Mengapa Kita Tidak Boleh Melupakan Tragedi Asyura di Karbala?

Seharusnya bagi yang merenungkan kisah terbantainya keluarga Nabi Muhammad saw di Padang Karbala, tentu akan menjadi tanda tanya besar. Segitu besarkah permusuhan dan kebencian Bani Umayyah pada keluarga Nabi sampai Imam Husain as harus diperlakukan sedemikian rupa, secara terhina dan mengenaskan?. Mengapa Imam Husain as tidak cukup hanya dengan dibunuh, mengapa jasadnya sampai harus diinjak kaki-kaki kuda dan kepalanya harus dipisahkan dari tubuhnya?

Jawabannya: kebencian, dendam kesumat dan permusuhan. Bukan hanya pada Bani Hasyim (Keluarga Nabi) namun juga pada Islam. Ini nyata, fakta dan tidak bisa dibantah. Pertanyaannya lagi : Apa target yang hendak dicapai Yazid dan Bani Umayyah dengan dihabisinya keluarga Nabi pada Tragedi Asyura?.

Bukan hanya kelanggengan kekuasaan, namun juga musnahnya Islam Muhammadi digantikan dengan Islami Umawi (Islam versi Bani Umayyah). Islam Muhammadi yang diajarkan Nabi Muhammad saw tentu tidak pernah mengiyakan terjadinya kezaliman dan penindasan, terlebih lagi jika itu terjadi pada keluarga Nabi. Islam Muhammadi sangat jelas memesankan agar keluarga Nabi dan Kitabullah tidak dipisahkan. Dalam salat pun ketika membaca tahiyat akhir, para musalli harus turut mengirimkan salawat buat keluarga Nabi Muhammad saw, yang jika salawat tidak disertakan untuk keluarga Nabi, maka salat menjadi bermasalah. Jadi dengan terjadinya tragedi Karbala, yang menenggelamkan jasad-jasad keluarga Nabi, maka jelas ada upaya tersistematis dan massif untuk juga menenggelamkan ruh Islam yang sejati.

Lihat, bagaimana selanjutnya keluarga Nabi yang tersisa yang semestinya menjadi figur-figur yang paling otoritatif menjelaskan Alquran dan menjadi perawi dari hadis-hadis Nabi, terpinggirkan perannya dan tidak tercatat namanya dalam kitab-kitab hadis kecuali sedikit. Lihat bagaimana kemudian yang menjadi Imam-Imam Mazhab fikih bukan berasal dari keluarga Nabi, padahal secara langsung maupun tidak keempat imam mazhab yang dikenal sebagai imam-imam mazhab Ahlusunnah waljamaah berguru pada Imam Jakfar Shadiq as yang merupakan generasi kelima keturunan Nabi Muhammad saw. Mengapa Mazhab Jakfari kalah populer dan bahkan tidak dikenal mayoritas umat Islam saat ini?.

Idiom “Sejarah ditulis oleh penguasa” tentu juga berlaku pada sejarah Islam. Sejarah Islam yang sampai pada kita beragam versi seharusnya bisa memancing rasa penasaran kita, manakah sejarah Islam yang sesungguhnya?. Versi sejarah yang kita yakini itulah yang akan menyampaikan kita pada titik, inilah Islam yang kita yakini. “Jangan sekali-sekali melupakan sejarah” atau Jasmerah, kata Bung Karno, tentu sangat relevan untuk juga kita kaitkan dalam keberIslaman kita hari ini.

Pertanyakan Islammu

Pertanyakan Islammu kalau ternyata Islam yang kau yakini membenarkan dirimu sujud berlama-lama diatas permadani lembut sementara tetanggamu ada yang menggelepar menahan lapar. Pertanyakan Islammu kalau ternyata Islam yang kau genggam membuatmu tenang menumpuk harta meski itu dengan menindih hak-hak kaum lemah. Pertanyakan Islammu kalau ternyata Islam yang kau banggakan berlomba-lomba membangun masjid-masjid megah sementara anak-anak yatim terhampar tanpa rumah. Pertanyakan Islammu kalau kau lebih tersinggung dengan daging babi yang dijual dan dingin saja melihat fakta makin maraknya perdagangan manusia. Dan pertanyakan Islammu ketika Islam yang kau anut mengajarimu bersalawat untuk keluarga Nabi namun kau abai pada kisah-kisah tragis yang menimpa mereka yang terangkum sahih dalam kitab-kitab tarikh dan hadis.

Mengapa momentum Muharram penting untuk mengingat kembali peristiwa tragis yang menimpa keluarga Nabi di Padang Karbala? Agar kita tahu, ada upaya keras dari musuh-musuh Islam untuk menyimpangkan Islam yang sesungguhnya belum seabad dari wafatnya Rasulullah saw, meskipun dari upaya itu cucu Nabi harus menjadi tumbalnya. Agar kita waspada, jangan sampai Islam yang kita anut dan jalankan hari ini adalah Islam yang diwariskan Bani Umayyah, bukan Islam yang diwariskan oleh Nabi Muhammad saw dan keluarganya.

Dengan mengingat tragedi Asyura dan merawat kenangan atas peristiwa tragis yang menimpa keluarga Nabi saw, kita akan sadar betapa Islam terus berada dalam bahaya dan ancaman kepunahan. Kita akan tahu, bahwa tanpa pengorbanan dan nilai-nilai altruisme dari Imam Husain as, keluarga dan pembelanya, Islam Muhammadi hanya akan tinggal nama, tergantikan oleh Islam Umawi yang menjadikan Islam hanya kedok untuk mengeruk keuntungan duniawi dan mempertahankan status quo.

Kenangan terhadap Asyura berperan untuk menarik adegan-adegan di Karbala pada konteks kekinian, tentang bagaimana memberikan gambaran utuh etos perlawanan sekaligus menunjukkan kekonsistenan Imam Husain as dan pahlawan Karbala dalam menentang rezim yang zalim. Petikan jawaban tegas Imam Husain as yang diabadikan dalam lembar-lembar kitab sejarah ketika diminta untuk memberikan baiatnya pada kekhalifahan Yazid bin Muawiyah, “Orang seperti aku, tidak akan memberikan baiat pada orang seperti Yazid”, menunjukkan bahwa Imam Husain as memberikan pelajaran moral, bahwa siapapun yang mengaku pengikut, pecinta, pembela dan mentautkan dirinya hendak menjadi seperti dirinya, maka tidak akan memberikan baiat, persetujuan apalagi berada dalam barisan penguasa zalim seperti Yazid.

Tragedi Karbala mengingatkan, disetiap hari akan bermunculan Yazid-Yazid baru, dan disetiap tempat akan berkuasa Yazid-Yazid baru, karena itu Asyura penting dihidupkan, disemarakkan dan diramaikan, yang darinya diharap bisa lahir Husain-Husain baru, yang tidak hanya berdiri tegak menentang kezaliman Yazid namun menjadi pioner keruntuhan otoritarianisme. Peringatan Asyura berperan menghidupkan kembali teologi pembebasan Islam. Bahwa hakekat Islam sejatinya adalah membebaskan manusia pada penghambaan pada manusia lainnya, dan hanya menghambakan diri pada Allah swt. Sehingga dengan semangat itu wajar jika Anbiyah as dan orang-orang salih menjadi agen pembebasan di tempat dan masanya masing-masing. Bagaimana Nabi Ibrahim as muncul menjadi sosok yang menakutkan bagi raja Namrudz, Nabi Musa as yang membebaskan Bani Israil dari kezaliman Firaun, Nabi Isa as menjadi ancaman bagi kedigdayaan emperium Romawi dan Nabi Muhammad saw yang membawa kabar buruk bagi semua penguasa zalim.

Peringatan Asyura mendedahkan, prinsip dari perlawanan Imam Husain as di padang Karbala di Hari Asyura adalah demi tegaknya keadilan, penentangan pada kezaliman dan kembalinya ruh agama sebagai kekuatan radikal dan progresif dalam membebaskan mereka yang tertindas.