Hisyam dalam Kacamata Sejarawan

Adapun Hisyam dari sudut pandang sejarah seperti yang telah disinggung pada tulisan yang lalu, ia dicatat sebagai salah satu ulama yang ahli ilmu kalam dari madzhab Syiah.

Hal tersebut juga diakui oleh Ahmad Amin (1886-1954 M), sejarawan Mesir, dimana ia menyebutkan: “Adapun Hisyam bin al-Hakam, terlihat ia adalah sosok pembesar Syiah dalam ilmu kalam… ia adalah pendebat yang kuat argumen, ia berdebat dengan Mu’tazilah dan mereka juga mendebatinya dan dinukil dalam kitab-kitab adab perdebatan-perdebatannya yang banyak dan beragam, menunjukkan kehadiran intuisi serta kekuatan argumennya..”[1]

Dalam pernyataan tersebut terdapat lafal “بديهة” (badihah) yang mungkin bisa diartikan sebagai intuisi atau kemampuan untuk menjawab persoalan tanpa berpikir panjang, namun tidak berarti sembrono atau mengada-ada melainkan menunjukkan kedalaman pemahaman yang dimiliki oleh seseorang terhadap sesuatu.

Al-Syahrastani (479-548 H) mengenai sosok Hisyam juga berkata: “Dan Hisyam bin al-Hakam ini memiliki kedalaman di dalam Ushul (asas agama atau akidah), tidak seharusnya dilupakan metode-metode Ilzam (dalam berdebat) dengan Mu’tazilah, sesungguhnya orang ini di balik metode Ilzam-nya atas lawan debatnya serta demonstrasinya terhadap Tasybih, dan oleh sebab itu dia (juga) melakukan metode Ilzam pada al-Allaf, dia berkata: ‘sungguh kau mengatakan bahwa al-Bari (Allah Swt) itu yang mengetahui dengan ilmu, dan ilmu-Nya adalah dzat-Nya, maka Ia menyamai makhluk-makhluk (yang baru) dalam hal yang mengetahui dengan ilmu, dan Ia berbeda dari mereka dalam hal ilmu-Nya adalah dzat-Nya, maka Dia adalah yang mengetahui (alim) namun tidak seperti alim-alim (yang lain), maka mengapa tidak kau katakan Dia adalah Jism (tubuh atau badan) namun tidak seperti tubuh-tubuh (yang lain), dan Dia adalah rupa namun tidak seperti rupa-rupa (yang lain), dan bagiNya kekuasaan namun tidak seperti kekuasaan-kekuasaan (yang lain) dan seterusnya..’”[2]

Apa yang menarik dari kutipan di atas sebetulnya masih ada kaitannya dengan penukilan-penukilan sebelumnya yang dilakukan oleh al-Syahrastani dari beberapa tokoh ulama yang mengomentari sosok Hisyam bin al-Hakam. Meskipun semuanya cenderung mengambarkan pernyataan-pernyataan yang mengandung pemahaman Tajsim atau Tasybih yang dinisbahkan pada Hisyam, namun pada akhirnya ia mengajak pembaca untuk tidak lupa akan pencapaian dan perannya dalam berdebat dengan Mu’tazilah.

Lafal “ألزم” (alzama) dalam bahasa Arab memiliki beberapa makna yang arti dasarnya bermakna “pemaksaan”. Namun yang digunakan kali ini adalah sebuah istilah khusus yang sering kali digunakan di dalam metode berdialog atau berdebat. Istilah Ilzam ini merupakan sebuah metode dalam dialog, dimana hal tersebut didasarkan pada kecerdikan dalam menanggapi lawan, ketika pihak pertama mengajukan pertanyaan yang bertujuan untuk mengarahkan (mewajibkan) lawan mengikuti alur yang diinginkan oleh si penanya.

Pada catatan di atas al-Syahrastani mengungkap sosok Hisyam bin al-Hakam menggunakan istilah tadi, setelah sebelumnya menyebut Hisyam dengan pemilik kedalaman (ilmu) pada bidang Ushul (asas agama atau akidah), sehingga bisa kita lihat di sini bahwa penulis kitab al-Milal wa al-Nihal itu, mengakui kecerdasan Hisyam dalam bidang ilmu kalam dan kepiawaiannya dalam berargumen.

Yang menarik lagi dari catatan itu ialah keterangan al-Syahrastani terkait metode Hisyam bin al-Hakam tersebut yakni Ilzam. Dimana Hisyam sering kali mendemonstrasikan dirinya seolah-olah penganut Tasybih atau Tajsim, kemudian berdasarkan itu mempertanyakan sebuah masalah terhadap lawan debatnya. Hal inilah sebetulnya yang menjadi salah satu alasan kemudian orang-orang berasumsi bahwa dia adalah seorang penganut Tajsim.

Oleh sebab itu, menurut hemat penulis dalam hal ini, al-Syahrastani sendiri tidak terlihat menghukumi sosok Hisyam bin al-Hakam sebagai penganut Tajsim atau Tasybih. Namun yang tampak dalam catatannya tersebut lebih mengarah pada pernyataan dan gambaran beberapa tokoh terhadap Hisyam yang kemudian dia benturkan dengan nukilan tentang metode debat Hisyam.

[1] Ahmad Amin, Duha al-Islam, jil: 3, hal: 268, cet: 7.

[2] Al-Syahrastani, Muhammad bin Abdul Karim, al-Milal wa al-Nihal, hal: 189, Dar al-Kutub al-Ilmiyah.