Apakah haram mengadakan acara ulang tahun?

Acara ulang tahun bukan merupakan tradisi islami. Dalam ajaran-ajaran Islam tidak terdapat anjuran bagi manusia untuk mengadakan acara ulang tahun (milad) untuk memperingati hari lahirnya. Memperingati hari lahir orang-orang besar meski memiliki nilai positif namun hal itu tidak memiliki akar dalam sejarah Arab dan ketimuran kita. Allah Swt juga hanya berbicara terkait dengan hari lahir para nabinya. Salah satunya terkait dengan hari lahir Nabi Musa As untuk menjelaskan kemurahan-Nya kepada Musa dan keramat yang dimilik Nabi Musa. Allah Swt berkisah bagaimana menyelamatkan Musa dari cengkeraman Fir’aun dan membesarkannya dalam lingkungan keluarga Fir’aun “Lalu ia dipungut oleh keluarga Fira‘un yang akibatnya dia menjadi musuh dan kesedihan bagi mereka.” (Qs. Al-Qashash [28]:8)

Kedua, kelahiran Nabi Isa As sebagai cermin dari cermin-cermin kekuasaan Tuhan. Namun demikian, Allah Swt tidak bercerita tentang kelahiran Nabi Ibrahim atau nabi-nabi lainnya; karena manusia yang lahir pada masa tertentu, bukanlah merupakan sebuah nilai baginya. Karena itu, dalam syariat Islam, tidak ada satu pun anjuran yang memotivasi masyarakat untuk mengadakan hari ulang tahun nabi atau imam atau yang lainnya.

Kaum Muslimin dalam hal ini sejatinya meniru peradaban umat lain yang mengadakan acara untuk memperingati hari lahir nabi-nabi mereka, sebagaimana orang-orang Kristen. Mereka mengadakan acara ulang tahun untuk orang-orang besar, sastrawan dan seniman mereka setiap tahunnya dan bahkan mereka menjadikan hari lahir Nabi Isa sebagai sumber penanggalan, sementara kaum Muslimin menjadikan hijrah Rasulullah Saw sebagai sumber penanggalan sebagai ganti penanggalan masehi (miladi).

Namun dalam hal ini, kita tidak mengambil sikap negatif dan apriori; karena kita tidak melihat adanya kerugian yang dapat ditimbulkan dalam tradisi-tradisi dan acara ulang tahun kelahiran para pembesar; karena dengan mengadakan acara-acara seperti ini, masyarakat akan semakin mengenal ajaran-ajaran, usaha, risalah dan moralitas para pembesar dan pemimpin mereka. Di samping itu, mengadakan tradisi seperti ini akan menjalinkan hubungan dengan mereka dan menyuntikkan semangat pada umat dan bangsa yang bakalan menjadi embrio keteladanan seluruh kehidupan bagi masyarakat setiap tahunnya dengan mengenang para pembesar mereka.

Dengan demikian, kami, tidak sepakat dengan sebagian mazhab dalam Islam yang memandang bid’ah dan mengharamkan pengadaan acara hari kelahiran (maulid) Rasulullah Saw; karena kita tidak dapat menggolongkan perbuatan ini sebagai bid’ah apatah lagi mengharamkannya mengingat masyarakat kita tahu benar bahwa Pembuat Syariat tidak mengeluarkan aturan dan hukum terkait dengan masalah ini.[1]

Tradisi mengadakan acara pada hari kelahiran memiliki hasil-hasil positif; karena dengan menciptakan hubungan antara umat dan para pembesar agama akan menyebabkan masyarakat dapat hidup dengan mereka dan menjadikan pola hidup mereka yang kaya dengan pikiran dan pengalaman risalah dapat menjadi paradigma perilaku dan kehidupan umat dalam kesehariannya. Di samping itu, Allah Swt juga tidak mengharamkan adanya hal-hal yang baru pada acara-acara, peringatan-peringatan, dan pola-pola hidup. Karena itu, menurut hemat kami, tidak ada masalah beramal dengan tradisi-tradisi seperti ini mengingat hal itu sama dengan memberdayakan media-media baru dalam kehidupan kita.

Masalah mengadakan acara ulang tahun bagi seseorang merupakan jalinan persahabatan dan keakraban orang tersebut atas lahirnya ia di alam eksistensi dan akan mengingat kelanjutan keberadaannya sepanjang tahun-tahun belakangan. Kita tidak ingin menyerang tradisi baru ini, meski kita juga menolak menerima tradisi-tradisi impor bangsa lain secara membabi buta.

Namun setelah menerima tradisi seperti ini manusia dapat berusaha menyempurnakannya. Lebih dari itu, adanya tradisi seperti ini merupakan kesempatan emas bagi manusia untuk bersyukur dan memuji Allah Swt sebagaimana Imam Sajjad As dalam menyambut pagi dan malam berdoa lirih, “Wa hadza yaumun jadid wa huwa ‘alainâ ‘atid. In ahsanna wadda’na bihamdin. Wa in asa’na faraqna bidzammin.”[2] Hari penuh asa dan hari baru ini telah tiba dan memberikan kesaksikan atas amalan-amalan kita. Apabila kita berbuat kebaikan maka ia akan meninggalkan kita dengan pujian. Apabila kita berbuat kejahatan maka ia akan meninggalkan kita dengan kecaman.”

Tradisi milad atau hari lahir ini dapat dimodifikasi dengan menjadikan hari kelahiran seseorang sebagai momentum untuk bersyukur dan memuji Allah Swt berkat anugerah usia yang diberikan semenjak hari lahirnya hingga kini. Juga merupakan kesempatan untuk merenungkan usianya yang telah ia lalui, dalam hal apa dan untuk apa ia gunakan? Hasil perenungan itu digunakan untuk paruh usia berikutnya dengan memperbaiki metode dan jalan hidupnya, dan mengingat Allah Swt serta memohon kepada-Nya, “Allahummaj’al mustaqbila amri khairan min madhihi wa khairu ‘amali khawatimuha wa khairu ayyami alqaka fihi.”[3] (Tuhanku!  Jadikan perbuatanku lebih baik dari hari-hari sebelumnya dan pekerjaan terbaik bagiku pada akhirnya. Dan sebaik-baik hariku adalah hari tatkala Aku berjumpa dengan-Mu.”

Karena itu, mengadakan acara ulang tahun bagi dirinya atau bagi anak-anaknya, nampaknya tidak akan bermasalah secara syar’i apabila tidak disertai dengan perbuatan mubazir dan masalah-masalah yang bertentangan dengan syariat seperti memutar lagu-lagu haram, berdansa dan lain sebagainya, []

 

 

[1]. Sehubungan dengan hal ini silahkan lihat, Milad Rasulullah Saw dan Para Imam Maksum As bukan Bid’ah, hauzahnet.

[2]. Shahifah Sajjâdiyah, Penerjemah Abdulmuhammad Ayati, Teheran, Surush,hal. 6, 1375 S.

[3]. Diadaptasi dari Site Sayid Muhammad Husain Fadhullah, dengan sedikit perubahan.