Manusia dan Taklifnya (1)

Makhluk hidup lain seperti binatang dan tumbuhan tidak memiliki akal dan perasaan, mereka tidak dibebani taklif/ tugas. Mereka tidak mempunyai akal sehingga tidak bisa melawan kecenderungan mereka dengan daya pikir dan pertimbangan matang serta mengontrol keinginan mereka.

Malaikat juga tidak membutuhkan taklif dan hukum syariat, karena wujud mereka lebih tinggi dari materi dan tidak memiliki syahwat dan amarah yang perlu dikontrol. Karena itu, maksiat dan dosa sama sekali tidak tergambar pada diri mereka sehingga mereka harus diperintah atau dilarang. Para malaikat tunduk sepenuhnya di hadapan tugas-tugas yang dibebankan atas mereka dari awal penciptaan dan tidak akan melanggarnya.

Sekaitan dengan malaikat, Alquran mengatakan, “Mereka tidak menentang perintah Allah dan senantiasa melaksanakan apa yang diperintahkan kepada mereka.” (QS. at-Tahrim: 6)

Namun, berkat penciptaan khasnya, manusia bisa memikul tugas, karena pertama, ia tidak seperti malaikat, tapi ruhnya berhubungan dengan badan materi dan dengan cara ini, ia bisa menempuh jenjang kesempurnaan atau menuruni tangga kehinaan dan kita bisa menggambarkan ketaatan serta kemaksiatan pada diri manusia.

Kedua, ia adalah makhluk berakal dan berikhtiar sehingga ia mampu mempertimbangkan akibat tindakannya dengan akal dan daya pikirnya serta menentukan maslahat atau mudharatnya. Dengan dua karakteristik ini, manusia bisa diperintah atau dilarang.

Abdullah bin Sanan bertanya kepada Imam Jakfar a.s. tentang siapa yang lebih utama antara malaikat atau manusia, beliau menjawab dengan menguti perkataan datuknya Amirul Mukminin a.s. : “Allah memberikan akal minus syahwat kepada malaikat dan memberikan syahwat minus akal kepada binatang, namun Dia memberikan kedua-duanya kepada manusia. Setiap manusia yang bisa mengunggulkan akalnya atas syahwatnya, maka ia lebih utama dibanding malaikat. Sebaliknya, manusia yang mengedepankan syahwatnya atas akalnya, lebih buruk dan hina dari binatang.”

Alquran mengatakan, “Kami menawarkan amanah kepada langit, bumi dan gunung, tapi mereka menolak mengembannya dan takut (menerimanya). Namun manusia menerimanya, karena ia zalim dan bodoh.” (QS. al-Ahzab: 72)

Sebagian ahli tafsir mengartikan amanah itu sebagai perintah dan larangan Allah. Dalam menjustifikasi pendapat ini, bisa dikatakan bahwa Allah menawarkan taklif kepada langit, bumi dan gunung, tapi karena mereka tidak berpotensi menerimanya, mereka menolak menanggung beban berat ini.

Karena para malaikat makhluk non-materi dan tidak memiliki syahwat atau amarah, mereka juga tidak siap menerima taklif ini. Hanya manusia saja yang mampu menerimanya, karena ia memiliki ikhtiar dan kehendak serta mampu menempatkan dirinya dalam lingkup hukum dan undang-undang Ilahi. Karena manusia zalim dan bodoh (dalam arti bahwa ia mungkin bertindak zalim dan bodoh), ia mampu mengemban taklif Allah. Menjadi pengemban tugas (mukallaf) adalah suatu nilai tersendiri bagi manusia, karena berbeda dengan makhluk-makhluk lain yang jalan kesempurnaan ikhtiari mereka tertutup, manusia mempunyai karunia ini dan jalan kesempurnaan yang berasaskan ikhtiar terbuka bagi mereka.

Tugas-tugas ini dibuat oleh Allah yang mengetahui penciptaan khas jasmani dan ruh manusia serta maslahat dan madharat sejati dunia dan akhiratnya. Kewajiban-tugas ini disampaikan kepada mereka melalui nabi-nabi maksum a.s. Allah yang Mahabijak mengetahui faktor-faktor kebahagiaan

dan kesengsaraan manusia dan sadar bahwa manusia tidak mampu menciptakan sistem sempurna semacam ini. Sebab itu, Dia membuat hukum dan undang-undang yang diperlukan dan memberikannya kepada manusia melalui utusan-utusan-Nya.

Meski tugas-tugas samawi ini sedikit banyak membatasi kebebasan mutlak manusia, namun keterbatasan ini tidak merugikannya, bahkan memberinya keuntungan dalam memenuhi maslahat sejatinya, sebab Allah tidak akan bertindak merugikan hamba-hamba-Nya. Pada prinsipnya, manusia tidak bisa hidup dengan kebebasan mutlak, karena ini bukan suatu maslahat baginya. Mengingat bahwa manusia hidup bermasyarakat dan membutuhkan sesamanya, ia harus menerima batasan-batasan sosial yang disusul batas-batas tugas-tugas syar’i.

Alquran mengatakan:

“Manusia adalah suatu umat, maka Allah mengutus para nabi sebagai pemberi kabar gembira dan peringatan. Dia menurunkan kitab atas mereka supaya dijadikan hakim dalam setiap perselisihan mereka. Namun, selain orang-orang yang kitab diturunkan atas mereka dan hujjah sudah disempurnakan , tidak ada yang berselisih di dalamnya, perselisihan mereka muncul dari kesombongan dan kesewenang-wenangan mereka. Allah memberi hidayah kepada orang-orang beriman saat mereka berselisih tentang kebenaran. Ia membimbing orang yang kehendaki ke jalan yang lurus.” (QS. al-Baqarah: 213)

Imam Shadiq as ditanya, “Kenapa Allah menciptakan hamba-hamba-Nya?” Beliau menjawab, “Allah tidak menciptakan hamba-hamba-Nya dengan sia-sia atau membiarkan mereka begitu saja, tapi Ia menciptakan mereka untuk menampakkan kekuasaan-Nya dan membebani mereka (dengan taklif). Dengan begitu, mereka mendapatkan ridha­Nya berkat ketaatan kepada-Nya. Allah tidak menciptakan mereka untuk menarik keuntungan atau mencegah bahaya dari diri-Nya, bahkan dengan tujuan memberikan keuntungan kepada mereka dan mengantarkan mereka menuju kenikmatan abadi.”

 

Bersambung ...