Nasihat Khalifah Ali a.s. kepada Pejabatnya untuk Hidup Sederhana (1)

Ketika Imam Ali bin Abi Thalib a.s. menjabat sebagai khalifah keempat umat Islam beliau menerapkan aturan yang sangat ketat kepada semua pejabatnya. Dokumentasi surat-suratnya kepada para gubernurnya yang berisi nasihat amat masyhur. Di antaranya beliau mengirim surat kepada gubernurnya di Basrah, Utsman bin Hunaif al-Anshari, yang kedapatan menghadiri pesta mewah perkawinan warganya.

“Segala puji bagi Allah wahai Hunaif, aku tahu engkau mendapat undangan ke acara pesta dari seorang anak muda warga Basrah. Aku tahu engkau bergegas memenuhi undangan itu, menikmati hidangan yang disajikan untukmu. Aku tak pernah berpikir engkau akan memenuhi (undangan acara) pesta yang diselenggarakan oleh seorang warga, padahal orang-orang miskin di kota itu tak ada yang diundang ke acara tersebut, dan yang diundang hanyalah orang-orang kaya. Oleh karena itu, perhatikan hidangannya: kalau hidangan tersebut membuatmu was-was (yaitu apakah halal atau tidak), maka jangan engkau sentuh, dan nikmati saja hidangan yang kelihatannya halal.

Dengarkan, untuk setiap rakyat ada penguasa yang diikutinya dan dari ilmu penguasa ini, rakyat mendapatkan kecemerlangan cahayanya, dan perhatikan mengenai dunia ini: penguasamu (Ali) merasa cukup dengan dua pakaian usang yang terbuat dari potongan-potongan kain, dan mengenai makanan, penguasamu merasa cukup dengan hanya dua kerat roti. Memang engkau tak mungkin berbuat seperti ini. Namun, setidak-tidaknya, engkau dapat membantuku dengan kesalehan, dengan upaya, dengan kesahajaan, dan dengan kelurusan moral, karena demi Allah, aku tak pernah menimbun emas dari duniamu, tak pernah menumpuk kekayaan dari harta benda yang ada di dunia ini, tak pernah menyiapkan pakaian lain untuk menggantikan pakaian usangku yang terbuat dari potongan-potongan kain, tak pernah memiliki sejengkal tanah yang ada di dunia ini, dan dari makanan yang ada di dunia ini, aku tak pernah menikmatinya, kecuali yang cukup untuk makan orang yang punggungnya terluka atau orang yang makannya sangat sedikit.

Sesungguhnya, dalam pandanganku, dunia ini lebih tak berharga dan lebih tak ada artinya dibanding buah pahit pohon ek. Betul, kami memiliki Fadak dari segala yang ada di kolong langit, tetapi sebagian orang tak suka, sementara sebagian lainnya ada yang memperlihatkan kesudian untuk membantu, dan sebaik-baik hakim adalah Allah. Apa yang akan aku lakukan dengan Fadak atau dengan apa pun selain Fadak (yaitu kekayaan atau harta dunia ini), padahal tempat tinggalku esok adalah kubur, ketika keberadaanku dan segenap jejaknya akan berakhir dalam kegelapan kubur, dan semua berita tentangnya akan lenyap, dan liang kubur yang meskipun tangan penggalinya dapat menambah luasnya, akan tertutup batu dan bata serta lapis demi lapis debu. Oleh karena itu, aku harus melatih diriku dalam kesalehan sehingga diriku akan selamat pada hari ketika ketakutan hebat melanda (yaitu Hari Kiamat) dan tetap kukuh di pinggir jembatan yang licin.

Bersambung ...