Rasa Kehampaan Spiritual Menurut Al-Qur’an (2)

2. Merasa Sendiri dan Terusir

Al-Qur’an menyebutkan bahwa salah satu sebab tekanan jiwa adalah rasa keterusiran. Dampak rasa keterusiran ini tampak dengan nyata dalam kisah Nabi Yusuf a.s. dan saudara-saudaranya. Alasan perbuatan keji mereka terhadap Yusuf a.s. adalah kecintaan ayah mereka kepadanya. Jadi, selain rasa iri dengki, mereka juga merasa terusir dari kasih sayang ayah mereka dan mengira hanya Nabi Yusuf saja yang dicintai; oleh karena itu mereka bertekad untuk membunuh saudara sendiri.

Ketika seorang manusia merasa menginginkan seorang anak, Al-Qur’an menjelaskan bahwa keinginan tersebut ada kaitannya dengan rasa kesendirian dan keterusiran. Sering kali orang yang hidupnya sederhana dan memiliki rumah yang biasa-biasa saja namun dikaruniai anak-anak yang sehat tetap merasa bahagia. Namun apabila seseorang tidak memiliki anak sebagaimana yang diinginkannya, meskipun kehidupannya penuh dengan kecukupan dan kemewahan, mereka merasa ada yang kurang, bagi mereka itu adalah suatu tekanan jiwa. Oleh karena itu, dalam Al-Qur’an kita membaca bahwa meskipun seorang nabi, jika ia diuji dengan tidak dikaruniai seorang anak, mereka memohon dengan sangat agar tidak mati tanpa diberi keturunan dan pewaris.

3. Tiadanya Sandaran dan Tumpuan (Lemahnya Iman)

Menurut Al-Qur’an, salah satu penyebab tekanan jiwa adalah tidak dimilikinya sandaran dan tumpuan spiritual, karena saat seseorang melupakan Tuhannya, hidupnya di dunia pun menjadi sukar baginya: “Dan barang siapa enggan mengingat-Ku, maka ia akan mendapatkan kehidupan yang susah.” (QS. Thaha: 124)

Seseorang yang tidak memiliki sandaran jiwa, ia tidak akan menemukan rasa cukup (qana’ah) yang menjadi makanan bagi ruhnya, ia juga tidak akan mendapatkan kekuatan rohani yang dapat menjaganya dari gejolak nafsu dan syahwatnya, dan ia tidak akan menemukan harapan yang dapat mengarahkannya ke masa depan yang baik. Orang yang telah melupakan Tuhannya, harapan-harapannya hanya terbatas pada dunia saja.

Padahal dunia dan seluruh isinya yang materi ini tidak akan bisa menyirami dahaga yang dirasakan jiwa. Orang seperti ini selamanya berada dalam kefakiran spiritual dan di dalam hatinya selalu terbayang hal-hal yang tidak mungkin ia dapatkan. Mereka selalu dalam buaian angan-angan yang tak tercapai dan kekhawatiran akan sirnanya kesenangan-kesenangan yang ia miliki. Masyarakat yang hampa akan iman, setiap orang saling takut akan sesamanya, mereka tidak saling mempercayai dan segala urusan hanya bertumpu pada keuntungan-keuntungan pribadi.

Al-Qur’an berkata tentang orang-orang yang tidak memiliki sandaran iman dalam hatinya: “Sesungguhnya Kami telah memasang belenggu di leher mereka, lalu tangan mereka (diangkat) ke dagu, maka karena itu mereka tertengadah. Dan Kami adakan di hadapan mereka dinding dan di belakang mereka dinding (pula), dan Kami tutup (mata) mereka sehingga mereka tidak dapat melihat.” (QS. Yasin, 8-9)

Orang-orang yang menjadikan kebiasan jahiliahnya sebagai aturan kehidupan, bagaikan tawanan-tawanan yang dirantai dan lehernya tergantung serta kepalanya tertengadah melihat ke atas sehingga tidak dapat melihat apa yang ada di samping dan sekitarnya. Dan lebih dari itu, di hadapan dan belakang mereka terdapat dinding-dinding yang tinggi. Tidak hanya berada dalam kesusahan saja, bahkan mata mereka tidak dapat melihat kubangan-kubangan yang ada di jalannya.

Dengan penjelasan lain, mereka tidak mendapatkan hidayah fitri dan juga tidak mendapatkan hidayah nadzari, mereka tidak mendapatkan kebahagiaan di akhirat, dan tidak pula mendapatkan kebahagiaan di dunia. Mereka tidak berhasil dalam sair afaq (perjalanan menuju ke atas) dan juga tidak berhasil dalam sair anfus (perjalanan jiwa).