Klaim Keunggulan

Allah mengecam sikap arogan individual dan komunal. “Hendaklah sebuah kelompok tidak mencela kelompok lain dan janganlah saling memanggil dengan gelar-gelar yang buruk.” (QS. al-Hujurat: 11).

Tak seorang atau kelompok pun, baik berupa bangsa, suku, etnis, ras, dan lainnya yang berhak menghina dan merendahkan kelompok lainnya dengan dasar fakta atau klaim keunggulan ekonomi dan sebagainya “Sesungguhnya yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah ialah orang yang paling bertakwa.” (QS. al-Hujurat: 13).

Dalam ayat tersebut, Allah Swt menegaskan bahwa keunggulan apapun selain takwa adalah palsu dan irrasional. Karena takwa adalah entitas abstrak yang tak kasat mata. Maka tak ada yang berhak mengklaim keunggulan ketakwaan. Dan karena hanya Tuhan sebagai juri tunggal yang berhak menilai dan menentukan siapa yang unggul dalam ketakwaan maka dunia bukan arena penentuan. Sesama manusia secara individual dan komunal tak berhak merasa unggul dalam ketakwaan.

Ketakwaan adalah situasi intelektual dan spiritual yang merupakan kombinasi dua elemen entitas abstrak sebelumnya, yaitu iman (kepercayaan) dan amal (pengamalan. Karenanya, kepercayaan dan pengamalan mendahului ketakwaan.

Karena penentuan nilai ketakwaan dilaksanakan kelak di akhirat, maka dunia diciptakan sebagai arena tanding bagi setiap insan untuk mencapai nilai tertinggi ketakwaan dalam kebaikan.

“Untuk setiap umat di antara kamu, Kami berikan aturan dan jalan yang terang. Kalau Allah menghendaki, niscaya kamu dijadikan-Nya satu umat (saja), tetapi Allah hendak menguji kamu terhadap karunia yang telah diberikan-Nya kepadamu, maka berlomba-lombalah berbuat kebajikan.” (QS. al-Maidah: 48).

Karena kehidupan dunia adalah masa kompetisi dalam kebaikan, maka kompetisi selainnya adalah palsu. Dus, klaim keunggulan atas nama bangsa atas bangsa lain, suku atas suku lain, dalam keunggulan ekonomi, teknologi, kesejarahan adalah absurd dan nihil.