Kiamat dalam Pandangan Filosof dan Teolog Islam


Salah satu persoalan penting semenjak dahulu kala dan menjadi perhatian agama-agama, para teolog dan filosof adalah masalah ma'âd (hari kebangkitan) dan kehidupan setelah kematian. Para pengikut agama seluruhnya meyakini kehidupan pasca kematian dan keyakinan ini dipandang sebagai salah satu masalah paling asasi sebuah agama atau mazhab.

Ma'âd bermakna dibangkitkannya manusia setelah kematian dimana manusia kembali hidup dan pada kehidupan baru seluruh amal perbuatannya akan diperhitungkan. Keyakinan ini secara umum, terlepas dari hal-hal detilnya, disepakati oleh seluruh teolog dan filosof Ilahi serta seluruh kaum Muslimin, sesuai dengan ayat al-Qur'an, memiliki keyakinan terhadap adanya hari kebangkitan (ma'âd).

Adapun berkenaan dengan bagaimana proses terjadinya hari kebangkitan, dalam literatur-literatur Islam ditegaskan tentang adanya ma'âd jasmani. Ma'âd jasmani maksudnya adalah bahwa manusia yang dibangkitkan dan dikumpulkan pada hari Kiamat adalah manusia yang hidup di alam dunia ini dan orang yang dibangkitkan pada hari Kiamat adalah orang yang memiliki bentuk ragawi di dunia (sebagai sebuah realitas yang terdiri dari ruh dan jasad).

Terkait dengan ma'âd jasmani, para teolog semata-mata bersandar pada dalil-dalil referensial (naqli) dan hal ini mereka pandang sebagai perkara ta'abbudi (taken for granted, sudah dari sononya). Namun sekelompok filosof dan khususnya para proponen maktab Peripatetik (Masyya) mengkaji ma'âd jasmani dari sudut pandang akal dan karena mereka tidak mampu memecahkan pelbagai kesulitan-kesulitan ilmiah ma'âd jasmani (di antaranya kemustahilan kembalinya sesuatu yang tiada [i'âda ma'dum]) maka mau tak mau mereka beralih pada ma'âd ruhani dan mengingkari ma'âd jasmani atau minimal mereka berpandangan bahwa ma'âd jasmani tidak dapat ditetapkan dan dibuktikan melalui pisau analisa filosofis.

Sebagian filosof lainnya menggunakan metode khusus untuk menetapkan ma'âd jasmani; di antaranya adalah Mulla Shadra Syirazi yang berpandangan bahwa badan yang dibangkitkan pada hari Kiamat merupakan badan latif (lunak) yang serupa dengan badan duniawi ini, akan tetapi badan latif (lunak) ini memiliki kapasitas untuk hidup abadi. Mulla Shadra menyebut badan seperti ini sebagai badan mitsâli.

Adapun orang-orang yang berbuat kejahatan akan mendapatkan hukuman setimpal atas perbuatannya dan menempati neraka jahannam. Keyakinan ini secara umum, terlepas dari hal-hal detilnya, disepakati oleh seluruh teolog dan filosof Ilahi dan seluruh kaum Muslimin sesuai dengan al-Qur'an meyakini akan terjadinya hari kebangkitan.


Menetapkan Inti Ma'âd
Dalam ilmu teologi dan filsafat terdapat seabrek dalil yang dapat digunakan untuk menetapkan inti (ashl) ma'âd (hari kebangkitan). Pada kesempatan ini, sebagai perumpamaan kami akan menyebutkan sebagian dari dalil-dalil tersebut:

Ma'âd (hari kebangkitan) merupakan sebuah perkara yang pasti dan hakiki serta tidak terpisah dari masalah penciptaan. Karena gerakan (harâkah) yang terdapat di alam semesta, demikian juga gerakan kehendak manusia yang dalam upayanya melintasi jalan kesempurnaan, tidak bisa terimplementasi tanpa adanya tujuan. Karena itu, kehidupan temporal manusia harus memiliki tujuan yang merupakan jalur dan ujung lintasannya untuk sampai pada kesempurnaan. Bukan sekali berhenti dan berujung pada ketiadaan dan kenihilan. Persoalan ini juga dapat dijelaskan terkait dengan seluruh penciptaan dan dalam perspektif ini bukan hanya manusia yang memiliki hari kebangkitan, melainkan perkara ini terkait dengan seluruh penciptaan. Hal ini juga dinyatakan dalam al-Qur'an sebagaimana pada ayat, "Wamâ khalaqnâ al-samâ wa al-ardh wa ma bainahum bâtilân dzalika zhannulladzina kafarû fawailun lilladzina kafarâ minnnâr." (Dan Kami tidak menciptakan langit dan bumi dan apa yang ada di antara keduanya sia-sia. Yang demikian itu adalah anggapan orang-orang kafir, maka celakalah orang-orang kafir itu karena mereka akan masuk neraka, Qs. Shad [38]:27)

Demikian juga salah satu dalil terpenting bagi kepastian terjadinya ma'âd adalah tuntutan dan keniscayaan keadilan Ilahi; karena apabila setelah kematian, tidak terdapat hari perhitungan, ganjaran dan hukuman maka keniscayaan dari tiadanya perhitungan ini adalah kesamaan antara orang yang taat dan orang yang bermaksiat ('ashi) dan tentu saja Allah Swt sangat mulia dari kondisi seperti ini. Keadilan Ilahi meniscayakan bahwa orang-orang yang mengerjakan kebaikan mendapatkan ganjaran yang setimpal dan orang-orang yang mengerjakan keburukan memperoleh hukuman yang setimpal dengan perbuatan buruk mereka.

Penting untuk disebutkan bahwa di samping dalil-dalil teologis dan filosofis terkait dengan persoalan ma'âd, salah satu tema penting yang memiliki hubungan berkelindan dengan masalah ma'âd adalah penetapan ruh bagi manusia demikian juga penetapan kehidupan barzakh (isthmus). Karena keniscayaan wujud ruh non-material bagi manusia adalah bahwa setelah kematian gerakannya tidak akan berhenti dan akan terus berlanjut pada kehidupan ukhrawi yang selaras dengan amal perbuatannya pada kehidupan duniawi.


Bagaimana Proses Terjadinya Ma'âd
Adapun bagaimana proses terjadinya ma'âd harus dikatakan bahwa: apa yang diyakini oleh para pemeluk agama adalah terjadinya ma'âd jasmani. Hal ini juga dinyatakan dalam Islam. Ma'âd jasmani maksudnya adalah bahwa manusia yang dihimpunkan pada hari kebangkitan adalah manusia yang sebelumnya hidup di alam dunia. Dan orang yang dibangkitkan pada hari Kiamat adalah orang yang memiliki corak ragawi, bendawi dan jasmani sedemikian sehingga barang siapa yang melihatnya di dunia maka ia akan berkata bahwa orang ini adalah orang yang ia lihatnya di dunia berikut tipologi duniawinya. Sebagai sebuah realitas yang terangkap dari ruh dan jasad atau benda (jism).

Dalil-dalil yang disodorkan oleh kaum teolog terkait dengan hari kebangkitan semuanya menyoroti masalah penetapan inti terjadinya hari kebangkitan, namun terkait dengan proses terjadinya, jasmani atau ruhani, mereka semata-mata bersandar pada dalil-dalil referensial (naqli) dan memandangnya sebagai suatu hal yang sudah semestinya harus diterima (taken for granted, ta'abbudi).

Demikian juga bertautan dengan hal-hal detil tentang hari kebangkitan; seperti surga, neraka, jembatan (shirat), timbangan amal (mizan) dan sebagainya mereka berpandangan bahwa semata-mata yakin terhadap inti persoalan ini sudah memadai. Pembahasan bagaimana proses terjadinya hari kebangkitan dan dalil-dalil rasionalnya tidak terlalu penting dan hal ini boleh jadi menjadi penyebab munculnya syubha (keraguan) dalam masalah hari kebangkitan.[1]

Namun demikian berbeda dengan kaum teolog, para filosof memberikan perhatian ekstra terhadap persoalan ma'âd jasmani dan masing-masing menyodorkan pandangan khusus dalam masalah ini.


Ma'âd Ruhani dan Jasmani dalam Filsafat
Sebagian filosof dan khususnya pengikut maktab filsafat Peripatetik hanya meyakini ma'âd ruhani. Mereka berkata, "Pasca kematian, hubungan ruh dan badan akan terputus. Akan tetapi mengingat ruh merupakan entitas yang murni dari materi, maka kefanaan dan ketiadaan tidak ada jalan baginya. Setelah terputusnya hubungan dengan badan, ruh akan tetap ada.[2] Kelompok filosof ini lantaran tidak mampu memecahkan pelbagai kritikan ilmiah ma'âd jasmani (di antaranya keraguan akan munculnya syubha kembalinya sesuatu yang tiada [i'âda ma'dum]) mau tak mau mereka condong kepada ma'âd ruhani dan mengingkari ma'âd jasmani. Atau mereka berpandangan bahwa ma'âd jasmani tidak dapat ditetapkan dan dibedah dengan menggunakan pisau analisis filsafat.

Filosof Peripatetik semisal Ibnu Sina dalam hal ini berkata, "Menetapkan ma'âd melalui jalan syariat, riwayat dan ayat-ayat dapat dilakukan dengan mudah. Dan sebagian dari hal tersebut dapat dipahami dengan akal, silogisme dan argumentasi. Sebagian hal tersebut adalah masalah kebahagiaan dan kecelakaan jiwa (ma'âd ruhani)….." Setelah menjelaskan dan menafsirkan secara detil tentang masalah kebahagiaan dan penderitaan ruh, Ibnu Sina menjelaskan bahwa ma'âd jasmani yang menjadi obyek pembahasan filsafat tidak dapat ditetapkan melalui jalan rasional.[3]

Sebagian filosof lainnya untuk menetapkan ma'âd jasmani mereka yang memiliki metode khusus di antaranya adalah Mulla Shadra Syirazi yang meyakini bahwa badan yang dibangkitkan pada hari kebangkitan adalah sebuah badan latif (lunak) yang serupa dengan badan duniawi dan memiliki kapasitas yang diperlukan untuk menjalani kehidupan ukhrawi. Mulla Shadra menyebut badan seperti ini sebagai badan mitsali. Di antara filosof yang meyakini ma'âd dengan badan mitsâli adalah Syaikh Syihabuddin Suhrawardi,[4] dengan sedikit perbedaan dengan pandangan Mulla Shadra, termasuk premis-premis rasional yang detil dan setelah melalui pelbagai premis-premis ini, Suhrawardi berpandangan bahwa hakikat jasmani manusia adalah jasmani mitsali. Meski terkadang dapat disimpulkan dari penuturan Mulla Shadra bahwa ia meyakini tentang adanya ma'âd dengan badan material duniawi; akan tetapi pada ghalibnya dari karya-karya Mulla Shadra dapat disimpulan bahwa sandaran utama Mulla Shadra terkait dengan badan yang dibangkitkan pada hari Kiamat adalah badan mitsâli. Dan melalui jalan ini dimana seluruh tipologi jasmani pada tingkatan yang lebih lunak, intensitasnya yang lebih tinggi yang teralisir untuk badan mitsali, Mulla Shadra menetapkan jasmaninya kehidupan ukhrawi. [IQuest]


Catatan Kaki:
[1]. Muhammad Ridha Muzhaffar, 'Aqâid al-Imâmiyah, hal. 127, Intisyarat al-Syarif al-Radhi, Qum, 1411 H.

[2]. Ja'far Subhani, 'Aqâid Islâmi dar Partû Qur'ân, hal. 582, Nasyr-e Daftar-e Tablighat-e Islami, Qum, 1379 S.

[3]. Farhangg-e Ma'ârif Islâmi, jil. 3, hal. 1816.

[4]. 'Aqâid Islâmi dar Partû Qur'ân, hal. 582.