Al-Saqaf: “Allah Swt Memiliki Tangan” adalah Pernyataan Keliru dan Batil

Salah satu keyakinan yang lahir dari metode pemikiran yang terpaku pada sisi lahiriyah (Dzahir) dari teks-teks agama, adalah kepercayaan bahwa Allah Swt memiliki tangan. Hal tersebut sebelumnya pernah kami bahas dalam tulisan ini.

Seperti yang telah kita singgung sebelumnya, memang betul bahwa banyak sekali teks-teks agama atau riwayat dalam hal ini, yang merupakan kebohongan-kebohongan atas nama nabi yang diselundupkan serta dinukil dari orang-orang Yahudi. Namun, hal tersebut tidak menafikan adanya sebagian teks-teks di dalam Alquran sendiri yang memiliki muatan yang mirip. Misalnya adalah ayat berikut ini:

قَالَ يٰٓاِبْلِيْسُ مَا مَنَعَكَ اَنْ تَسْجُدَ لِمَا خَلَقْتُ بِيَدَيَّ ۗ اَسْتَكْبَرْتَ اَمْ كُنْتَ مِنَ الْعَالِيْنَ

(Allah) berfirman, “Wahai Iblis, apakah yang menghalangimu untuk bersujud kepada yang telah Aku ciptakan dengan kedua tangan-Ku? Apakah kamu menyombongkan diri ataukah (memang) termasuk golongan yang (lebih) tinggi?” (Shad/38:75)

Ayat di atas secara jelas menyebutkan bahwa Allah Swt menciptakan nabi Adam As dengan kedua tangan-Nya, saat hendak menanyai Iblis yang enggan untuk sujud kepadanya.

Berkaitan dengan ayat tersebut Hasan Al-Saqaf -seorang ulama yang ahli di bidang ilmu hadis dan kalam- menyebutkan dalam Syarah-nya terhadap kitab akidah Al-Tahawi, bahwa ayat tadi dijadikan oleh sebagian orang menganut akidah Tasybih (penyerupaan Allah Swt dengan selain-Nya) dan Tajsim (penggambaran Allah Swt dalam bentuk fisik) sebagai dalil untuk menetapkan tangan bagi Allah Swt.

Namun kemudian ia menyatakan bahwa hal tersebut adalah keliru dengan alasan bahwa lafal (يد) maknanya tidak senantiasa mengarah pada tangan fisik. Ia kemudian menukil penjelasan Ibnul Jauzi dalam kitab Daf’u Syubah Al-Tasybih yang menjelaskan beberapa makna lafal (يد) pada beberapa teks arab bahkan dalam beberapa ayat Alquran.

Seperti misalnya lafal (يد) di dalam bahasa yang bermakna nikmat dan perbuatan baik yang bersandar pada syair kuno, atau makna perkataan Yahudi (يد الله مغلولة) tangan Allah terbelenggu, yakni terbelenggu dari memberikan rezeki (nafkah), dan lafal (يد) bermakna kekuatan seperti (ما لنا بهذا الأمر من يد)  kami tidak memiliki tangan (kekuatan) pada perkara ini, atau pada firman-Nya: (بل يداه مبسوطتان) padahal kedua tangan-Nya terbuka, yakni nikmat dan kekuasaan-Nya.

Begitu pula firman-Nya (لما خلقت بيدي) pada apa yang telah Aku ciptakan dengan kedua tangan-Ku, yakni dengan kekuasaan dan nikmat-Ku, Al-Hasan berkata terkait firman-Nya (يد الله فوق أيديهم) tangan Allah di atas tangan-tangan mereka, yakni anugrah dan kebaikan-Nya.

Kemudian ia menanggapinya dengan pernyataan bahwa inilah ungkapan para ahli Tahkik (penelitian).

Setelah itu ia juga mengutip pernyataan Al-Qadhi Abu Ya’la (penganut Tajsim): (اليدان) adalah dua sifat dzati yang dinamai dua tangan. Ia pun mengomentarinya dengan menyebut bahwa pernyataan tersebut berangkat dari gagasan yang tidak memiliki dalil. Ia juga menambahkan bahwa Ibnu Aqil berkata sekaitan ayat (لما خلقت بيدي..) pada apa yang telah Aku ciptakan dengan kedua tangan-Ku, itu memiliki arti (لما خلقت أنا) pada apa yang telah Aku ciptakan, sama seperti firman-Nya (ذلك بما قدمت يداك) itu karena apa yang telah dikerjakan oleh kedua tanganmu yang bermakna; itu akibat apa yang telah kamu kerjakan.

Selanjutnya ia juga menyoroti pernyataan mereka (para penganut Tajsim) yang menyebutkan bahwa pada ayat penciptaan dengan tangan tersebut mengandung keistimewaan dan keutamaan tersendiri bagi nabi Adam As dari makhluk lainnya, sebab ia diciptakan secara langsung oleh tangan Allah Swt.

Ia mengatakan bahwa jika demikian maka bagaimana dengan ayat-ayat ini:

اَوَلَمْ يَرَوْا اَنَّا خَلَقْنَا لَهُمْ مِّمَّا عَمِلَتْ اَيْدِيْنَآ اَنْعَامًا فَهُمْ لَهَا مٰلِكُوْنَ

Tidakkah mereka mengetahui bahwa Kami telah menciptakan untuk mereka hewan-hewan ternak dari ciptaan tangan Kami (sendiri), lalu mereka menjadi pemiliknya? (Yasin/36:71)

وَالسَّمَاۤءَ بَنَيْنٰهَا بِاَيْىدٍ وَّاِنَّا لَمُوْسِعُوْنَ

Langit Kami bangun dengan tangan (kekuatan Kami) dan sesungguhnya Kami benar-benar meluaskan(-nya). (Az-Zariyat/51:47)

Ayat-ayat di atas juga menyebutkan secara jelas penciptaan dengan tangan Allah Swt. Oleh sebab itu tidak seperti yang mereka bayangkan dari ayat tentang penciptaan Adam As tadi (apakah yang menghalangimu untuk bersujud kepada yang telah Aku ciptakan dengan kedua tangan-Ku..), adapun yang ingin disampaikan adalah: Apakah yang menghalangimu untuk bersujud kepada yang telah Aku ciptakan sendiri dan tidak diciptakan oleh selain-Ku, dan Aku adalah Tuhanmu dan juga Tuhannya.

Setelah penjelasan yang panjang, ia juga menutup penolakannya terhadap anggapan tadi dengan ayat berikut:

اِنَّ مَثَلَ عِيْسٰى عِنْدَ اللّٰهِ كَمَثَلِ اٰدَمَ ۗ خَلَقَهٗ مِنْ تُرَابٍ ثُمَّ قَالَ لَهٗ كُنْ فَيَكُوْنُ

Sesungguhnya perumpamaan (penciptaan) Isa bagi Allah adalah seperti (penciptaan) Adam. Dia menciptakannya dari tanah kemudian berfirman kepadanya, “Jadilah!” Maka, jadilah sesuatu itu. (Ali ‘Imran/3:59)

Pada bagian akhir, Al-Saqaf sampai pada kesimpulan bahwa ayat 75 dari surat Shad itu tidak dapat digunakan sebagai dalil untuk menetapkan tangan bagi Allah Swt, sehingga ucapan ataupun pernyataan mereka (para penganut Tasybih dan Tajsim) terkait masalah tersebut adalah bentuk Istidlal (penarikan kesimpulan) yang salah dan keliru baik secara bahasa seperti yang telah disampaikan oleh Ibnul Jauzi ataupun secara Syariat (sunnah Nabi Saw), seperti yang termaktub dalam Sahih Muslim (4/2253) mengenai sabda nabi Saw tentang Yajuj dan Majuj: لا يدان لأحد بقتالهم dimana (لا يدان) di sini dimaknai dengan: Tidak ada kekuatan dan kemampuan. Sebagai mana yang diutarakan oleh para ulama dan ahli sastra dalam Syarh Muslim karya imam Nawawi.[1]

[1] Al-Saqaf, Hasan bin Ali, Syarh Al-Aqidah Al-Thahawiyah, hal: 319-321, Beirut.