Situs Al Imamain Al Hasanain Pusat Kajian Pemikiran dan Budaya Islam

Rasa Kehampaan Spiritual Menurut Al-Qur’an (1)

1 Pendapat 05.0 / 5

Peradaban manusia saat ini sampai pada suatu titik di mana selain terlihat kemajuan di bidang teknologi namun juga terlihat semakin tingginya tingkat stres pada penduduknya. Rasa kehampaan spiritual adalah salah satu faktor penting fenomena ini. Manusia di alam yang serba luas ini menderita karena tidak memiliki tujuan dan tumpuan. Di antara bentuk-bentuk rasa kehampaan spiritual ini adalah:

1. Hampanya JatiDiri

Berdasarkan hasil poling yang diadakan di Amerika, 68% penduduk Amerika berpendapat bahwa menggapai falsafah kehidupan yang bermakna adalah tujuan yang paling tinggi. Dan berdasarkan penelitian Universitas Idaho, 51 dari 60 mahasiswa yang nekat melakukan aksi bunuh diri, alasan mereka adalah karena mereka menganggap hidup ini tidak memilik arti apa-apa. Padahal di antara ke-51 mahasiswa tersebut ada 48 mahasiswa yang benar-benar sehat secara fisik dan aktif dalam kegiatan kuliah.

Kehampaan jati diri berakar pada beberapa masalah: manusia tidak seperti hewan yang jalan hidupnya ditunjukkan oleh insting dan nalurinya. Berbeda dengan manusia-manusia yang hidup di masa lalu, kini manusia enggan berperilaku sesuai dengan tradisi dan nilai-nilai. Oleh karena itu, ia tidak tahu apa yang harus ia perbuat, apakah mengikuti jejak langkah orang lain dan bergabung bersama kumpulan sesamanya, ataukah harus berjalan sendiri dan hanya melakukan apa-apa yang diinginkan oleh orang lain saja.

Al-Qur’an menerangkan sifat ini kepada kita melalui kisah-kisah dan tamsil-tamsilnya tentang kaum kafir dalam berbagai ayat dan surat. Terkadang Al-Qur’an mengibaratkan amal orang-orang kafir bagai abu yang beterbangan ditiup angin kencang, angin yang melenyapkan segala amal baik mereka sampai tidak ada yang tersisa (QS. Ibrahim: 18). Dalam surat an-Nur ayat 9 juga dikatakan bahwa amal perbuatan mereka diibaratkan sebagai fatamorgana, yang mana orang-orang yang kehausan mengiranya sebagai lautan air namun saat mereka mendekat ternyata tidak ada apa-apa.

Al-Qur’an juga mengibaratkannya sebagai gelapnya kedalaman laut, yang dipermukaannya terdapat ombak keraguan, kebodohan dan amal buruk yang berkecamuk, lalu langit di atasnya pun tertutupi oleh awan hitam kekufuran yang pekat, sehingga saat tangannya dikedepankan, sama sekali tidak dapat terlihat().

Dalam surat al-Ankabut, tidak menentunya pribadi orang-orang munafik diibaratkan sebagai sarang laba-laba. Perilaku mereka tidak menghasilkan apa-apa selain kecelakaan bagi diri mereka sendiri. (QS. an-Nur: 40) Adapun penyelesaian dan jalan terbaik untuk keluar dari masalah ini adalah kembali pada keyakinan terhadap hari penciptaan dan hari kebangkitan. Selama problema ini belum terselesaikan, tidak akan ada yang dapat terlihat oleh mata selain fatamorgana (QS. al-AAnkabut: 41)

Al-Qur’an menganggap orang-orang munafik sebagai orang kafir. Meskipun mereka mengaku beriman, namun kebalikannya yang ada di hatinya. Karena dasar pemikiran mereka adalah keraguan, sama seperti dasar pemikiran orang-orang kafir yang kosong akan kebenaran. Dari segi kejiwaan, orang munafik sama seperti orang kafir, keduanya tidak memiliki jati diri yang baik.