iman.”[1]   

Dalam hadis ini tercatat bahwa memeluk Islam memberikan  perlindungan jiwa terhadap seseorang, membeikan kebolehan untuk saling menikahi dan menjamin penunaian amanah.

Tidak cukup sampai di sini, imam Ja’far As-Shadiq juga memberikan tolok ukur keislaman seseorang:

“…. Dari Sufyan bin al-Samth, ia berkata: seorang laki-laki bertanya kepada Abu Abdillah tentang perbedaan antara Islam dan Iman, akan tetapi Imam tidak memberikan jawaban. Kemudian ia bertanya lagi untuk kedua kalinya, Imam tetap tidak memberikan jawaban. Setelah itu keduanya bertemu di jalan sementara lelaki tersebut sudah mau berangkat. Abu Abdillah berkata padanya: sepertinya anda sudah mau berangkat? Ia menjawab: ya. Beliau berkata: temuilah aku di rumah. Lelaki itu lantas menemui beliau dan bertanya tentang perbedaan Islam dan iman. Beliau menjawab: Islam adalah apa yang ada secara lahiriah pada masyarakat; bersaksi tidak ada tuhan selain Allah yang esa lagi tidak ada sekutu baginya, Muhammad adalah hamba dan utusan-Nya, melaksanakan shalat, menunaikan zakat, puasa Ramadhan serta melaksanakan haji. Inilah Islam. ….”[2]   

Dari penjelasan riwayat di atas dapat dipahami bahwa untuk menetapkan seseorang sebagai muslim cukup dengan melihat tampilan lahiriahnya berupa syahadatain, shalat, puasa, zakat maupun haji.

Jika suatu kelompok telah memenuhi kriteria lahiriah di atas, maka tidak seorangpun berhak menuduh mereka sebagai kelompok kafir atau musrik.

Apalagi bertindak lebih dari itu; seperti melakukan penyerangan yang menyebabkan kehilangan nyawa, perampasan harta atau penghancuran tempat- tempat yang dianggap agung atau mulia oleh kelompok muslim tersebut.

Pernyataan ini sekali lagi mempertegas sanggahan sebelumnya atas pemikiran takfir kelompok Wahabi.

[1] Kulaini, Muhammad bin Ya’kub, al-Ushul Min al-Kafi, jil: 2, hal: 24, cet: Dar al-Taaruf, Beirut, ke empat, 1401 H.

[2] Kulaini, Muhammad bin Ya’kub, al-Ushul Min al-Kafi, jil: 2, hal: 24, cet: Dar al-Taaruf, Beirut, ke empat, 1401 H.