Muhammad bin Shaleh Al-Utsaimin: Allah Miliki Dua Mata

Telah disebutkan pada tulisan sebelumnya bahwa kelompok Wahabi adalah golongan yang memiliki keyakinan bahwa nash agama mesti dipahami sesuai dengan zahirnya.

Keyakinan yang menentang takwil ini tentu saja memiliki konsekuensi yang menyeret kelompok ini pada keyakinan adanya beberapa sifat yang mesti diklaim ada pada Allah Swt secara lahiriah.

Sifat-sifat seperti kaki, tangan, berambut keriting dan menunggangi keledai, adalah sederet karakter yang disematkan oleh kelompok ini kepada Allah Swt.

Melanjutkan kajian yang ada, tulisan kali ini akan memuat pernyataan lain Wahabi seputar pembahasan tauhid sifat. Di mana al-Utsaimin di dalam kitabnya menyatakan bahwa Allah Swt memiliki mata:

“perkataannya (wa ainuhu) artinya: kita juga beriman terhadap apa yang datang di dalam dalil, berupa ditetapkannya mata bagi Allah Swt.[1]”

Pada penjelasan di atas al-Utsaimin menyatakan bahwa dengan dalil yang ada (teks al-Quran dan hadits) maka meyakini adanya mata bagi Allah Swt merupakan kewajiban.

Lebih lanjut, tokoh Wahabi ini menjelaskan bahwa yang dimaksud dengan mata (ain) yang disebutkan di dalam ayat mesti dimaknai dengan mata lahiriah, bukan makna kinayah (sindiran atau majaz) yang berarti pengawasan atau pemantauan:

“pembahasan pertama: apakah kata “ain” bermakna hakiki atau bermakna kinayah dari kata “rukyah” yang berarti melihat?

Jawab: itu adalah “ain” dengan makna hakiki. Dalilnya adalah Allah Swt menetapkan hal tersebut untuk diriNya dalam beberapa tempat sebagaimana ia juga menetapkan “rukyah” bagiNya dalam beberapa kesempatan. Menetapkan “ain” di satu kesempatan dan “rukyah” pada kesempatan lainnya, menjadi bukti bahwa kedua ungkapan tersebut merupakan hal yang berbeda. Rukyah satu hal, sedangkan ain hal yang lain lagi. Maka perkataan Allah Swt: (أَلَمْ يَعْلَمْ بِأَنَّ اللهَ يَرى)[2] dan ayat (وَ قُلِ اعْمَلُوا فَسَيَرَى اللهُ عَمَلَكُمْ وَ رَسُولُهُ)[3] adalah ayat yang menetapkan rukyah bagi Allah Swt. akan tetapi ayat (تَجْري بِأَعْيُنِنا)[4] dan (وَ لِتُصْنَعَ عَلى عَيْني)[5] bukanlah bercerita tentang rukyah, tetapi menetapkan “ain” yang berbeda dengan rukyah bagi Allah Swt.”[6]

Dapat dipahami dari penjelasan di atas bahwa al-Utsaimin dengan argumentasi yang dipaparkan sedang berusaha membuktikan bahwa Allah Swt memiliki mata, dan mata tersebut mesti dimaknai dengan mata hakiki bukan mata dengan arti penglihatan atau pengawasan.

Selanjutnya, sebagaimana dalam pembahasan tangan, pada pembahasan ini, al-Utsaimin juga menetapkan bahwa Allah Swt memiliki dua tangan:

“jika begitu maka nyatalah bahwa mata yang ditetapkan bagi Allah Swt tersebut berjumlah dua. Dan ini sangat jelas.[7]”

Dari literatur di atas dapat dipahami bahwa dengan keyakinan bahwa teks syariat mesti dipahami secara lahiriyah dan anti takwil, kaum Wahabi menetapkan dua tangan yang bermakna hakiki bagi Allah Swt.

[1] Al-Utsaimin, Muhammad bin Shalih, Syarah Aqidah al-Safariniyah, hal: 269, cet: Madar al-Wathan Li al-Nashr, Riyadh, pertama 1426H.

[2] Al-Alaq/ 14

[3] Al-Taubah/ 105

[4] Al-Qamar/ 14

[5] Thaha/ 39

[6] Al-Utsaimin, Muhammad bin Shalih, Syarah Aqidah al-Safariniyah, hal: 269, cet: Madar al-Wathan Li al-Nashr, Riyadh, pertama 1426H.

[7] Al-Utsaimin, Muhammad bin Shalih, Syarah Aqidah al-Safariniyah, hal: 270, cet: Madar al-Wathan Li al-Nashr, Riyadh, pertama 1426H.